Untuk memahami konteks melankoli hukuman mati yang digubah Oscar Wilde dalam puisi berjudul The Ballad of Reading Gaol, ada baiknya mengulas sedikit tentang salah satu persidangan paling terkenal dalam sejarah Inggris. Tersebutlah sebuah masa menjelang akhir abad 19 (lebih tepatnya awal tahun 1895), ruang sidang Old Bailey di London, riuh dengan berbagai macam komentar publik. Muasalnya tidak lain dari persidangan seorang pesohor Inggris, Oscar Wilde–penyair, penulis drama dan novelist–yang melayangkan tuntutan pencemaran nama baik kepada John Sholto Douglas, Bangsawan dari Queensberry. Kisruh berawal ketika Douglas menuduh Wilde merayu anaknya, Alfred Douglas, untuk menjalin hubungan homoseksual yang saat itu termasuk perkara kriminal (Inggris baru menghapuskan kriminalisasi homoseksualitas pada kisaran 1960an). Sial bagi Wilde, tuntutan yang dilayangkannya berbalik arah dan menyerang dirinya. Alhasil, pada akhir Mei 1895, Wilde dijatuhi hukuman maksimal untuk kejahatan “gross indecency” (tindakan kotor tidak senonoh) berdasarkan Hukum Amendment Act of 1885 dan menjalani dua tahun masa tahanan di Pentonville, London untuk kemudian dipindahkan ke Reading Gaol.
Reading Gaol kini ditutup, namun sel tempat Wilde menghabiskan masa tahanannya menjadi semacam atraksi ironis: mengundang turis untuk membayangkan penderitaan sang penulis, atau sekedar berselfie ria. Tapi yang pasti, melankoli tetap menghantui Gaol karena penjara tersebut berfungsi sekaligus sebagai tempat eksekusi bagi para pesakitan, yang menurut Wilde: memiliki hutang yang harus dibayar melebihi yang ia miliki. Untuk menggambarkan melankoli inilah, Wilde menuliskan The Ballad of Reading Gaol–sebuah observasi atas seorang terpidana mati berinisial C.T.W. (Charles Thomas Wooldridge). Wooldridge dihukum atas kejahatan terkutuk, yaitu membunuh istrinya, orang yang ia cintai. Tindakan ini menjadi alusi utama dalam puisi Wilde, dimana ia menyatakan: each man kills the thing he loves–sebuah frase yang kini menjadi klise karena terlampau banyak digunakan (dalam dialog film, drama, atau oleh siapa saja yang membutuhkan kutipan tajam), tapi menghilangkan fakta bahwa ada hutang (baca: konsekuensi) yang harus dibayar.
He walked amongst the Trial Men
In a suit of shabby grey;
A cricket cap was on his head,
And his step seemed light and gay;
But I never saw a man who looked
So wistfully at the day.I never saw a man who looked
With such a wistful eye
Upon that little tent of blue
Which prisoners call the sky,
And at every drifting cloud that went
With sails of silver by.I walked, with other souls in pain,
Within another ring,
And was wondering if the man had done
A great or little thing,
When a voice behind me whispered low,
“That fellows got to swing.”
Baris “that fellow got to swing” merupakan frase kuat lainnya yang menjadi pijakan alusi Wilde dalam puisi panjangnya. Kalimat tersebut terasa mencekam, dan siapapun akan langsung berhadapan dengan imaji horror tiang gantungan. Wooldridge dieksekusi pada pagi hari, dan gambaran detil Wilde atas pelaksanaan eksekusi tersebut menjadi salah satu landasan publik untuk mendorong reformasi sistem hukuman mati di Inggris. Wilde sendiri tidak pernah sepenuhnya mengenal sosok Wooldridge–seorang anggota pasukan Royal Horse Guards yang menggorok leher istrinya dengan menggunakan pisau cukur. Motif dari kejahatan brutal tersebut tidak diungkapkan secara gamblang oleh Wilde, mengingat segenap alusi puisinya didasarkan pada observasi “dari seberang lapangan” tempat para tahanan merasakan sedikit kebebasan. Dalam sebuah bait, Wilde berujar: “Like two doomed ships that pass in storm, we had crossed each other’s way; But we made no sign, we said no word, we had no word to say; For we did not meet in the holy night, but in the shameful day”. Dengan kata lain, simpati Wilde untuk Wooldridge, adalah simpati bagi siapapun yang tengah menanggung dosa masa lalu.
