Museum Penghancur Dokumen: Sebuah Keterguncangan Bahasa

Membaca puisi-puisi Afrizal Malna adalah membaca korespondensi benda-benda. Puisi-puisinya yang melawan bentuk itu, seolah-olah mengajak kita berdialog dengan benda mati [yang dibuatnya jadi hidup]. Nuansa semacam itulah yang bisa anda temukan ketika anda membaca buku kumpulan puisinya yang terbaru “Museum Penghancur Dokumen”[1]. Dalam buku kumpulan puisi ini, Afrizal tetap kosisten dalam gaya khas puitiknya. Mesin fotocopy, penggaris, koper, televisi, dan kaca adalah benda-benda yang sering mengisi puisi-puisinya. Benda-benda itulah menggambarkan sebuah dunia masyarakat urban. Berawal dari sana, Afrizal menggiring kita kedalam lokus perenungannya itu : ihwal manusia modern dan gebalau masalahnya. Puisi-puisi ini adalah ekstraksi dari kegelisahan Afrizal.

Selain itu, kita juga bisa menemukan beberapa puisi yang sedang berusaha mengutuhkan ruang, warna dan bentuk. Seakan-akan puisi-puisinya memang bukan sekedar karya sastra, melainkan karya seni. Agaknya anggapan ini memang benar adanya. Dalam esai penutup buku kumpulan puisi  ini Afrizal menyatakan bahwa memang lebih cenderung melihat sebuah puisi sebagai karya seni ketimbang sebagai karya sastra. Dalam buku kumpulan puisi ini juga, Afrizal berusaha menggabungkan berbagai macam unsur dalam puisinya. Sejarah, pusaka nusantara, filsafat. Lalu ia ramu dengan permainan bahasa dan imaji-imaji liar yang tak terduga. Dan pada akhirnya lahirlah puisi-puisi dengan gaya estetik yang unik.

Sebuah Khaos dalam rempah-rempah

Seperti biasa, Afrizal mengerahkan seluruh potensinya agar gaya puisinya eksploratif dan bebas sekaligus personal. Dengan gaya seperti itu, tentunya Afrizal telah paham akan resikonya. Puisi-puisinya hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas [ mungkin juga termasuk saya ]. Tetapi menurut saya, untuk menikmati puisi ini, kita tidak dituntut untuk mengerti. Kita bisa tetap menikmati logika-logika yang berloncatan dan imaji-imaji dengan nuansa magis yang kental, meskipun kita tak paham apa maknanya. Pengalaman semacam itu bisa ditemukan puisi unik ini:

Jembatan Rempah-Rempah

Adas manis · Akar wangi · Andaliman · Asam jawa ·
Asam kandis · Bangle · Bawang bombay · Bunga la-
wang · Bawang merah · Bawang putih · Cabe · Ceng-
keh · Cendana · Damar · Daun bawang · Daun pandan
· Daun salam · Jembatan dari bumbu dapur ke darah
Colombus · Gaharu · Gambir · Jahe · Jeruk limo · Jeruk
nipis · Jeruk purut · Jintan · Kapulaga · Kayu manis ·
Kayu putih · Kayu mesoyi · Kecombrang · Kemenyan ·
Kemiri · Kenanga · Kencur · Kesumba · Ketumbar · Ko-
pal · Kunyit · Lada · Jembatan dari parfum ke darah
Vasco da Gama Tabasco · Laurel · Lempuyang · Leng-
kuas · Mawar · Merica · Mustar · Pala · Pandan wangi ·
Secang · Selasih · Serai · Suji · Tarum · Temu giring ·
Temu hitam · Temu kunci · Temu lawak · Temu mang-
ga · Temu putih · Temu putri · Temu rapet · Jembatan
dari obat-obatan ke benteng perempuan berkalung
mawar merah · Adas manis · Akar wangi · Andaliman ·
Asam jawa · Asam kandis · Bangle · Bunga lawang ·
Bawang putih · Cabe · Cengkeh · Cendana · Damar ·
Temu tis · Vanila · Wijen · Jembatan dari Diogo Lopes
de Mesquita ke darah Ternate · Gaharu · Gambir ·
Jahe · Jeruk nipis · Jintan · Kapulaga · Kayu manis ·
Kayu putih · Kemenyan · Kemiri · Kenanga · Kencur ·
Kesumba · Ketumbar · Kunyit · Lada · Jembatan api
yang terus mengirim kapal ke arsip-arsipmu.

Asam jawa lalu jeruk purut. Dari Cengkeh hingga kunyit. Dari Columbus hingga Vasco Da Gama. Entah apa yang sebenarnya ingin dihadirkan oleh sang penyair berkepala plontos ini. Barangkali sebuah khaos atau “kekacauan”. Tapi, khaos yang hadir dalam puisi rasa-rasanya bukan sekedar kekacauan tanpa arah. Agaknya inilah yang dimaksud oleh James Joyce—penulis novel Ulysses—sebagai “khaosmos”, paduan antara “khaos” dan “kosmos”, “kekacauan” dan “tata”. Khaosmos adalah paduan antara ketertiban, meskipun terbatas, dan carut-marut yang masuk melalui peng-indra-an, melalui tubuh[2]. Imaji-imaji yang berloncatan dan logika yang tak linear itu membentuk sebuah “khaosmos” yang menggiring kita pada sebuah pengalaman estetik yang yang tak terduga.

 Dekonstruksi bahasa & Mesin Penghancur Dokumen

Cobalah baca puisi ini. Lalu bandingkan dengan puisi-puisi bergaya romantik yang gemar memakai metafora picisan seperti hujan dan senja.

