Khalil Gibran Sang Humanis dan Pembela Kaum Perempuan

Jika anda tanyakan siapa itu Khalil Gibran kepada orang-orang di sekitar anda ? Mungkin beberapa dari mereka akan menggeleng-gelengkan kepala karena tidak tahu dan mungkin sebagian lagi juga akan berkata : “pernah dengar sih namanya, tapi nggak tahu siapa dia.”

Ya, Khalil Gibran bisa dikatakan cukup populer namanya. Di Indonesia, banyak orang yang sering mendengar namanya, walaupun belum pernah membaca karyannya. Sudah banyak karya-karya Gibran yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, dan tampaknya peminat karya-karyanya bukan hanya dari kalangan pecinta sastra, tetapi kalangan pecinta non-sastra pun banyak yang di buat terpukau oleh tulisan-tulisannya.

Ada ciri yang sangat khas pada gaya tulisan Gibran, yaitu pada bahasa metaforis yang ia gunakan. Bahasa yang ia gunakan untuk mengungkapkan perasaan itu begitu banyak menggunakan jenis perbandingan, yang beberapa di antaranya harus diakui memang menakjubkan.  Barangkali inilah letak daya pukaunya.

Tetapi beberapa pengamat sastra justru menggolongkan karya Gibran sebagai  karya sastra mediocre ‘tak bagus’, sebab penggunaan bahasa yang demikian memang cenderung membuat tulisan-tulisan Gibran terkadang terkesan cengeng.

Walaupun begitu, banyak penikmat karya-karya Gibran yang lupa atau bahkan tidak tahu, bahwa dibalik karya-karya Gibran, bersembunyi seorang Humanis Universal sekaligus seseorang yang gigih membela hak-hak kaum perempuan.

Sang Humanisme Universal

Khalil Gibran (جبران خليل جبران) dilahirkan pada tanggal 6 januari 1883 di Basyari, Lebanon melalui rahim Kamila Rahmi—seorang perempuan Kristen-Maronit. Gibran adalah pribadi yang berkembang di antara 2 kutub ranah budaya : Timur dan Barat. Ia lahir dan diasuh dalam lingkungan arab yang masih memegang kuat adat-istiadat tradisional. Sejak kecil ibunya sendiri — yang mahir berbahasa dan bernyanyi — mengajarkannya bahasa inggris dan bahasa perancis. Selain itu, sejak kecil Gibran juga sudah hobi membaca, dan dari sini terbukalah wawasannya tentang kondisi masyarakat dari ranah budaya lain.

Seperti halnya dengan masyarakat lain yang bermukim di kawasan timur Laut Tengah, Lebanon cukup banyak tersentuh oleh pengaruh budaya Barat. Sampai sekarang bahasa Perancis masih banyak digunakan dalam masyarakat Lebanon, sehingga Lebanon mirip dengan sebagian dari Perancis yang terdampar di Timur Tengah.

Di lain pihak, dalam banyak hal tradisi Arab sangat kuat bertahan, dan kenyataan ini lebih berkaitan dengan semangat nasionalisme Arab ketimbang oleh hubungannya dengan penyebaran Agama Islam. Nasionalisme Arab itu mungkin makin mencuat karena perasaan tertindas masyarakatnya pada masa penjajahan Turki. Penjajahan Turki berakhir dengan usainya perang Dunia I disusul dengan pengambilalihan wilayah Syria dan Lebanon oleh Perancis, yang pada gilirannya menyerahkan kembali kekuasaaan Syria dan Lebanon sebagai negara dengan pemerintahannya sendiri. Oleh karenanya , bahasa Perancis masih menjadi bahasa asing pertama di Syria dan Lebanon. Pengaruh inilah yang menjadi faktor kuatnya orientasi masyarakat Lebanon terhadap budaya barat. Selain faktor yang diuraikan tadi, Lebanon juga sangat heterogen mengenai penganut agamanya. Secara garis besar, masyarakatnya terbagi dalam penganut agama Islam dan Kristen, akan tetapi masing-masing golongan itu masih terbagi-bagi lagi dalam berbagai mazhab. Sekurang-kurangnya ada limabelas mazhab agama-agama yang secara resmi diakui eksistensinya di Lebanon —termasuk agama Yahudi— dan sebelas diantaranya meliputi berbagai denominasi agama Kristen. Semua ini tidak mempengaruhi kesadaran nasionalisme Arab pada orang Lebanon. Salah satu ungkapan yang sejak lama terkenal di Lebanon ialah “Ana Arabi qobl-al-islam” yang berarti “ Aku orang Arab sebelum Islam”. Ungkapan seperti ini biasanya dinyatakan orang Islam di Lebanon bila ada yang mempermasalahkan hubungannya dengan sesama orang Lebanon yang beragama Kristen.