He did not wring his hands nor weep,
Nor did he peek or pine,
But he drank the air as though it held
Some healthful anodyne;
With open mouth he drank the sun
As though it had been wine!And I and all the souls in pain,
Who tramped the other ring,
Forgot if we ourselves had done
A great or little thing,
And watched with gaze of dull amaze
The man who had to swing.
Puisi panjang tentang melankoli hukuman mati di Reading Gaol ditulis Wilde selepas ia dibebaskan. Ia lalu mengasingkan diri di Berneval-le-Grand, kota kecil di utara Perancis. Di sana ia menulis dua karya terakhirnya: surat-prosa De Profundis dan puisi The Ballad of Reading Gaol. Yang pertama ditujukan pada Alfred Douglas a.k.a Bosie (the love that dare not speak its name, adalah bait yang ditulis Bosie dan sering disandingkan dengan Wilde), sedangkan yang kedua ditujukan bagi para pesakitan di seluruh dunia. Setelah tiga tahun dalam pengasingan, Wilde meninggal di kamar sebuah hotel kumuh pinggiran kota–jauh dari kehidupan glamor yang ia jalani selama menjadi figur tersohor di Inggris. Mungkin, ia telah membayangkan akhir yang tidak jauh dari Wooldridge sehingga balada Reading Gaol terlihat layaknya refleksi atas apa yang akan menimpanya kemudian. Yang membedakan adalah: ketika Wooldridge berhadapan dengan eksekutor di Gaol, Wilde menghadapi (pandangan) masyarakat yang menghardiknya tanda ampun. Pada bait terakhir Balada Reading Gaol, Wilde menulis: “And God from out His care: and the iron gin that waits for Sin, had caught us in its snare”. Sebuah melankoli tentang akhir dari kehidupan yang datang memaksa dan tanpa belas kasihan.
Dalam lanskap sastra, Wilde tidak sendiri dalam upaya mengangkat melankoli hukuman mati karena terdapat karya besar lain yang berkutat pada narasi serupa, diantaranya: Camilo Jose Cela yang mengangkat kisah terpidana mati Pascual Duarte, eksekusi tokoh Ah Q yang ditulis oleh Lu Hsun, cerita tentang hukuman mati untuk para revolusioner karya Sartre dan banyak lainnya. Dalam setiap cerita, selalu ada melankoli yang mengiringi kepergian ‘sang tokoh utama’: Cela menggambarkannya dalam sebuah surat putus asa, Lu Hsun memainkan metafora kebebasan dari kungkungan nasib buruk, sedangkan Sartre menulis ironi tentang hukuman mati yang tidak lagi memiliki arti. Namun, diantara gagasan sejenis, the Ballad of Reading Gaol menjadi mencekam karena “sang tokoh” adalah nyata. Salah satu bait yang memberikan kesan mendalam adalah gambaran Wilde tentang Wooldridge yang menghirup udara dan menikmati matahari pagi untuk terakhir kalinya. Gambaran ini begitu membekas, karena bagi Wooldridge, udara dan matahari pagi adalah tegukan anggur terakhir atau hisapan rokok penghabisan, kemewahan yang bahkan tak ia dapatkan. Tak ayal lagi, melalui seratus tujuh puluh empat baris balada Reading Gaol, Wilde mampu menyentuh kesadaran masyarakat melalui sebuah melankoli yang kerap luput dari perhatian karena tenggelam dalam hiruk pikuk penegakkan keadilan.
And strange it was to see him pass
With a step so light and gay,
And strange it was to see him look
So wistfully at the day, and strange it was to think that he
Had such a debt to pay.
Sumber Bacaan:
Kaufman, M. 1997. Gross Indecency: The Three Trials of Oscar Wilde. Dramatists Play Service, Inc.
Wilde, O. 1898. The Ballad of Reading Gaol. Leonard Smithers.
kontak via editor@antimateri.com