Tulisan ini dimulai dengan banyak keragu-raguan: ragu-ragu atas pemahaman saya yang minim tentang sastra Cina; ragu-ragu karena alih bahasa senantiasa tidak sempurna; ragu-ragu dan tidak percaya diri mengingat sajak-sajak Tu Fu[1] kerap disetarakan dengan syair-syair Virgil dan naskah drama Shakespeare[2]. Namun, seperti halnya Tu Fu yang Tidak Bisa Tidur karena Memikirkan Perang (bait dari penggalan sajak berjudul Overnight in Rooms by the River), saya pun dibuat tidak bisa tidur karena memikirkan bagaimana membuat apresiasi yang layak atas karya-karyanya. Didorong kesadaran bahwa uraian yang saya buat tidak lengkap, saya memberanikan diri untuk memaparkan sedikit tentang Tu Fu: dari selintas tentang perjalanan hidupnya, pengaruh budaya, dan yang paling penting, warisan puisinya–karena tanpa mengurai ketiganya, esensi, kelakar, dan kenaifan puisi-puisi Tu Fu, rasanya sulit untuk dipahami[3].
Sisi pertama yang selalu diulas tentang Tu Fu adalah perjalanan hidupnya yang dirundung kemalangan. Ia lahir pada tahun 712 di Henan dari keluarga pejabat sipil[4], sebuah status terkemuka pada masyarakat Cina kala itu. Layaknya keturunan keluarga terpelajar pada umumnya, Tu Fu muda lantas mengikuti ujian pejabat sipil, namun gagal. Watson (2002) dalam pembuka antologi terjemahan sajak-sajak Tu Fu, mengungkap berbagai dokumen klasik dan menemukan bahwa praktik nepotisme di kalangan pejabat istana lajim terjadi, sehingga Tu Fu yang kapasitas kesusastraannya melampaui yang lain, gagal dalam ujian (bahkan hingga dua kali, pada tahun 737 dan 747 M). Kepiawaian Tu Fu dalam sastra terbukti empat tahun kemudian ketika ia memenangkan sayembara dan sajaknya mendapatkan perhatian dari Kaisar (lucunya, sajak yang dikirimkan pada sayembara tersebut adalah Wandering of My Prime[5], sajak kekecewaan Tu Fu terhadap sistem birokrasi istana). Disanalah ia bertemu dengan pujangga besar istana, Li Po. Dapat dikatakan kesempatan ini merupakan jarak paling dekat antara Tu Fu dengan lingkaran dalam istana, karena setelahnya, nasib Tu Fu berada pada jalur turunan bukit–terus meluncur kebawah.
Jalan menurun pada tangga nasib Tu Fu nampaknya terus berkelanjutan. Ketika akhirnya ia mendapatkan posisi rendah sebagai pegawai negara di Chang’an, saat itu pula pemberontakan pimpinan An Lu-shan mulai meluas (tepatnya pada tahun 755 M, usia Tu Fu saat itu memasuki 44 tahun). Tu Fu yang nahas, ikut pula ditawan oleh para pemberontak. Namun, periode penahanan ini menjadi puncak dari pengembangan bakat Tu Fu sebagai penyair. Setelah dibebaskan, Tu Fu harus berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain untuk mendapatkan patron atau bantuan dari keluarga dan kawan[6]. Hidupnya berkebalikan dengan pujangga Li Po, penyair mabuk istana yang tidak pernah kekurangan arak dan pakaian mewah. Tu Fu menggambarkan kehidupannya bagaikan “kain selimut setengah badan, yang jika ditarik ke atas, maka kaki akan kedinginan” (Watson, 2002). Kemiskinan jugalah yang merenggut nyawa anaknya. Tu Fu sendiri meninggal pada usia 58 tahun di sebuah perahu yang terombang-ambing aliran sungai Yangtze. Kala itu, ia hendak kembali ke Chang’an. Berikut adalah puisi berjudul Night at the Pavilion, salah satu diantara puisi terakhir Tu Fu (San Chou, 1995), yang sekilas seperti memberi salam perpisahan pada sungai dan kehidupan.
Sajak-sajak Tu Fu: Night at the Pavilion dan A Toast for Men Yun-Ch’ing
From within White Emperor City clouds issue from its gates,
Down on White Emperor City the rain basin overturns –
High river, narrow gorges: thunders locked in battle,
Ancient trees, black vines, sun and moon darkened.
The battle horse is not as eager as the homing horse,
Of a thousand families, a hundred are alive today,
How sorrowful the widow, stripped of everything,
Bitter cries on the autumn plains, ah, from what village?
