Kitab Musik dalam Tradisi Islam (II): Kitab Al-Aghani

Kitab Al-Aghani (Books of Songs/Buku Kumpulan Lagu) ditulis oleh seorang pujangga sekaligus musikolog, Abu al-Faraj al-Isfahani, pada kisaran 967 Masehi. Uniknya, alih-alih dimasukkan dalam kategori referensi musik, Kitab Al-Aghani lebih dikenal sebagai buku sastra. Kilpatrick (2003) memberikan penjelasan atas [mis]kategorisasi tersebut dengan mengajukan beberapa fakta: (1) Kitab Al-Aghani bukan sekedar kumpulan buku lagu, tapi juga merangkum sejarah sosial, kritik puitis, diglosia (variasi bahasa) dan sejumlah topik lainnya di luar musik; (2) struktur penulisan Kitab Al-Aghani yang menggabungkan gaya puisi dan prosa membuatnya sulit untuk dimasukkan ke dalam kategori tertentu, terlebih ketika bercampur berbagai genre mulai dari anekdot, kisah kepahlawanan, kutipan figur sejarah, hingga kontroversi yang mengemuka pada jamannya; dan (3) Kitab Al-Aghani adalah buku musik yang “sunyi”, dalam arti tidak ada keterangan notasi, sehingga membuat rekonstruksi musik menjadi mustahil dilakukan.

Dari ketiga poin di atas, konteks harus diberikan pada poin kedua; karena pada dasarnya campuran bentuk dan genre adalah hal yang lazim ditemukan dalam kompilasi sastra Arab abad pertengahan (belles-lettres). Namun, walaupun menggunakan bentuk populer, Kitab Al-Aghani tetap menonjol karena detail informasi yang melebihi referensi musik lainnya. Adapun tulisan kali ini akan membahas tentang tiga pokok uraian dalam Kitab Al-Aghani yaitu kumpulan seratus musik dan lagu terbaik, musisi istana, dan lagu pilihan al-Isfahani sendiri. Uraian mengikuti kerangka penjelasan Kilpatrick (2003) dengan menambahkan beberapa sumber untuk mendiskusikan dua asumsi utama: (1) bahwa musik tidak pernah jauh dari tradisi Islam; dan (2) bahwa ada kesinambungan antara tradisi musik pra-Islam dengan tradisi musik pada periode Islam.

***

Kumpulan Seratus Musik dan Lagu Terbaik

Kitab Al-Aghani dibuka oleh daftar seratus lagu dan musik terbaik sejak awal tradisi Islam hingga kisaran kitab ini ditulis pada abad 10 M. Daftar ini mengisi hampir dari setengah bagian Kitab Al-Aghani; terhitung mulai volume I hingga XIX. Dalam kurasinya, al-Isfahani menyajikan lebih dari sekedar jajaran nama musisi dan judul lagu, karena dalam setiap uraian, ia menjelaskan beberapa poin penting, diantaranya: (1) siapa penyair dan komposer yang bertanggung jawab; (2) sumber terdahulu sekaligus sumber tambahan (yang belum pernah dibahas sebelumnya); (3) interpretasi bagaimana syair dan lagu digubah; hingga (4) acara atau tempat di mana sebuah lagu atau musik dikumandangkan (seperti acara perjamuan istana, pesta pernikahan, atau acara sunat; juga keterangan kota asal dari musik atau lagu tersebut digubah).

Kilpatrick (2003) memberikan beberapa contoh pola penulisan yang digunakan al-Isfahani untuk menyusun daftar tersebut. Dalam uraian tentang lagu gubahan Yunus al-Katib, misalnya, ia bukan hanya memaparkan komposisi, tapi juga secara detail membahas penyair yang terlibat dalam pembuatan lirik (yaitu Ismail ibn Yasar al-Nisa’I, penyair Persia kenamaan sekaligus figur dalam gerakan Shu’ubi). Selain pola penjelasan komposisi-komposer-pujangga di atas, terdapat pola penulisan lain yang cenderung cukup rumit dengan melibatkan serangkaian artikel. Contoh bentuk ini dapat dilihat pada volume IV dan V terkait penjelasan lagu gubahan penyair Turaym Ibn Isma’il dan musisi Abu Sa’id Mawla Fa’id, berlanjut pada pengaturan musik oleh Ibn Mish’ab, dan diakhiri dengan lagu ratapan bagi Bani Umayyah. Dalam pandangan Kilpatrick (2003), pola penulisan berantai ini ditujukan untuk memberi gambaran keterkaitan antara tradisi musik di jazirah Arab yang mempengaruhi satu sama lain.

Terdapat sumber utama yang digunakan oleh al-Isfahani untuk menyusun daftar lagu dan musik dalam Kitab Al-Aghani, yaitu kumpulan lagu dan musik yang disusun oleh Ismaq al-Mawsili untuk al-Wathiq (Khalifah Abasiyyah, 842-847 M). Selain mengacu pada al-Mawsili sebagai sumber utama, al-Isfahani juga menggunakan ulasan dan interpretasi musik Ali bin Yamya al-Munajjim dan Jamna al-Barmaki. Melalui penggabungan sumber-sumber tersebut, Kitab Al-Aghani menorehkan reputasi tersendiri sebagai ruang diskusi dari berbagai perspektif musik dalam tradisi Islam.

Musisi Istana

Pokok kedua dalam Kitab Al-Aghani membahas tentang penyair dan musisi di kalangan istana. Pembahasan ini mengambil porsi kecil dari keseluruhan kitab hanya dengan tiga volume saja (volume XX hingga XXII). Al-Isfahani menggunakan pola penulisan lebih sederhana pada bagian ini dengan menggunakan kategorisasi nama. Pada bagian ini, barisan nama anggota Bani Umayyah dan Keluarga Abbasiyah yang bermain musik, dijelaskan secara kronologis. Lirik dan komposer yang terlibat juga dibahas, namun hanya permukaan saja jika dibandingkan dengan penjelasan terkait sang musisi dan kehidupan istananya.

