Politik Ekologi: Dialog antara Diri dengan Bumi

Artikel ini sebelumnya pernah dimuat oleh Metaruang.
Publikasi ulang pada webzine antimateri berdasarkan atas persetujuan kedua belah pihak.

Ketika tengah membuka-buka buku lama, perhatian saya terpaku pada sebuah puisi yang digubah oleh A Mustofa Bisri berjudul Doa. Puisi tersebut berbunyi:

Kami tak berani menatap langit
Bumi yang terbaring
Terus mengerang
Menghisap airmata kami
(Kami tak menghilangkan, sayang
bahkan menambah dahaga).

Puisi tersebut terangkum dalam antologi puisi Bentara tahun 2002 bersama dengan beragam puisi lain dengan tema yang berbeda. Keterangan ini menjadi penting untuk menggambarkan bahwa antologi tersebut bukanlah kumpulan puisi bertemakan “lingkungan”–sehingga metafora Gus Mus (sapaan hangat untuk sang penyair) tentang langit dan bumi, bisa mengacu pada apa saja. Namun, layaknya kebanyakan pembaca yang punya kebiasaan menarik tafsir semena-mena, puisi tersebut saya maknai sebagai sebuah doa lirih tentang nasib sang bumi yang semakin dahaga. Puisi Gus Mus lantas mengingatkan saya pada puisi Salvatore Quasimodo berjudul Gitar-gitar Mati yang lantang berteriak tentang bumi yang sekarat. Ujarnya:

Ini cara dunia kiamat
Ini cara dunia kiamat
Ini cara dunia kiamat,
Tidak dengan ledakan tapi rintihan.    

Dua puisi diatas rasanya dapat mewakili kondisi saat ini, bahwa interaksi antara manusia dengan alam (nature) berada pada relasi yang jauh dari harmoni. Atas nama kemajuan, alam diperlakukan sekehandak hati: tanpa jeda, tanpa rasa, tanpa hormat. Dalam pikiran (terbatas) manusia, bentuk interaksi–termasuk interaksi politik–hanya berlaku antar manusia, sedangkan interaksi dengan alam hanya berkutat pada pola penaklukan. Kisah Robinson Crusoe karya Daniel Dafoe adalah salah satu contohnya. Dalam kisah ini relasi politik baru terjadi ketika Crusoe yang terdampar, bertemu dengan Friday, seorang budak yang juga terdampar. Analogi Crusoe memberikan penegasan bahwa politik kerap berada pada sisi antroposentris. Lalu bagaimana dengan pohon yang ditebang? Atau aliran sungai yang dibendung? Juga bagaimana dengan perubahan ekosistem yang terjadi akibat dari upaya “mempertahankan diri” Crusoe dan Friday? Tentu kita tidak muluk-muluk menemukan narasi politik ekologis dalam karya Dafoe (Robinson Crusoe sendiri merupakan sebuah mahakarya yang tidak lekang waktu yang telah rampung dalam menyampaikan tujuannya), namun karya ini dapat menjadi cerminan bahwa narasi antara manusia dengan alam memiliki sejarah “represi” yang sangat panjang.

Untuk membahas lebih lanjut tentang politik ekologi, hendaknya kita harus menanggalkan terlebih dahulu sudut pandang antroposentris yang senantiasa meletakkan manusia sebagai sentra. Ketika syarat tersebut telah terpenuhi, akan terlihat sebuah pola represi manusia atas alam: yaitu kecenderungan manusia yang hanya menempatkan alam sebagai objek–alam adalah instrumen dan bukan tujuan. Bentuk objektifikasi ini dapat ditemukan bahkan dalam kebijakan lingkungan paling populer yang dikenal dengan istilah “pembangunan berkelanjutan”. Dalam frase tersebut terdapat titik kritis yang meletakkan pelestarian lingkungan (kembali) ke dalam kerangka antroposentris–bahwasanya tujuan pelestarian lingkungan berpijak hanya pada kebutuhan manusia dimasa yang akan datang. Kerangka antroposentris pun ditemukan dalam beragam kebijakan lingkungan lain yang hanya didasarkan pada kebutuhan survival umat manusia. Jika begini ceritanya, pernahkan kita–secara substansial–memikirkan tentang alam? Atau alam baru menjadi hirauan ketika kebutuhan dasar kita terusik?

