Musik Rebetiko: Kisah dari Pinggiran Yunani

Setiap subkultur memiliki nuansanya sendiri. Terbentuk atas interaksi intens antara [kumpulan] manusia dengan sejarahnya, beragam identitas hadir dengan karakternya masing-masing–termasuk dalam segi musik. Sebutlah beberapa subkultur musik yang pernah diulas sekedarnya dalam webzine ini, seperti Samba, Rumba, Qawwali, atau Klezmer; keempatnya memiliki ciri khas tersendiri guna membedakan diri dengan budaya arus utama. Demikian pula musik Rebetiko–lahir dari persinggungan sejarah dan nasib buruk, Rebetiko menjelma menjadi semacam irama kehidupan bagi masyarakat pinggiran di Yunani. Karakter unik lanskap musik Rebetiko memberikan lebih dari cukup alasan untuk mengulas subkultur satu ini. Tiga poin utama akan disajikan, yaitu: (1) sejarah rekaman, (2) akar musik, dan (3) kisah-kisah dalam liriknya–tiga hal, yang menurut Elias Petropoulos (2000), dapat memotret dunia bawah tanah Yunani yang kerap luput dari perhatian.

Adalah Ole L. Smith, pengamat sejarah Yunani dan Asia Minor, yang mencoba menelusuri sejarah musik Rebetiko. Dalam upayanya, Smith harus berkutat dengan minimnya arsip dan rekaman, ujarnya (Smith, 1991): “the problems presented by the almost complete lack of reliable information concerning the dates of pre-war rebetika recordings. It is unfortunately no exaggeration to say that with very few exceptions the published dates of older rebetika recordings are not to be trusted, and they have not been based on factual evidence.” Hambatan akan ditemui oleh siapa pun yang ingin mendekati Rebetika (bentuk jamak dari Rebetiko) melalui penggalian rekaman fisik–karena ternyata, secara tradisi merekam Rebetiko adalah semacam penistaan yang sebisa mungkin harus dihindari. Koglin (2015) menemukan sebuah analogi menarik: “recording Rebetiko, is like entering a church, approaching an icon of Mother Mary and putting your autograph on it”–analogi ini memberikan penjelasan mengapa pencarian rekaman awal Rebetiko sulitnya minta ampun. Titik balik terjadi pada tahun 1960-1970an dikenal dengan sebutan “Rebetiko revival”–yaitu suatu ketika di mana musik pinggiran diangkat ke panggung-panggung pertunjukkan. Di awal 1960an, geliat industri musik adalah salah satu penyebab maraknya rekaman Rebetiko. Namun alasan mengapa Rebetiko dirayakan di seantero negeri pada era 1970an mengacu pada aspek lain, yaitu politik dan konstruksi identitas nasional. Rejim junta militer Yunani runtuh pada tahun 1974, dan ketika massa membutuhkan ekspresi perayaan, mereka berpaling pada Rebetiko–subkultur musik yang sebelumnya hanya dapat didengar di lorong-lorong kumuh kota Athena (Stamatis, 2011).  

Kini, bentuk terekam Rebetiko dapat ditemukan dengan mudah. Namun, upaya penelusuran akar music tetap mengalami hambatan karena ketersediaan rekaman yang terputus. Oleh karenanya, musikolog mencari cara lain, yaitu dengan menelusuri akar sejarah instrumen musik dan karakter suara. Buzuki (atau Bouzouki) adalah instrumen utama dalam harmoni Rebetiko. Catatan awal tentang buzuki ditemukan pada tahun 1835 melalui sketsa Leonidas Gailas, artisan buzuki di Athena (Kourousis, 2013). Instrumen khas Athena ini lalu bersinggungan dengan musik dan harmoni Turki (khususnya musik folk Istambul dan Anatolia) hingga menghadirkan Rebetiko yang kita kenal saat ini. Lebih lanjut, Koglin (2015) menggambarkan Rebetiko sebagai ‘wadah dari beragam genre’ dan bukan bentuk tunggal dengan pakem tertentu seperti aturan dua belas bar pada blues atau pola ritmik tunggal seperti dalam tango atau reggae. Mode dalam Rebetiko adalah campuran dari akar musik Yunani dan beragam rasa musik dari seberang laut Mediterania. Pun dalam hal instrumen, walaupun buzuki menjadi instrumen utama, namun varietas instrumen folk lain dapat ditemukan, seperti akordeon, lyra, klarinet hingga biola. Alhasil, setiap Rebetes (sebutan untuk musisi Rebetiko) memiliki gayanya sendiri dalam menafsir sebuah lagu–bentuk ini lazim dalam pertunjukkan Rebetiko, yaitu sebuah lagu dimainkan secara berulang, namun tak pernah sama. Terlepas dari ragam interpretasi para Rebetes, musik Rebetiko berbagi karakter khas yang membedakannya dengan musik folk lainnya, yaitu gabungan eklektik dari unsur umum musik rakyat Yunani dan tradisi musik Mediterania Timur. Bentuk campuran ini menjadi karakter khas Rebetiko yang memang terlahir dari sejarah kosmopolitan Yunani–layaknya budaya helenisme pada masa klasik.

