Puisi Nasib Buruk: Pascual Duarte

Butuh waktu lama bagi saya untuk mengatasi trauma selepas membaca novel Camilo Jose Cela yang tersohor: La Familia de Pascual Duarte (Keluarga Pascual Duarte, 1942). Dalam novel ini, Cela berlindung pada gaya penulisan otobiografis (dengan narasi yang menyerupai puisi nasib buruk), memberi tambahan satu lagi pada jajaran antihero abadi: Oedipus (Oedipus Rex, Sophocles), the Underground Man (Notes from Underground, Distoyevski) dan Meursault (L’Étranger, Albert Camus). Diantaranya, dapat dikatakan bahwa Pascual Duarte adalah yang paling sengsara.

Para pembaca sastra pasti setuju bahwa kisah otobiografi Pascual, sang pesakitan yang menunggu eksekusi, adalah salah satu kisah dengan eksposisi kekerasan paling brutal dalam sejarah sastra Spanyol. Menyoal kekerasan dalam novel-novel karya Cela, Bernstein (1968) berujar bahwa tidak ada yang baru tentang kekerasan–kehadirannya tidak lagi menghadirkan keterkejutan–tapi elemen pembentuknyalah yang menyita perhatian. Atas kepiawaiannya dalam mengurai elemen inilah Cela mendapatkan nobel sastra pada tahun 1989 sebagai “penulis yang mampu mengungkap kerentanan di hati manusia”.

Cela menggambarkan Pascual Duarte seperti sosok manusia pada umumnya: terlahir pada sebuah keluarga yang utuh (walau dengan disfungsinya tersendiri); memiliki tempat tinggal (lengkap dengan trauma didalamnya); menikah dan memiliki anak (dua kali pernikahannya adalah suka sekaligus duka); juga memiliki anjing yang setia (yang sikapnya jauh lebih baik dari si empunya). Dengan kata lain, tidak sulit membayangkan kehidupan seorang Pascual–toh, sama dengan kekerasan, kemiskinan pun bukanlah hal yang baru. Banyak sudah yang menjalaninya dengan selamat dan tetap waras, tapi lain bagi Pascual: Ia menjadikan kemiskinan (yang pada dasarnya milik banyak orang), menjadi puisi miliknya sendiri–I’m not made to philosophize, I don’t have the heart for it. My heart is more like a machine for making blood to be spilled in a knife fight (Cela, 1942).

Sisi puitis (secara konseptual disebut sebagai gejala “Bad Faith Poetics[1] atau puisi nasib buruk) adalah karakter khas Pascual yang membedakannya dari tokoh lain. Perang sipil menyeret Spanyol ke dalam “selokan sejarah Eropa” dan siapapun di Extremadura[2]–wilayah dimana Pascual lahir dan dibesarkan–pasti tahu rasanya hidup dalam kebusukan nasib paska perang. Namun Pascual merasa bahwa dirinyalah yang paling menderita: ia menyalahkan ayah dan ibunya yang kasar, lalu tetangga-tetangganya yang memandangnya sebagai pria lemah, juga menyalahkan anjingnya (lalu menembaknya dengan melesakkan beberapa peluru) karena anjing tersebut memiliki “pandangan menghakimi”. Kejadian penembakkan ini ada di penghujung bab pertama–saya ingat betul ketika habis membaca bab tersebut, buku lalu saya tutup untuk mempersiapkan diri akan kisah selanjutnya: karena entah kekerasan macam apalagi yang muncul kemudian.

Insting tersebut terbukti dan memang kekerasan terpapar pada halaman demi halaman. Tidak lama setelah penembakkan Chispa, sang ajing malang, pembaca lalu menyaksikan Pascual menusuk kudanya hanya karena dorongan emosi sesaat. Klimaks babak pertama berakhir dengan kisah pembunuhan Pascual yang pertama atas El Estirao–seorang germo yang melecehkan adiknya lalu berselingkuh dengan istrinya. Melalui kejadian ini, Cela menggambarkan sebuah kenyataan yang harus diakui walau dalam diam: bahwa pandangan masyarakat akan kejahatan ditentukan oleh konsensus sosial, bukan tindakan itu sendiri. Ketika Pascual membunuh El Estirao, Ia menemukan dirinya dielu-elukan sebagai pahlawan pembela kehormatan istri dan adiknya; tapi tidak demikian pada pembunuhnya yang kedua. Kali kedua, Pascual membunuh ibunya dan kini Ia menemukan dirinya sebagai penjahat paling hina dalam pandangan hukum juga masyarakat.