Demikianlah Gibran tumbuh, ia tumbuh dalam suasana nasionalisme Arab sekaligus karib perkenalannya dengan serba-serbi budaya Barat. Apalagi ketika Gibran pindah ke Boston, Amerika pada waktu usianya baru menginjak dua belas tahun (1894) dan bermukim di sana hinggan wafatnya pada usia empat puluh delapan tahun ( 10 April 1931 ). Selama tiga puluh enam tahun itu hanya dua kali saja Gibran kembali ke Lebanon. Maka dapat dimengerti betapa kuatnya pengaruh yang menerpanya dari lingkungannya di ranah budaya baru itu.

Barangkali berbagai pengaruh lingkungan hidup itulah yang menjadikan Gibran sebagai manusia kosmopolit yang tidak merasa terikat pada kebangsaan dan kebudayaan tertentu. Dari sini kita bisa melihat terjadinya transendensi yang melampaui batas-batas kebangsaan dan kebudayaan menuju kemanusiaan sejagad. Kematangan sebagai sang humanis universal ini sangat kentara pada beberapa  kutipannya. Baginya manusia dan sesamanya adalah bersaudara, dan jarak yang terjadi dalam hubungan antar-manusia direntangkan oleh apa yang kita bayangkan. Dalam himpunan “Tears and laughter”(air mata dan yang tertawa) terdapat tulisannya berjudul “The Poet’s Voice”( Suara Penyair ) yang antara lain menegaskan sikapnya yang mengunggulkan humanisme universal :

“Kemanusiaan terbagi dalam berbagai dalam berbagai marga dan suku, serta menghuni berbagai negeri dan kota. Tapi aku merasa diriku asing di semua kebersamaan itu dan tidak juga tergolong di pemukiman mana pun. Jagad adalah negeriku dan keluarga manusia sukuku.”

Pembela Kaum Perempuan

Sikap Gibran sebagai seorang yang humanis rupanya juga tercurah pada masalah kaum perempuan di masa itu. Itu bisa dilihat pada karyanya yang berjudul “Broken Wings”(Sayap- Sayap Patah) yang sering dianggap sebagai buku otobiografi Gibran. Karyanya ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Pengaruh “Broken Wings” terasa sangat besar di dunia arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Agaknya dari karyannya ini Gibran menunjukkan sikapnya yang menentang sistem patriarki, yang seringkali dinilai  telah menyengsarakan perempuan pada masa itu. Seperti kata Gibran dalam “Broken Wings” :

“Peradaban modern telah membuat perempuan agak lebih bijaksana, tetapi telah membuatnya semakin menderita karena ketamakan laki-laki. Perempuan di masa lalu adalah istri yang bahagia, tetapi perempuan masa kini adalah nyonya rumah yang menyedihkan. Di masa lalu perempuan berjalan dalam terang tanpa melihat, tetapi sekarang perempuan berjalan dengan mata terbuka di kegelapan.”

Khalil Gibran sebagai ikon Humanisme

Khalil Gibran meninggal pada tanggal 10 April 1931 di New York, tetapi mayatnya dikebumikan  di tanah kelahirannya Basyari, lebanon. Ribuan pelayat menghadiri acara pemakamannya dengan penuh khidmat. Mereka semua berasal dari Kristen Maronit, Protestan, Islam Syiah dan Sunni, Gereja Yunani Kuno, Yahudi, Druz, dan lain-lain. Gibran mungkin memang sudah tiada, tetapi karya-karyanya tetap hidup dan selalu memberi nafas pada kemanusiaan. Gibran telah menjelma menjadi ikon Humanisme. Jika kita suka membaca karya-karya Gibran, kita harusnya juga mewarisi nilai-nilai yang terdapat pada Gibran. Nilai-nilai yang memuat cara bagaimana memanusiakan manusia.

Rujukan Pustaka
Hasan, Fuad. Menapak jejak Khalil Gibran, Pustaka Jaya, Jakarta, 2001.
Gibran, Khalil. Sayap-Sayap Patah, Alih bahasa Sapardi Djoko Damono, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2006.

Share on:

Leave a Comment