Antipuisi

Frase antipuisi, dalam khasanah kesusastraan Indonesia, rasa-rasanya dipopulerkan oleh Goenawan Mohamad lewat kaleidoskop sastra yang ia beri judul ‘Puisi dan Antipuisi’ (2011). Saya baca buku itu–tidak lama setelah terbit–karena penasaran pada judulnya yang ‘catchy’. Lama berselang, ketika tengah asyik berkutat dengan segala hal tentang Chile, saya menemukan sebuah harta (yang sebetulnya tidak juga) terpendam, yaitu kumpulan puisi Nicanor Parra berjudul Poemas y Antipoemas (1957). Antologi Parra lantas diterjemahkan dan diedit oleh Miller Williams menjadi Poems and Antipoems pada kisaran 1967. Wajar jika saya langsung teringat buku karya Goenawan Mohamad yang tersimpan di rak. Kesamaan judul membuahkan kepenasaran baru: dalam hal apakah Parra menginspirasi sang pujangga besar Indonesia tersebut? Tapi, sayang beribu sayang, nama Nicanor Parra tidak saya temukan dalam referensi pun dalam indeksnya. Karena keterbatasan sumber dan rasa penasaran saya yang ‘hanya sampai situ-situnya’, saya lalu mengambil asumsi logis: kesamaan mungkin hanya kebetulan semata (ambillah contoh lain: siapa pun bisa membuat lagu dengan judul ‘Imagine’ tanpa harus mengacu pada lirik legendaris Lennon). Terlepas dari kepenasaran pribadi saya (yang memakan terlalu banyak porsi pada bagian pembuka), frase ‘antipuisi’ dalam tulisan ini akan diurai dari sudut seorang Nicanor Parra. Sosok ini memang tidak setenar penyair kawakan Chile lainnya–Pablo Neruda–namun, rasanya kita bisa sepakat, bahwa tidak semua takaran didefinisikan oleh ketenaran.

Nicanor adalah sulung dari Parra bersaudara yang termasyhur (mengingatkan kita kembali pada gagasan musik folk Violeta dan Roberto). Berbeda dengan kedua adiknya, Nicanor menempuh jalan “memutar” untuk menjadi bagian dari gelombang artistik Chile, yaitu dengan memulai karier sebagai Profesor Fisika, dan baru menjadi penyair ketika menginjak usia 60. Tidak perlu waktu lama hingga julukan “the originator of so-called antipoetry” disematkan pada namanya (Tikkanen, n.d). Atas reputasi tersebut, Nicanor Parra lantas ditempatkan sebagai salah satu peletak dasar kesusastraan modern Amerika Latin (Grossman, 1972). Entah berapa banyak upaya yang dilakukan para kritikus dan sarjana sastra untuk memahami bentuk dan gagasan inti dari antipuisi. Salah satu penjelasan paling gamblang (yang saya gunakan karena alasan praktis saja) diberikan oleh Melnykovich (1975) sebagai berikut: “antipuisi dicirikan oleh keinginan untuk berkomunikasi secara langsung dan untuk memberi nama pada hal-hal secara jelas tanpa menggunakan bahasa penuh gaya sekaligus mencoba untuk menjauhkan diri dari citra puisi tradisional”. Hal ini selaras dengan jargon gerakan estetika baru Chile di era 1950an yang diungkap Garcia (1955, dalam Melnykovich, 1975): “a war on the methapor, death to the image”. Mungkin karena jengah dengan upaya pendefinisian yang tak kunjung tepat sasaran, sang penyair turun tangan dan memberikan definisi versinya sendiri, ujarnya (Parra, 1962):

Antipoetry is an all-out struggle with the elements, the antipoet concedes himself the right to say everything without caring for the possible practical consequences that can befall his theoretical formulations.

Dengan kata lain, antipuisi adalah upaya untuk mengungkapkan berbagai elemen keseharian (seperti jaket, pepohonan, merpati, atau orang di jalanan) sebagaimana adanya. Untuk memberikan contoh, simak antipuisi gubahan Parra berikut (Zapata, 2006):

Warnings

In case of fire
Do not use elevators
Use stairways
unless otherwise instructed
No smoking
No littering
No shitting
No radio playing
unless otherwise instructed
Please Flush Toilet
After Each Use
Except When Train
Is Standing At Station
Be thoughtful
Of The Next Passenger
Onward Christian Soldiers
Workers of the World unite
We have nothing to loose [sic]
but our life Glory to the Father
& to the Son & to the Holy Ghost
unless otherwise instructed
By the way
We also hold these truths to be
self evident
That all man [sic] are created
That they have been endowed
by their creator
With certain inalienable rights
That among these are: Life
Liberty & the pursuit of happiness
& last but not least
that 2 + 2 makes 4
unless otherwise instructed. 