(Tu Fu, Night at the Pavilion)
Illimitable happiness,
But grief for our white heads.
We love the long watches of the night, the red candle.
It would be difficult to have too much of meeting,
Let us not be in hurry to talk of separation.
But because the Heaven River will sink,
We had better empty the wine-cups.
To-morrow, at bright dawn, the world’s business will entangle us.
We brush away our tears,
We go—East and West.
(Tu Fu, A Toast for Men Yun-Ch’ing)
Kini, terdapat lebih dari 1400 sajak Tu Fu yang terdokumentasikan, walau para pakar menyatakan jumlah tersebut hanya sebagian dari sajak yang hilang pada masa pemberontakan. Jumlah adalah salah satu alasan mengapa Tu Fu dinobatkan sebagai tonggak sastra Cina, alasan lainnya adalah: kemiskinan dan ketidakberuntungan yang membentuk sajak Tu Fu menjadi penuh kepekaan[7]. San Chou (1995) memberikan contoh yang menarik tentang tulisan bertema arak dan anggur: Suatu waktu, ketika membaca tulisan tentang anggur dengan ekspresi yang flamboyan, jika saja yang menulisnya adalah Li Po, maka tidak akan menjadi masalah. Namun, yang menulis sajak ternyata tidak lain dari Tu Fu, dan dengan seluruh pemahaman biografis yang dimiliki atas penyair tersebut, pembacaan menjadi lain–karena dalam setiap tegukan anggur yang diminum, pembaca dapat merasakan beban hutang yang menjeratnya. Pada posisi inilah Tu Fu berada, yaitu pujangga yang mampu menghadirkan kesadaran sosial akan permasalahan yang dihadapi rakyat pada umumnya. Kedekatannya dengan “permasalahan manusia” menjadikan Tu Fu, sedikit lebih agung dari Li Po (pandangan umum membedakannya sebagai berikut: Li Po adalah pandu bagi sastra Cina, sedangkan Tu Fu adalah dewa sastra). Dalam tulisan lain, San Chou (1991) mengungkap sisi simpatik sekaligus patriotik dari Tu Fu yang digambarkan melalui syair-syair perangnya. Syair-syair tersebut penuh dengan loyalitas pada istana–tembok kekuasaan yang telah menelantarkan Tu Fu ke jalanan[8]. Patriotisme menghantarkan pada pembahasan selanjutnya, yaitu estika Tu Fu.
Patriotisme sebagai sarana pembentukkan identitas kolektif seringkali hadir dalam bentuk vulgar dan berlebihan. Vulgar, dalam artian tidak ada estetika mendalam terlibat disana. Namun, hal tersebut tidak terjadi dalam sajak-sajak Tu Fu. Sebut saja sajak berjudul “Ch’iang Village”[9], sajak ini berhasil menghadirkan versi patriotisme tanpa slogan dan simbol berlebihan. Jelas bahwa kepekaan dan cita rasa estetislah yang menjadi penyelamat, sehingga dalam konteks budaya Cina, Tu Fu adalah simbol “manusia sebaik-baiknya” (a good man), seseorang yang mampu memadukan estetika, moralitas dan kemanusiaan. Hightower (dalam San Chou, 1995) menyatakan, walau tatanan nilai dan pencapaian masyarakat Cina diletakkan pada gagasan-gagasan Confucius, namun untuk urusan estetika dan moral, mereka berpaling pada karya-karya Tu Fu. Warisan inilah yang menjadikan sajak-sajak Tu Fu mampu melampaui pengaruh pujangga besar lainnya.
Besarnya pengaruh Tu Fu tidak berhenti pada konteks warisan budaya, tapi juga pengaruhnya pada gaya penulisan sastra Cina setelahnya. Tersebutlah bahwa sajak Tu Fu merupakan gabungan antara realisme dan stylized realism[10]. Balada Tu Fu dan syair lirisnya sering berada pada jalur ini–dengan manusia, kejadian, tindakan, dan ucapan (sebagai objek nyata) digunakan untuk membetuk impresi (atau gambaran yang melampaui realita)[11]. Paduan ini menjadi pakem bagi sastra Cina yang terkenal dengan presisinya hingga saat ini dan menjadi “bahasa puisi” yang diadaptasi oleh banyak sastrawan dunia lainnya[12]. Namun, permasalahan yang kerap hadir dalam apresiasi karya penyair klasik seperti Tu Fu adalah apa yang disebut Rouzer sebagai “kegagalan liris”. Gerak budaya modern hingga postmodern, seringkali menjadi muasal dalam kegagalan memaknai sebuah puisi (Rouzer, 2011). Sajak tidak lagi liris dan balada menjadi semacam dokumentasi tanpa cita rasa. Untuk penyakit macam ini, penangkalnya hanyalah satu: yaitu mengasah ketajaman estetika dengan membaca dan memahami kembali sajak-sajak. Demikian pula untuk karya Tu Fu, bahwa apresiasi hanya dapat dilakukan dengan mengenali Tu Fu dan rasa estetikanya, sehingga kita akan ikut tersenyum geli ketika membaca sajak humoris Tu Fu tentang ketakutannya pada musim semi, simpati pada puisi (yang mungkin satu-satunya di dunia) tentang sakit diabetesnya, atau ikut menangis ketika ia bercerita tentang pohon siprus tua yang sekarat dan rembulan di tepian sungai Yangtze. Tanpa upaya untuk ikut “merasakan”, kekuatan utama dari bentuk “kesadaran estetika” Tu Fu, akan terlewat begitu saja.
