Mesin Uap dan Identitas Subkultur (Steampunk Bagian 2)

Identity–individual characteristics by which a thing or person is recognized or known
(random definition provided by search engine )

Setiap era memiliki identitas dalam bentuk yang berbeda, sebut saja: era romantik dengan identitas kebebasan alam liarnya, atau era hippies dengan identitas ‘sex, drugs and rock n roll’-nya. Fragmen dari identitas tersebut terangkum dalam berbagai bentuk: puisi, novel, musik, arsitektur, hingga gaya busana–membuat kita, generasi yang lahir belakangan, dapat masuk ke dalam trajektori identitas sebuah era yang telah lampau. Lalu identitas subkultur macam apa yang muncul dari era penemuan mesin uap? Secara singkat, jawaban dari buku-buku sastra mengacu pada dua karakteristik: eksperimen profesor gila dan petualangan tak masuk akal. Uniknya, dua karakter inilah yang menjadi trajektori utama para steampunk, sebuah subkultur berisi ‘penjelajah waktu’ yang mati-matian terhubung dengan abad tatkala mesin pertama kali ditemukan.

Steampunk adalah subkultur yang muncul akhir 80an hingga awal 90an ini. Beard (2014) menggambarkan tiga fragmen sejarah yang membentuk estetika steampunk: (1) representasi sosial budaya era Victoria; (2) inovasi pada awal era industri; dan (3) estetika DIY dari era punk dan post-punk. Jika definisi dan akar sejarah masih terlalu abstrak untuk memahami steampunk, VanderMeer & Chambers (2011) memberikan sebuah gambaran singkat: a scientific romance–sebuah kisah cinta antara manusia dengan mesin dan kemajuan teknologi. Beberapa fiksi ilmiah awal seperti Le tour du monde en quatre-vingts jours (keliling dunia dalam 80 hari) karya Jules Verne atau Frankenstein karya Mary Shelley, kerap disandingkan sebagai inspirasi awal bagi sastra bergenre steampunk setelahnya.

Yang kemudian tidak disangka-sangka adalah betapa dekatnya konsumsi hiburan kita dengan genre steampunk. Beard (2014) menyebutkan bahwa steampunk bukan sekedar gambaran lokomotif tua dan balon terbang, tapi merupakan rasa estetika yang disampaikan dalam sastra, film, seni, kostum, dan desain. Estetika steampunk ada dalam inovasi lightsabre Star War, atmosfer dalam film the League of Extraordinary Gentlemen (2003), segala hal dalam Wild Wild West (1999), eksperimen teknologi dalam Sherlock Holmes (2009) bahkan desain kostum dalam Sucker Punch (2011). Karakteristik steampunk juga dapat dengan mudah ditemukan dalam anime, mulai dari Akira (1988), Steamboy (2004) hingga Fullmetal Alchemist (2017). Di Jepang, novel berjudul Hu Kaitei Gunkan (Warship at the Bottom of the Sea (1905) karya Oshikawa Shunro adalah awal dari maraknya fiksi ilmiah dalam kesusastraan dan perfilman Jepang kemudian.  Melalui ragam eksposur di atas, sangat masuk akal apabila steampunk menjadi salah satu subkultur populer yang terus berkembang sejak tiga dekade ke belakang.

Steampunk semakin mengemuka ketika Februari 2008 dilangsungkan Steampunk Convention di San Jose, California. La Ferla lalu mengangkat pemberitaan tentang subkultur ke media arus utama melalui tulisannya di New York Times pada Mei 2008. Dalam artikelnya La Ferla menyebut steampunk sebagai identitas visual. Pertanyaan lalu mengemuka: mengapa terbatas pada aspek identitas visual? Apakah stempunk tidak cukup untuk dinyatakan sebagai ‘identitas subkultur’ lengkap dengan tatanan ide dan gagasan di dalamnya? Dalam argumennya, La Ferla menyatakan bahwa steampunk hanya dapat dikenali secara visual, melalui tampilan yang dipengaruhi retro-futurism, animasi Jepang, gaya postapocalyptic seperti Mad Max, atau busana vaudeville dan burlesque dari era Victorian.

Alasan lain terkait sifat terpencar dari steampunk berasal dari pandangan bahwa tidak ada satu ideologi atau nilai yang menjadi ciri utama steampunk. Menurut La Ferla, steampunk adalah gabungan dari berbagai subkultur, mulai dari penggemar fiksi ilmiah, penyair ala Victorian, punk, post-punk hingga goth. Bentuk mosaik inilah yang menjadi penjelas mengapa steampunk hanya dapat dikaitkan dengan identitas visual semata. Dalam lingkup lebih luas, pandangan La Ferla sejalan dengan Hebdige (1979) terkait representasi visual sebagai hal utama dalam mengidentifikasi sebuah subkultur. Visual selalu menjadi dimensi penting dari budaya dan menjadi aspek penting dalam identifikasi kelompok. Melalui visual, kita dapat menafsirkan karakteristik dari segi pakaian dan perhiasan tubuh yang tidak lain adalah pernyataan simbolis akan penolakan terhadap nilai-nilai arus utama.