Warnings, menurut Zapata (2006) masuk ke dalam bentuk antipuisi, karena didalamnya “berjejalan artefak keseharian yang membentuk seni sejati”. Dengan kata lain, mencoba memahami antipuisi laiknya menyaksikan permainan ‘kucing-kucingan’ antara penyair dan pembacanya: di satu sisi, sang penyair mencoba mengelabui pembaca sebisa mungkin untuk tetap membaca karyanya tanpa larut dalam metafora; di sisi lain, pembaca, senantiasa memaksa sebuah karya untuk masuk ke dalam ruang imajiner dan metaforik mereka sendiri. Melnykovich (1975) menyebut permainan kucing-kucingan ini sebagai ‘retraction’, mengacu pada pernyataan Parra sendiri bahwa ia “tidak akan lagi menjadi budak untuk pencapaian kesucian [seni] yang semu”. Oleh karenanya, setiap kata dalam antipuisi (seharusnya) adalah kata yang bebas (free verse), dan memiliki intensitas individual seperti musik baroque yang berpijak pada kekuatan internal setiap nadanya (Zapata, 2006).

Namun, sebuah skeptisisme naif tidak dapat dihindari ketika membaca Warning juga puisi Parra lainnya. Karena bagi pembaca saat ini, permainan kata dan kelincahan free verse dapat ditemui dalam banyak bentuk. Sebut saja dua contoh, Charles Bukowski dengan dirty realism-nya atau puisi mbeling Sutardji Calzoum Bachri–yang bukan hanya berbicara dalam gaya free verse, tapi juga memainkan persepsi dengan eksposisi realitas secara telanjang bulat. Lalu apa bedanya antipuisi Nicanor Parra dengan penyair lain (yang tidak berkeberatan dengan penyematan label ‘puisi’)? Untuk menjawab pertanyaan naif ini, Melnykovich (1975) punya penjelasan:

Parra, as we pointed out earlier, began with the faith that language was but a “simple vehicle” found in everyday life. He affirmed a belief in plain, unadorned and unpoeticized language, as the best means to communication. The newness and freedom of this approach soon became worn.

Melalui penjelasan di atas, masuk akal kiranya untuk menyandingkan kebaruan dan daya dobrak antipuisi Nicanor Parra sesuai konteks jaman. Ketika Warning digubah pada pertengahan abah 20, Parra bertujuan untuk membuat antithesis dari puisi-puisi liris Neruda dan puisi modern lainnya yang berpijak pada kekuatan imaji dan metaforik. Kini, di kala puisi semakin cair (dengan massalnya penggunaan free verse–dengan atau tanpa intensitas), antipuisi harus menampilkan dirinya dalam bentuk lain–yang jujur saja, tidak bisa saya bayangkan. Parra sendiri nampaknya telah sadar akan hilangnya daya dobrak seiring dengan waktu. Ia lalu membuat antipuisi penutup (I Take Back Everything I’ve Said) dan memberi pesan untuk para penyair setelahnya, bahwa: “In poetry everything is permitted. With only this condition, of course: You have to improve on the blank page”. Poin pertama rasanya sudah banyak dilakukan, namun syarat pada poin kedua, itu lain soal :p.

Antipuisi Nicanor Parra

I Take Back Everything I’ve Said

Before I go
I’m supposed to get a last wish:
Generous reader
burn this book
It’s not at all what I wanted to say
In spite of the fact that it was written with blood
It’s not what I wanted to say.
No lot could be sadder than mine
I was defeated by my own shadow:
The words take vengeance against me.
Forgive me, reader, good reader
If I cannot leave you
With a faithful gesture. I leave you
With a forced and sad smile.
Maybe that’s all I am
But listen to my last word:
I take back everything I’ve said.
With the greatest bitterness in the world
I take back everything I’ve said.

Sumber Gambar Muka: Skull – Andy Warhol

Sumber Bacaan:
Grossman, E. (1972). The Technique of Antipoetry. Review 72

Melnykovich, G. (1975). Nicanor Parra: Antipoetry, Retraction and Silence. Latin American Literary Review, 3(6), hal. 65-70.
Parra, N. (1962). Welcoming Speech Honoring Pablo Neruda. Santiago de Chile: Nascimento. 
Tikkanen, A. (n.d). Nicanor Parra: Latin-American Poet. Encyclopaedia Britannica. 
Zapata, M. (2006). Nicanor Parra and the Chaos of Postmodernism. Hofstra Horizons.

Share on:

Leave a Comment