Adrift, alone, another hundred miles,
Three years already of diabetes.
(Tu Fu, One Hundred Rhymes Expressing My Feelings on an Autumn Day in K’uei Prefecture)
Sumber Bacaan
Rouzer, P. (2011). Du Fu and the Failure of Lyric. Chinese Literature: Essays, Articles, Reviews. Vol. 33, 27-53.
Shan Chou, E. (1991). Tu Fu’s Social Conscience: Compassion and Topicality in His Poetry. Harvard Journal of Asiatic Studies. 51(1), 5-53.
Shan Chou, E. (1995). Reconsidering Tu Fu: Literary Greatness and Cultural Context. Cambridge: Cambridge University Press
Watson, B. (terj.). (2002). The Selected Poems of Du Fu. New York: Columbia University Press
Keterangan:
[1] Selain Tu Fu, penyair yang menyandang gelar tonggak sastra Cina adalah Li Po, yang hidup pada era yang sama dengan Tu Fu (kisaran abad 8 M pada masa Dinasti Tang berkuasa)
[2] Konsensus umum, mengacu pada kuatnya pengaruh ketiga figur tersebut dalam perkembangan budaya setelahnya.
[3] Pandangan ini sejalan dengan pandanganRouzer (2011): “Though recent criticism on Tang poetry attempts the reconstruction of a traditional Chinese poetics, it still insufficiently acknowledges the degree to which postmodern literary theory affects the way we read….That to read Chinese poetry in the modern North American academy means to read comparatively”
[4] Beberapa sumber menyatakan bahwaTu Yu, Jendral terkemuka yang hidup pada abad 3 Masehi adalah leluhur dari keluarga Tu Fu.
[5] “Alone I went to make my farewells” dalam “Wanderings of My Prime” banyak diartikan bahwa Tu Fu adalah satu-satunya peserta dari daerahnya yang gagal dalam ujian tersebut.
[6] Perjalanan Tu Fu mencakup (Life of Du Fu): Chang’an, Yanzhou, Louyang, kembali ke Chang’an, Qinzhou, Tonngu, Chengdu, Kuizhou, hingga Yueyang. Pada tahun 770 M, Tu Fu berniat kembali ke Chang’an, namun meninggal dalam perjalanan mengarungi sungai Yangtze.
[7] Since ancient times there have been a great many poets, but Tu Fu alone is preeminent among them. Is this not because all through his wanderings, through poverty and hunger, despite his unsatisfied desire to serve the state, through all his vicissitudes, he never for the space of a meal forgot his sovereign?, Wen Hua dalam San Chou (1995)
[8] Atas penolakan istana dalam ujian kenegaraan dan respon dingin atas puisi-puisinya.
[9] They say, “Please don’t mind that the wine is thin,
We have no one to plow the millet fields,
The wars have not yet stopped,
And the young are all fighting in the east.”
[10] Sebuah gaya yang ditandai dengan penafsiran peka akan realitas yang memunculkan efek kebalikan dari realisme, dalam stylized realism penggunaan bahasa tidaklah realistis, atau ditujukan menjadi realistis.
[11] Salah satu contohnya adalah sajak berjudul “Forced to Drink”:
“He was with the crossbow detachment,
His name was on the register of the Flying Cavalry,
And he had served for years without rotation,
Then the other day, he was released to come back to farm,
A blessing and a help to his old parents.”
[12] Pramodya Ananta Toer dan Ramadhan KH merupakan dua diantara sastrawan Indonesia yang memberikan perhatian pada karya-karya Tu Fu dan gaya penulisannya.
kontak via editor@antimateri.com