Sejarah Seni Afganistan (II): Musik Tradisi dan Nyanyian Rakyat

Musik dan nyanyian adalah gema dari sebuah peradaban. Penelusurannya senantiasa mengasyikkan karena didalamnya terekam beragam potongan sejarah–mulai dari terbentuknya sebuah lanskap suara (soundscape), fungsinya dalam ritual dan keseharian, hingga perubahan nada dan irama ketika peradaban baru datang dan menetap. Dalam konteks Afganistan, sejarah musik–mau tidak mau–harus ditarik agak jauh ke belakang. Hal ini dikarenakan: (1) posisi Afganistan yang berada di tengah jalur sutra menjadikannya bejana bagi pertemuan beragam budaya; (2) masuknya peradaban Islam kemudian yang memberi dinamika baru pada interpretasi musik dan nyanyian. Dua poin di atas menjadi patokan dalam penelusuran singkat kali ini. Adapun karya dari tiga raksasa etnomusikologi Afganistan–Hiromi Lorrainne Sakata, Mark Slobin dan John Baily–akan digunakan sebagai kompas untuk menemukan jejak musik di tanah Pashtun[1].

Salah satu kajian awal tentang musik di Afganistan ditulis oleh Mark Slobin (1976). Dalam tulisan berjudul Music in the Cultures of Northern Afghanistan, Slobin mengemukakan sebuah gagasan tentang “musik bersama” (shared music), yaitu ketika sejumlah karakteristik musik melintasi batas klan, etnis, bahkan perbatasan. Dalam hal ini, Slobin membandingkan karakter musik di utara Afganistan: Turkestan, Katagan, and Badaxsan, dan menemukan beberapa karakter umum dalam bentuk musik reliji, juga kemiripan dalam musik hiburan yang dimainkan para musisi di kedai-kedai teh. Namun, dalam upayanya membangun diskursus tentang musik Afganistan, Slobin mendapatkan kritik atas kategorisasi yang ia buat dalam membedakan shared music dengan subculture music[2]. Ia juga mendapatkan kritik karena tidak mengangkat pengaruh Islam dalam musik Afganistan–yang sebagaimana kita tahu, memiliki pengaruh besar dalam perkembangan kemudian (Faruqi, 1977). Terlepas dari kritik atas beberapa hal krusial dalam tulisannya, karya Slobin menjadi pembuka jalan bagi para pengkaji musik tradisi Afganistan setelahnya.

John Baily adalah satu di antara etnomusikolog yang melanjutkan jejak Slobin. Music of Afghanistan diterbitkan pada 1988 setelah Baily kembali dari petualangannya menelusuri Asia dan benua lainnya. Afganistan rupanya memberikan kesan mendalam sehingga dari sekian lanskap musik yang ia kunjungi, Baily memberikan perhatian lebih pada dua kota tua yang menjadi kiblat musik Afganistan, yaitu Herat dan Kabul. Menurut Baily, keduanya memiliki lanskap musik yang megah; setara dalam memberi pengaruh bagi perkembangan musik Afganistan kemudian, sekaligus kutub berseberangan. Musik di Kabul hidup dalam tradisi seni elit istana Hindustani, sedangkan musik Herat lahir dari tradisi musik rakyat Persia. Perbedaan mencolok juga dapat ditemukan dalam stratifikasi sosial seorang musisi. Di Herat, status musisi profesional dapat dimiliki siapa pun asalkan ia mewarisi ilmu musik dari musisi lain yang dianggap guru. Sedangkan di Kabul, status musisi adalah warisan keluarga, sebuah posisi elit turun temurun dengan privilese utama sebagai musisi Istana sekaligus orang terpilih untuk melestarikan ilmu musik (ilm e-musiqi/music science). Musisi istana Kabul ditempatkan di Bala Hisar yang terhubung dengan Istana agar dapat dipanggil kapan pun untuk pertunjuk musik di durbar (panggung istana).

Sejalan dengan perubahan pada kota tua Kabul, kini Bala Hisar berubah menjadi tempat berkumpulnya para musisi (musician quarter) dari berbagai wilayah dan menjelma menjadi Kuchen Kharabat (Gang Kharabat). Transmisi musik adalah aspek selanjutnya yang berperan dalam pembentukan dan perkembangan musik Afganistan yang kita kenal saat ini. Hingga kini, musik Hindustani masih menempati posisi sebagai ‘art music’ dan dimainkan dalam pakem yang taat pada tradisi; sedangkan musik Herat lebih populer di masyarakat terutama setelah memasuki era kaset. Uniknya, justru musisi Herat yang kemudian mempopulerkan musik Hindustani; melalui model campuran yang dikenal dengan istilah Sazandeh, para musisi dari Herat mengadopsi karakter musik Hindustan dalam bentuk sederhana dan menyebarkannya secara luas.