Selain rasa campuran, penciri lain yang memperkuat karakter Rebetiko adalah lirik-liriknya. Perlu diingat, bahwa subkultur ini lahir di tengah-tengah area kumuh–Rebetiko sendiri memiliki akar kata Rebetis yang berarti “pengelana buta salah tuntunan”. Jangan harap ada metafora dewa-dewi di sana, atau romantisme keindahan alam; bahkan menurut Petropoulos (2000) jangan harap ada lagu dan lirik Rebetiko yang ditulis dalam keadaan tidak mabuk. Lirik Rebetiko penuh gerutu dan cemooh akan realitas, uniknya, pola lirik ini tetap hadir dalam Rebetiko versi populer paska 1970an. Sebagai contoh, simak lirik berikut yang dipopulerkan oleh Yannakis Ioannidis dan musisi buzuki Manolis Karapiperis:

‘These cops that came in now,
What are they looking for at this hour?
They came to arrest us
And to take away our dice’

(Diterjemahkan Gkoulimaris, 2019)

Lirik lain dilantunkan oleh Yorgos Kavouras berbunyi:

‘The cold is my bitterness; the heat is my joy
I was never scared of hunger, and I do not remember orphanship
This is how I found myself in this world, and I do not complain
And if I die and someone is found to bury me,
I am the child of the street, and the street shall be the one to cry for me’

(Diterjemahkan Gkoulimaris, 2019)

Lirik anti-heroik penuh kegetiran seperti ini adalah hal yang biasa dalam Rebetiko. Bahkan, dalam pertunjukan langsung, tidak aneh apabila lantunan sumpah serapah dinyanyikan bersama-sama. Melalui pendalaman lirik, Gkoulimaris (2019) mengategorikan Rebetiko sebagai gerakan sosial politik dengan fungsi yang melampaui pertunjukkan musik semata. Ragam kisah dituturkan–setidaknya tiga tema dapat ditemukan secara umum: (1) bentuk ‘provokasi’ atau ajakan untuk menyuarakan kritik sosial atas kondisi sosial ekonomi yang semakin membuat sesak napas, (2) alusi atau mimpi realitas alternatif di mana para pecundang adalah pemain utama, dan (3) sebagai bentuk eskapisme yang dibentuk atas makna-makna misterius yang lahir dari botol-botol anggur murahan. Dengan kata lain, Rebetiko bukanlah Rebetiko tanpa sumpah serapah, namun ditangan para Rebetes sumpah serapah dimainkan dalam melodi kualitas tinggi dan menjadi keindahan tersendiri. Puncaknya adalah ketika tahun 2017 UNESCO memasukkan Rebetiko ke dalam daftar Intangible Cultural Heritage. Entah bagaimana perasaan para pencuri, pencopet, dan pemabuk ketika inspirasi mereka diakui dunia. Yang pasti, kisah kaum pinggiran akan terus digaungkan dalam lantunan lagu-lagu Rebetiko.

‘Each time I see you walking by and sweetly looking at me
Just so you know, my pretty girl, right in the heart you stab me
Oh, I’m gonna die at the café
Sucking hash fumes from the nargileh
Don’t get angry with me, sweetheart, if I’m on a high
I got hooked on hashish ’cause you make me lose my mind’

(Diterjemahkan Koglin, 2015)

Musik Rebetiko dan Kisah-kisah Pinggiran 

Sumber Gambar Muka: David Prudhomme. 2009. Rebetiko. Futuropolis (Hellenic Foundation for Culture

Sumber Bacaan:
Gkoulimaris, D. 2019. When I Die, Throw Me into the Sea’ Greek Rebetiko as a Political Art Form. Northwestern in Paris: Art, Literature, and Contemporary European Thought, Fall Series.
Koglin, D. 2015. Greek Rebetiko from a Psychocultural Perspective: Same Songs Changing Minds. Ashgate Publishing Limited.
Kourousis, S. 2013. From Tambouras to Bouzouki: The History and Evolution of the Bouzouki and its first Recordings (1926–1932). Orpheum Phonograph, ORPH-01.
Petropoulos, E. 2000. Songs of the Greek Underworld: the Rebetika Tradition. (Terj. Ed Emery). Saqi Books.
Smith, O. L. 1991. The Chronology of Rebetiko–a Reconsideration of the Evidence. Byzantine and Modern Greek Studies, 15:1, 318-325.
Stamatis, Y. 2011. Rebetiko Nation: Hearing Pavlos Vassiliou’s Alternative Greekness Through Rebetiko Song. Dissertation: The University of Michigan.

Share on:

Leave a Comment