Pertemuan antara agama dan seni kerap menghadirkan bentuk estetika transenden yang terwujud dari dorongan rasa cinta kepada Sang Ilahi. Karya transenden ini dapat ditemukan dalam berbagai bentuk: mulai dari keindahan bangunan, mural, patung, lukisan, hingga musik dan nyanyian. Islam pun demikian; bentuk kecintaan kepada Ilahi ditumpahkan melalui ragam bentuk karya seni yang kemudian berkelindan dengan prinsip simbolik partikular dan interpretasi kontekstual. Alhasil, kita berhadapan dengan gaya simbolik yang khas (misalnya, kita dapat dengan mudah membedakan seni dari agama tertentu beserta denominasinya); dan konteks budaya yang melekat (musik Islami yang lahir di jazirah arab, akan berbeda dengan musik Islami di Afrika, Asia Selatan ataupun Nusantara). Tanpa mengesampingkan kompleksitas persinggungan (agama-seni) dan partikularitas (simbolik-budaya), tulisan ini akan membahas sekilas tentang Qawwali, tradisi musik spiritual Islam yang lahir di jantung kesultanan Delhi dan menjadi representasi soundscape Islam di sub-benua Asia Selatan.
Qawwali berasal dari bahasa Arab, qaul (ucapan) – yang dalam konteks Islam mengacu pada perkataan Nabi Muhammad. Istilah Qawwal kemudian digunakan kepada seseorang yang kerap mengulang-ngulang perkataan Nabi, sedangkan Qawwali adalah sebutan untuk lagu/langgamnya. Newell (2007) menguraikan bahwa ritme Qawwali dihasilkan dari proses pengulangan kata (dzikir) secara ritmik yang kemudian diadopsi menjadi langgam atau gaya tutur. Awal perkembangan Qawwali dapat ditelusur hingga abad ke-13 melalui pencampuran langgam Persia, Turki, Afghanistan dan India oleh seorang musisi-Sufi kenamaan dari Kesultanan Delhi: Amir Khusrau. Dalam tradisi awalnya, penuturan Qawwali didasarkan pada prinsip sebagai berikut: “memperdengarkan Qawwali diperbolehkan apabila syarat-syarat terpenuhi. Dinyanyikan oleh laki-laki dewasa; pendengar hanya mendengarkan dengan tujuan mengingat Allah; tidak menggunakan kata-kata kosong atau kata-kata tidak senonoh; dan tidak menggunakan alat musik”. Namun dalam perkembangannya, instrumen musik mulai digunakan untuk mengiringi Qawwali, diantaranya (Nayyar, 1988): (1) dholak (drum panjang dengan dua sisi); (2) tabla (drum sepasang); (3) harmonium (yang diperkenalkan oleh misionaris Jesuit Inggris pada kisaran abad 16); (4) sarangi (dawai); dan (5) klarinet (sarangi dan klarinet hanya digunakan pada Qawwali di Pakistan). Adapun Abbas (2003) menyoroti perkembangan para Qawwal perempuan yang lambat laun mengisi peran penting dalam komunitas sufi, baik di India ataupun di Pakistan. Kedua perkembangan ini mengacu pada konteks budaya, yang menurut Qureshi (1995), memberikan landasan intrinsik bagi perkembangan musik sufi saat ini.
Lahir dari tradisi Sufisme Chishti (Sunni-sufism yang berkembang di Afganistan dan India), gaya musik Qawwali bersandingan dengan tradisi vernakular Farsi, Hindi dan Urdu. Qureshi (1995) menyebut Qawwali sebagai “music in context” – yaitu musik yang dimainkan dan diperdengarkan dengan tujuan tertentu, yaitu “arouse mystical love, even divine ecstasy, the core experience of Sufism”. Namun, berbeda dengan pengalaman trance yang tidak terkontrol, Qawwali menghadirkan batas (kesaradan) yang tegas dengan memposisikan “para pendengar sebagai pendengar” – tidak larut dalam ritual seperti halnya tarian para Darwis. Sama’ atau mendengar adalah prinsip utama dalam Qawwali. Akbar Khan (dalam Newell, 2007) mengurai praktik ‘mendengar’ sebagai salah satu disiplin sufisme Chisti yang berkembang sejak abad 8 masehi. Ungkap Khan: “It was Khwaja Mu’in al-Din Chishti’s love for music, and his love for listening to music as an Islamic spiritual discipline, that has inspired his successors to continue the practice in the subcontinent”. Tradisi turun temurun ini kemudian diadopsi sebagai salah satu prinsip utama dalam Qawwali oleh Amir Khusrau yang masih dipertahankan hingga saat ini. Dengan kata lain, terdapat dua pelaku utama dalam sebuah pertunjukkan Qawwali dengan posisi yang sama penting: (1) para Qawwal yang melantunkan syair pujian, dan (2) majelis pendengar (mahfil-i-sama’/assembly for listening–sebuah aktivitas yang lebih mudah dikatakan daripada dilaksanakan). Keduanya saling melengkapi dan berbagi pengalaman transenden untuk mencapai Sang Ilahi.