Pada kondisi inilah (dimana Ia tengah menunggu waktu eksekusi), kita berhadapan dengan otobiografi seorang Pascual yang menyayat. Sekilas, sedikitnya pembaca akan merasa iba pada penderitaan yang dialami Pascual. Tapi rasa iba tidak bertahan lama dan berganti dengan perasaan campur aduk (antara kesal dan geram) atas narasi bad faith poetics yang digunakan Cela untuk membangun karakter Pascual. Terlepas dari pembunuhan yang digambarkan secara vulgar, salah satu gambaran kekerasan paling mengganggu ditemukan pada bagian penggambaran tentang Mario, adik Pascual hasil perselingkuhan ibunya dengan pria bernama Rafael. Mario kecil adalah sosok paling menderita dalam kisah ini[3] (bahkan saya susah payah menyelesaikan bab tersebut karena kekerasan yang diluar batas nalar). Namun, dalam otobiografinya, Pascual mencoba meyakinkan pembaca bahwa Ia jauh menderita dari adiknya itu. Yang lebih sial adalah: bad faith poetics Pascual rasanya dapat dengan mudah ditemukan pada potret sosial; sehingga rasa kesal setelah membaca karya Cela semakin sulit sirna karena kadar kebenarannya yang ada di depan mata.

Pascual didakwa hukuman mati atas pembunuhan ketiga–yang malah tidak diceritakan detil dalam otobiografinya. Kisah berhenti pada klimaks pembunuhan ibunya, lalu beralih pada adegan eksekusi Pascual yang jauh dari karismatik; seakan menjadi konklusi atas pilihan-pilihan hidup Pascual yang memang jauh dari karismatik. Demikianlah Cela menutup kisah hidup Pascual: tanpa memberikan arti apapun pada setiap tindakannya–bahkan tidak memberi arti pada hidupnya. Alhasil, kisah Pascual membangkitkan ketidaknyamanan pada pembaca dikala novel tersebut diterbitkan. Karena (mungkin saja) pilihan Pascual adalah cerminan realita dan tidak ada yang lebih menakutkan daripada melihat “kesia-siaan” diri sendiri. La Familia de Pascual Duarte lantas dilarang beredar dan kiprah Cela baru diakui jauh setelahnya: empat puluh tujuh tahun kemudian.

Entah apakah Cela menyasar secara langsung narasi kesia-siaan dalam La Familia de Pascual Duarte, atau dapat juga Ia mengacu pada rangkuman berbagai karya setelahnya, penutup pidato Cela pada penerimaan nobel berbunyi sebagai berikut (Cela, 1989): “When the proud, blind rationalist renewed in enlightened minds the biblical temptation, the last maxim of which promised “You will be as gods” he did not take account of the fact that Man had already gone much further down that road”. Pernyataan ini tergambar sangat gamblang dalam kisah Pascual Duarte–seseorang yang terseok-seok dalam pilihan dan terisak-isak dalam penyesalan.

Sumber Bacaan:
Bernstein, J. S. (1968). Pascual Duarte and Orestes. Symposium: A Quarterly Journal in Modern Literatures, 22:4, 301-318.

Cela, C.J. (1942). La Familia de Pascual Duarte. Ediciones Aldecoa
Cela, C.J. (1989). Eulogy to the Fable. Nobel Lecture.
Cela, C.J. (1996). Keluarga Pascual Duarte. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Murillo, E. (2009). Existential(ist) Echos: Bad Faith Poetics in Pascual Duarte and his Family. Neophilologus, 93:233-247.

Keterangan:
[1]Murillo (2009) mengungkap konsep “Bad Faith Poetics”, sebuah kondisi psikologis tatkala seseorang memandang hidupnya tidak lain dari rangkaian kejadian buruk baik pada ruang personal ataupun sosial, kemurungan, keterasingan dan persepsi akan kekerasan yang selalu menimpanya.

[2]Extremadura merupakan komunitas otonom di barat Spanyol yang berbatasan dengan Portugis, salah satu yang mengalami kerusakan parah pada masa perang sipil Spanyol (1936)
[3]“Anak malang itu hanya bisa merayap di lantai seperti ular. Ia hanya bisa mengeluarkan suara mencicit dari leher dan hidungnya, seperti tikus. Hanya itulah yang dapat dilakukannya. Sejak awal kami sudah melihat bahwa si malang yang sengsara itu, yang dilahirkan sebagai idiot, akan meninggal sebagai idiot pula.” (Cela, 1996)

Share on:

Leave a Comment