Mesin Penghancur Dokumen

Ayo, minumlah. Tidak. Saya tidak sedang es kelapa
muda. Makanlah kalau begitu, tolonglah. Tidak. Saya
tidak sedang nasi rames. Masuklah ke kamar mandi
saya, tolonglah kalau tidak haus, kalau tidak lapar,
kalau bosan makan. Perkenankan aku memberikan
keramahan padamu, untuk seluruh kerinduan yang
menghancurkan dinding-dinding egoku. Bagaimana
aku bisa keluar kalau kamu tidak masuk.

Kamu bisa mendengar kamar mandiku memandikan
tata bahasa, di tangan penggoda seorang penyiar TV.
Perkenankan aku membimbing tanganmu. Masuk-
lah di sini yang di sana. Masakini yang di masalalu.
Masuklah kalau kamu tak suka tata bahasa. Tolonglah
kalau begitu, ganti bajumu dengan bajuku. Mesin

cuci telah mencucinya setelah aku mabuk, setelah
aku menangis, setelah aku bunuh diri 12 menit yang
lalu. Bayangkan tubuhku dalam baju kekosongan itu.

Tolonglah bacakan kesedihan-kesedihanmu:

“Kemarin aku bosan, hari ini aku bosan, besok akan
kembali lagi bosan yang kemarin.” Apa tata bahasa
harus diubah menjadi museum es krim supaya kamu
tidak bosan. Tolonglah. Semua yang dilakukan atas
nama bahasa, adalah topeng api. Pasar yang
mengganti tubuhmu menjadi mesin penghancur
dokumen. Tolonglah, aku hanya seseorang dalam
prosa-prosa seperti ini, seorang pelancong yang
meledak dalam sebuah kamus. Sebuah puisi murung
dalam mulut mayat seorang penyair.
Tolonglah, tidurkan aku dalam kesunyianmu yang
tak terjemahkan. Mesin penghancur dokumen yang
sendirian dalam kisah-kisahmu

Ketika membaca puisi  berjudul “Mesin Penghancur Dokumen” saya tak bisa memilah-milah yang mana subjek, yang mana objek. Yang mana kata benda, yang mana kata sifat. Semua kata yang ditulis dalam puisi ini seolah-olah ditulis gaya serampangan tanpa menghiraukan benang logika yang ada. Tetapi sepertinya dugaan saya itu salah. Afrizal bukan penyair sembarangan.

Afrizal Malna adalah salah satu penyair yang mengamini kredo puisi yang dilontarkan Sutardji Calzoum Bachri—tentang pembebasan kata dari kungkungan makna. Bermula dari keyakinan itu, Afrizal mencoba melakukan dekonstruksi bahasa—salah satu strategi literer yang diperkenalkan oleh Filsuf posmodernisme Jacques Deridda[3]. Seperti halnya Deridda, Afrizal berupaya membongkar-menyusun puing-puing dalam teks puisinya. Meletakkan kata tanpa mempedulikan maknanya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, makna baru terlahir dari sana. Pada akhirnya, inilah ikhtiar yang dilakukannya untuk menjelajahi kemungkinan bahasa. Kemungkinan bahasa dengan kelahiran makna baru tentunya. Yang entah disadarinya atau tidak.

Bacalah dengan [tidak] waras

Apa yang saya gambarkan tentang buku puisi ini barangkali hiperbolis. Ini hanyalah pengakuan dari remaja labil yang awam ikhwal dunia sastra—tetapi sangat menggemari puisi. Jadi, saya tidak bisa menjanjikan apapun kecuali keliaran bahasa. Yang pasti, ketika anda membacanya, usahakan untuk menepis kebiasaan anda yang gemar memaknai sesuatu. Bebaskan segala kata-kata dari maknanya. Anda akan tercengang ketika menyimak imajinasi dan logika yan tak biasa itu. Oleh karenanya, bacalah buku puisi ini dengan mempertahankan kewarasan anda. Bacalah dengan [tidak] waras!

Referensi:
[1] Malna, Afrizal. Museum Penghancur Dokumen. Yogyakarta: Gharudawaca
[2] Mohamad, Goenawan. Di Sekitar Sajak. Jakarta: TEMPO pt.grafiti pres, cet I 2011
[3] Al-Fayyadl, Muhammad. Deridda. Yogyakarta: LkiS, cet V 2012

Sumber Gambar: fanpop

Share on:

3 thoughts on “Museum Penghancur Dokumen: Sebuah Keterguncangan Bahasa”

  1. tulisan ini adalah contoh buruk sekaligus baik. Kenapa buruk? karena bagi pembaca yang berpengalaman, kita tahu bahwa penulis sama sekali belum memahami afrizal malna (mungkin saja dia baru baca satu buku puisinya), juga tidak berbicara apapun tentang dekonstruksi seperti yang digembor-gemborkannya di awal!. Tapi juga menjadi contoh yang baik, agar penulis muda lain tidak melakukan hal yang sama, dengan naif bersembunyi di balik usia mudanya. karena usia bukan berarti anda bisa berlaku ignorance! ALANGKAH BAIK HATI ANTIMATERI MEMBERI RUANG UNTUK TULISAN SEPERTI INI!

  2. hm… terima kasih tante gadis pari. jika memang dalam tulisan ini sama sekali tak bicara tentang dekonstruksi bahasa (barang secuilpun), barangkali tante bisa mengulasnya di antimateri ini. sekaligus untuk masukan saya hehe ( ini bukan apologia )

  3. wahaha saya sih tahu diri akan keterbatasan saya, tidak berani menulis jika memang pengetahuan saya masih cetek, (dan pemahaman tentang dekonstruksi yang saya baca dari of gramatology belum mampu membuat saya berani untuk sesumbar) salam kenal 🙂

Leave a Comment