Qureshi (1995) lebih lanjut menjelaskan gambaran tentang pelaksanaan Qawwali. Dalam praktiknya, pertunjukkan Qawwal disajikan untuk acara tertentu, seperti perayaan hari besar Islam atau peringatan kelahiran Nabi, Wali, dan para Aulia. Tidak ada tempat khusus untuk pertunjukkan Qawwali, oleh karenanya tempat pertunjukkan kerap disesuaikan dengan jenis perayaan (misalnya, di dekat makam wali, di dalam aula tertentu, atau bahkan di stasiun radio untuk menjangkau pendengar yang jauh). Jumlah peserta tiap pertunjukkan pun akan berbeda-beda: ada upacara di mana hanya sedikit orang terpilih dan berstatus tinggi yang hadir, sementara pada kesempatan lain terbuka untuk umum, termasuk orang asing dan dari agama lain. Menurut kebiasaan, peserta duduk sesuai dengan status mereka dan dalam urutan tertentu: pemimpin majelis (syekh atau para guru agama) di baris muka, penonton dan pada baris terakhir, para Qawwal. Para pelantun Qawwal duduk di belakang agar tidak menggangu aktivitas sama’ para pendengar dan mengganggu kekhusyukan mereka. Namun sejalan dengan popularitas Qawwali, kini para pelantun Qawwal berada di atas panggung, sebagaimana musisi pada umumnya. Walaupun demikian, di beberapa wilayah India dan Pakistan, penempatan Qawwal masih mengikuti tradisi semula (Qureshi, 1995).
Kini Qawwali berada di persimpangan. Di satu sisi, keberadaannya semakin luas dikenal (mengacu pada jumlah pendengar yang semakin banyak dan pengakuan dari dunia internasional). Namun di sisi lain; pelantun Qawwal semakin sedikit karena banyak generasi penerus yang meninggalkan profesi sebagai pelantun Qawwal (profesi ini didominasi oleh keturunan berdasarkan garis keluarga). Di antara para pelantun Qawwal, terdapat beberapa nama besar yang berhasil mengangkat dan mempertahankan tradisi Qawwali yaitu Aziz Mian, Nusrat Fateh Ali Khan, juga Sabri Brothers. Adalah Nusrat Fateh Ali Khan yang membawa Qawwali ke kancah dunia sekaligus memperkenalkan Qawwali sebagai kekayaan tradisi musik Islam. Gaind-Krishnan (2020) menggambarkan bahwa penerimaan masyarakat Internasional terhadap Qawwali disebabkan atas detail tekstur suara yang memiliki akar transnasional (Persia, Afgan, Hindus, dan Urdu) sehingga mudah menyerap dalam kesadaran masyarakat diaspora [wilayah-wilayah asal suara tersebut] yang tersebar diberbagai belahan dunia. Walaupun pandangan ini dapat saja dengan mudah dibantah karena kerjasama musikalitas Nusrat Fateh Ali Khan tidak hanya terbatas pada musisi diaspora saja – musisi Eddie Fedder dan gitaris Michael Brook sebagai contohnya. Eksposur internasional menghantarkan Qawwali berada pada daftar UNESCO Intangible Cultural Heritage dan pengakuan dunia atas Qawwali sebagai salah satu pilar seni musik Islam rasanya perlu dibanggakan; namun tidak dapat disangsikan bahwa popularitas membawa Qawwali ke persimpangan yang kedua: yaitu persimpangan antara spiritualitas dan sekularitas. Dalam tradisi sufisme, musik (ataupun seni dalam bentuk lain) memiliki konteks tunggal, yaitu sebagai wujud cinta pada Yang Hakiki. Pun dalam Qawwali, spiritualitas ditentukan oleh kualitas pertemuan antara pelantun Qawwal dan majelis pendengar (mahfil-i-sama’) yang berbagi pengalaman mistis untuk mendekatkan diri dengan Sang Ilahi – dan ketika yang satu hilang, maka tujuan akan berbelok arah.
Musik Spiritual Qawwali
Sumber Bacaan:
Abbas, S. B. 2003. The Female Voice in Sufi Ritual: Devotional Practices of Pakistan and India. University of Texas Press.
Gaind-Krishnan, S. 2020. Qawwali Routes: Notes on a Sufi Music’s Transformation in Diaspora. Religions, 11 (685); doi:10.3390/rel11120685.
Nayyar, A. 1988. Origin and History of the Qawwali. Islamabad. Lok Virsa Research Center.
Newell, J. R. 2007. Experiencing Qawwali: Sound as Spiritual Power in Sufi India. Dissertation. Graduate School of Vanderbilt University.
Qureshi, R. B. 1995. Sufi Music of India and Pakistan: Sound, Context, and Meaning in Qawwali. Chicago and London: The University of Chicago Press.
kontak via editor@antimateri.com