Selain penelusuran musik pada dua kota tersebut, Baily menginventarisir sejumlah instrumen musik yang lazim digunakan. Untuk musik aliran Herati, Baily menyoroti nyanyian khas dalam bahasa Dari (dialek Afganistan dalam bahasa Farsi), diiringi oleh instrumen tradisional seperti dutâr, kecapi berleher panjang, harmonium yang dipompa dengan tangan, juga tabla (gendang tangan bernada berpasangan). Sedangkan musisi aliran Kabul kerap menggunakan instrumen musik Hindustani klasik seperti naqqarakhâna (ensambel shamw atau semacam terompet) dan dalam perkembangannya rubab (rebab). Baily lalu memberikan perhatian detail pada instrumen rubab, karena posisinya sebagai alat musik utama dalam musik Afganistan saat ini.

Rubab Afganistan (Baily, 2015)

Selain Slobin dan Baily, Hiromi Lorraine Sakata adalah etnomusikologi lain yang mendalami musik Afganistan. Dalam Music in the Mind (1983), Sakata memberikan penjelasan tentang dinamika musik di Afganistan setelah bersinggungan dengan peradaban Islam. Sebagaimana diketahui, interpretasi musik dalam Islam berada pada dua titik ekstrem: diperbolehkan sebagai jalan spiritual, atau tidak diperbolehkan sama sekali. Posisi pertama hadir bersama pengaruh Persia dan meresap dalam perkembangan budaya Herat sejak abad 15 Masehi. Sedangkan posisi yang kedua dipegang teguh oleh para Imam yang masuk bersama penaklukan Turki atas Kabul pada abad 10 Masehi. Dalam perkembangannya, musik Herati tersebar luas dan mendorong hadirnya masa keemasan musik Afganistan pada era 1950-1970 di bawah kepemimpinan Mohammad Zahir Shah (Sakata, 2012). Geliat musik di Afganistan menurun paska intervensi Uni Soviet dan kecamuk perang sipil berkepanjangan. Kini, di bawah rejim Taliban, musik kembali dilarang, baik pada acara-acara publik maupun pribadi. Namun, Sakata menemukan bahwa konsep Musiqi (musik) memiliki makna lain dalam benak Muslim Afganistan.  

Sakata menemukan perbedaan dalam konsepsi musik ketika ia mengunjungi Hazarajat, sebuah kota pegunungan di jantung Afganistan. Di sana ia bermaksud merekam musik keseharian masyarakat Hazarajat dengan meminta ijin pada penduduk setempat. Namun, tanpa disangka-sangka, ia mendapat jawaban mengejutkan: “kami tidak memiliki musik”. Dari pengalaman tersebut, Sakata lalu menggali definisi musik melalui penelusuran lebih lanjut di Nerat, Faizabad, juga Khadir, dan menemukan bahwasanya konsep musik mengacu pada “irama yang dihasilkan oleh instrumen [musik]”; adapun nyanyian, lagu kanak-kanak, kidung sebelum tidur, lagam adzan dan irama dalam pembacaan ayat suci Al-Qur’an, tidak dikategorikan sebagai musik. Instrumen musik dianggap haram, walaupun syair, balada atau nyanyian rakyat Pashtun tetap diijinkan–bahkan dalam praktik kekuasaannya, Taliban menggunakan balada patriotik Pashtun yang disiarkan melalui televisi dan radio. Alhasil, simpulan Sakata dalam Music in the Mind mempertegas oposisi musik dalam masyarakat Muslim di Afganistan (juga masyarakat Muslim pada umumnya): bahwa ambivalensi musik dalam Islam (musik sebagai jalan spiritual atau dilarang sama sekali) berasal dari kekayaan ragam interpretasi ayat Qur’an dan Hadist, yang berkelindan dengan kuasa budaya dan politik. Ketika Taliban berkuasa, keragaman dipenggal dan menyisakan hanya satu versi interpretasi–sebuah interpretasi pengap di mana musik, tidak memiliki tempat di dalamnya.

Pengaruh Persia pada Musik Tradisi Herat

Pengaruh Hindustani pada Musik Tradisi Kabul

 

Gambar Muka: Mark Slobin, 2016, Musical Instruments of Afghanistan, Met Museum 

Sumber Bacaan:
Baily, J. 1988. Music of Afghanistan: Professional Musicians in the City of Herat. Cambridge University Press.

Baily, J. 2015. War, Exile and the Music of Afghanistan. Routledge.
Faruqi, L. I. 1977.  Music in the Culture of Northern Afghanistan by Mark Slobin. Ethnomusicology. Vol. 21, No. 3.
Sakata, H. L. 1983. Music in the Mind: The Concepts of Music and Musician in Afghanistan, Kent State University Press.
Sakata, H. L. 2012. Music in Afghanistan. Afghanistan: Multidisciplinary Perspectives, Vol. 17, No. 2.
Slobin, M. 1976. Music in the Culture of Northern Afghanistan. Viking Fund Publication for Anthropology.

Keterangan:
[1] Afganistan sebagai entitas politik-bangsa baru hadir pada tahun 1747 mengacu pada istilah yang digunakan oleh para ahli geografi Eropa merujuk pada sebuah wilayah yang ditempati etnis Pashtun. Penamaan Afganistan sendiri baru umum digunakan pada abad kesembilan belas (dipopulerkan oleh kolonial Inggris kala itu) (Baily, 2015).

[2] Musik dengan karakter yang hanya dimiliki etnis tertentu

Share on:

Leave a Comment