Namun, Hall & Gunn (2014) memiliki pandangan lain. Mereka mengurai retorika ideologis steampunk melalui penggambaran steampunk sebagai: “upaya eksplisit untuk menebus dunia melalui alur anakronistik dan teknologi revolusioner”. Ketika sebuah estetika bersandingan dengan retorika ini, maka estetika tersebut bersinggungan dengan steampunk. Bread (2014) memberi pandangan serupa dan membedakan identitas steampunk dengan identitas subkultur lainnya. Dalam uraiannya, Bread menekankan bahwa steampunk adalah subkultur yang terpisah dari yang lain. Tapi, walaupun demikian, keberadaannya tidaklah terisolir karena–setidaknya–berbagai subkultur saling melengkapi dalam segi konsumsi media dan teks sastra. Dalam dunia seni, steampunk dipandang sebagai genre yang dapat muncul dalam berbagai bentuk, dari musik hingga fashion.

Terlepas dari pro dan kontra dalam menempatkan steampunk sebagai subkultur, terdapat aspek lain yang dapat menjadi penciri khusus identitas steampunk, yaitu proses kreatif. Dimensi punk memberi pengaruh dalam proses DIY (do-it-yourself). Namun lebih jauh dari itu, proses kreatif steampunk selalu berawal dari pembentukan narasi yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk ornamen, seperti: kostum, tatanan rambut, senjata, gadget, dan aksesori lainnya (Bread, 2014). Proses inilah yang kemudian menjadi pembeda dengan genre lainnya, karena dalam steampunk, pembuatan narasi tahap pertama sebelum masuk ke budaya material steampunk. Dalam artian, setiap karakter (dalam fashion), ruang (dalam seni arsitektur), atau nada (dalam musik), berdasarkan pada narasi/cerita yang telah disiapkan sebelumnya.

Proses ini menghantarkan para penggemar steampunk pada sebuah keyakinan yang dibagi bersama, bahwa: “awal dari karya kreatif dimulai dengan penciptaan sebuah cerita”. Menurut Libby Bulloff (dalam Bread, 2014), terdapat empat kategori umum karakter steampunk yang menjadi model dan peran ideal: (1) karakter anak jalanan (sebuah pola dasar yang dipinjam dari Charles Dickens); (2) sang pemikir (sebuah pola dasar yang dipinjam dari H. G. Wells); (3) sang penjelajah (pola dasar yang dipinjam dari Jules Verne, Rider Haggard atau Edgar Beras Burroughs); dan (4) sang estetist (sebuah pola dasar yang digaungkan oleh Oscar Wilde). Dengan kata lain, perdebatan tentang apakah steampunk sebuah subkultur atau bukan menjadi sia-sia ketika para penggemarnya cenderung tidak memedulikan pro/kontra dan malah sibuk mengarang cerita. Mungkin di sana letak perbedaannya; jika punk/postpunk bergerak atas dasar ideologi kontra mainstream, maka steampunk bergerak atas dasar cerita dan imajinasi tentang masa depan yang liar. Dan hampir dapat dipastikan, para steampunk akan mengamini Einstein yang berujar: “If at first the idea is not absurd, then there is no hope for it”.

Sumber Gambar:
VanderMeer, J. & Chambers, S. J. 2011. The Steampunk Bible: An Illustrated Guide to the World of Imaginary Airships, Corsets and Goggles, Mad Scientists, and Strange Literature. Abrams Image Books.

Sumber Bacaan:
Beard, D. 2014. Introduction: The Rhetoric of Steam. dalam Barry Brummett. Clockwork Rhetoric: The Language and Style of Steampunk. University Press of Mississippi, hal: xiv-xxxii
Hall, M. & Gunn, J. 2014. “There Is Hope for the Future”: The (Dis)Enchantment of the Technician-Hero in Steampunk. dalam Barry Brummett. Clockwork Rhetoric: The Language and Style of Steampunk. University Press of Mississippi, hal: 3-18
Hebdige, D. 1979. Subculture: The Meaning of Style. Methuen.
La Ferla, R. 2008. Steampunk Moves Between 2 Worlds. New York Times 
VanderMeer, J. & Chambers, S. J. 2011. The Steampunk Bible: An Illustrated Guide to the World of Imaginary Airships, Corsets and Goggles, Mad Scientists, and Strange Literature. Abrams Image Books.

Share on:

Leave a Comment