Uraian tentang Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah, dapat menjadi contoh. Ia mencipta sebuah lagu dilengkapi lirik gubahan al-Ashhab ibn Rumayla. Dalam penjelasannya, al-Isfahani mengutip lagu lalu melengkapinya dengan artikel tentang al-Asyhab. Namun, tidak seperti pada bagian pertama, uraian tentang al-Asyhab singkat saja dan–seperti tergesa-gesa–, dan lalu kembali pada pembahasan tentang kepiawaian musik sang Khalifah. Pola ini umum ditemukan pada pembahasan tentang musisi istana. Termasuk pembahasan tentang ‘Ulayya binti al-Mahdi, putri dari kekhalifahan Abasiyyah yang terkenal atas kiprahnya sebagai penyair dan musisi, namun minim sekali keterangan tentang komposisi dan gubahan syairnya.

Bentuk yang menonjol [pada bagian dua] terletak pada penekanan musisi daripada musik. Kilpatrick (2003) berpandangan bahwa al-Isfahani memiliki bias ketika menulis tentang kalangan istana, ujarnya: “dalam pembahasan tentang Abdallah ibn al-Mu‘tazz, Khalifah (tragis) Abasiyyah sekaligus penyair dan musisi, tulisan al-Isfahani didominasi oleh argumen pengukuhan Abdallah sebagai musisi, sedangkan komposisi dan syairnya hanya diulas singkat saja”. Bentuk yang lazim ditemukan dalam sastra abad pertengahan ini kerap mendapat mendapatkan kritik dari pembaca modern. Namun, walaupun demikian, Kitab Al-Aghani tetap menjadi referensi memadai untuk memahami musik Islam dalam tradisi elite istana.

Lagu Pilihan al-Isfahani

Bagian ketiga dari Kitab Al-Aghani mengambil bentuk penulisan serupa dengan bagian pertama. Lagu, lirik dan komposisi menjadi menu utama, yang diikuti penjelasan tentang komposer dan pujangga yang terlibat. Beberapa nama yang telah disebutkan pada bagian satu dan dua muncul kembali. Namun, karakter yang menonjol dalam daftar lagu pilihan al-Isfahani adalah munculnya lagu dan musik dari periode pra-Islam. Terdapat beberapa nama, seperti: Zuhayr bin Abi Sulma, al-Marith ibn Milliza dan ‘Amr ibn Kulthum, yang merupakan penulis Mu’allaqat–puisi yang digantungkan pada dinding Ka’bah. Juga terdapat nama al-Nabigha al-Dhubyani, figur musisi dan penyair kenamaan terbesar dari masa pra-Islam. Al-Isfahani juga memasukkan nama besar dari tradisi Badui, yaitu al-Marrar al-Faq’asi.

Persoalan kemudian hadir ketika al-Isfahani membiarkan lagu dan musik dalam Al-Aghani tanpa notasi. Jika notasi musik era Abasiyyah dan Muawiyyah dapat dilacak pada sumber lain, musik pada era pra-Islam sulit untuk dilacak. Namun, terlepas dari kekurangan tersebut, Kitab Al-Aghani menjadi satu-satunya jembatan yang menghubungkan antara musik tradisi Islam dengan pra-Islam.

***

Ulasan singkat tentang Kitab Al-Aghani dan beberapa sumber di seputarnya, memberikan validasi atas dua asumsi di awal tulisan, yaitu: Pertama, eratnya keterkaitan tradisi Islam dengan musik yang tergambar dari penerimaan musik baik sebagai fungsi populer (musik pada pesta pernikahan sebagai contohnya) ataupun pada kalangan elite istana. Kedua, terdapat kesinambungan antara musik pra-Islam dengan tradisi Islam, di mana musik dan syair pra-Islam (seperti musik Badui dan syair Mu’allaqat) memberi pengaruh pada perkembangan musik setelahnya.

Terlepas dari kerangka tulisan ini, Kitab Al-Aghani sendiri berperan penting dalam mengubah konstruksi penulisan musik dalam tradisi Islam. Musik, dalam Al-Aghani, didekati melalui ‘interpretasi’ dan bukan dalam konteks ‘pencapaian ilahiah’ sebagaimana pendekatan musik Islam pada umumnya. Kitab ini juga memberi kritik atas konstruksi ‘jahiliyah’ dengan menyajikan pencapaian estetika dan kebudayaan dari era sebelum Islam–sesuatu yang tidak pernah dibahas oleh kitab-kitab sebelumnya. Mengacu pada poin-poin di atas, tidak aneh apabila Shiloah (2008: 283) menyatakan bahwa popularitas Kitab Al-Aghani hanya dikalahkan oleh Al-Qur’an dan menjadi salah satu rujukan utama bagi tradisi musik Islam maupun pra-Islam.

 

Sumber Gambar:
Shiloah, A. 2008. Musical Scenes in Arabic Iconography. Music in Arts , 33 (1/2): 283-300.

Sumber Bacaan:
Kilpatrick, H. 2003. Making the Great Book of Songs: Compilation and the Author’s Craft in Abu al-Faraj al-Isbahani’s Kitab al-Aghani. New York: Routledge.
Shiloah, A. 1997. Music and Religion in Islam. Acta Musicologica, 69(2): 143-155.
Shiloah, A. 2008. Musical Scenes in Arabic Iconography. Music in Art , 33 (1/2): 283-300.

Share on:

Leave a Comment