Jarak antara Konservasi dan Preservasi

Kedua konsep diatas layaknya sisi kembar mata uang yang walaupun berpijak pada persoalan yang sama, keduanya memiliki jarak imajiner baik dalam definisi juga dalam pendekatan. Konsep pertama, konservasi, memiliki arti perlindungan untuk mencegah kemusnahan. Apabila dikaitkan dengan konteks lingkungan, pemeliharaan berubah menjadi penghematan (atau penggunaan sumber daya alam dengan bijaksana). Dalam konservasi, kebutuhan manusia adalah yang utama. Konsep ini dibangun dengan dasar insting alamiah untuk mempertahankan terjaminnya sumber daya alam dimasa yang akan datang. Dalam kerangka kebijakan lingkungan saat ini, konservasi adalah bentuk paling lajim dilakukan karena fungsinya yang bersinggungan langsung dengan kebutuhan dasar manusia. Dengan kata lain, pendekatan konservasi masih berpijak sepenuhnya pada objektifikasi lingkungan.

Konteks kedua, yaitu preservasi, mengacu pada arti pemeliharaan atau penjagaan. Pada titik ini, sisi kebutuhan manusia dikesampingkan karena alam adalah tujuan utama. Salah satu contohnya dipertunjukkan oleh para aktivist lingkungan radikal yang menanggalkan hasrat alamiah penaklukan alam. Contoh lain dapat berupa sikap ‘penyesuaian pembangunan–dengan mengikuti sistem yang termaktub pada alam’. Terdapat banyak contoh yang menggambarkan upaya preservasi bentuk ini, salah satunya adalah pola pengairan sawah di desa-desa tradisional yang mengikuti alur alamiah (dan bukan melalui pembangunan tanggul). Atau pembangunan infrastruktur yang dilakukan tanpa mengubah kontur alam. Melalui preservasi tergambar sebuah upaya manusia untuk mengembalikan penghormatan pada alam. Selain itu tergambar pula upaya untuk mendobrak pandangan antroposentris dengan memberikan subjektifitas otonom pada alam. Akar dari konsep ini dapat dilacak melalui pemaknaan Immanuel Kant tentang pemisahan nilai alam dan manusia. Alam, menurut Kant, lives independently of us and is our progenitor (Kant Cl; C3 dalam Zammito, 1992: 342,). Kant berpendapat bahwa alam memiliki nilai intriksik tersendiri (menurutnya, jika nilai manusia terletak pada kapasitas moral, maka nilai alam terletak pada fungsi sistemiknya). Konsekuensi utama dari pengakuan alam sebagai subjek adalah: manusia tidak lagi dapat berperilaku sekehendak hati.

Pengakuan alam sebagai subjek otonomi merupakan pijakan utama dalam politik ekologi–alam yang otonom memiliki suaranya tersendiri. Bergagai pendekatan kemudian hadir untuk membuka ruang dialog antara kedua subjek politik tersebut: mulai dari ekologi dalam (deep ecology) hingga demokrasi ekologi. Pendekatan lain yang kerap digunakan dalam kajian politik ekologi adalah kajian estetika yang mencoba memaknai suara sublim dari hukum alam. Sajak gubahan A Mustofa Bisri dan Salvatore Quasimodo yang dikemukakan diawal tulisan ini merupakan contohnya. Melalui bait-bait tajam, puisi dapat menjadi jalan bagi munculnya kesadaran ekologis. Selain puisi, imajinasi estetis dalam politik ekologi juga dapat ditemukan dalam lukisan-lukisan bentang alam Tiongkok yang berasal dari Dinasti Song dan Dinasti Ming. Pada lukisan tinta khas Tiongkok, bentang alam adalah penegas bagi filsafat kosmos Taoisme yang menegaskan bahwa manusia tidak lebih dari sebutir debu.

Aliran ekologi dalam, formulasi demokrasi ekologi atau imajinasi eco-poetik, hanyalah sebagian kecil dari beragam pendekatan yang menandai pergeseran sudut pandang manusia terhadap alam. Dalam perkembangan narasi lingkungan, setidaknya terdapat tiga relasi utama yang terbentuk: (1) relasi dimana manusia dan alam adalah subjek otonom, (2) bahwa manusia adalah makhluk superior sehingga tidak terikat pada sistem dan hukum alam, atau (3) relasi yang mampu melampaui kapasitas moral manusia dan juga melampaui hukum sistemik alam, sehingga memunculkan apa yang dimaknai Kant sebagai Kingdom of Ends (Gilroy, 1998: 137). Secara sangat-sangat sederhana, konsep Kingdom of Ends dapat diartikan sebagai relasi ideal antara dua subjek politik (manusia dan alam), dimana kapasitas moral manusia hanya dapat terwujud apabila ia menghormati subjek lain, dalam konteks ini adalah alam. Pandangan ini diangkat kembali oleh Robert Faulkner (1990: 78) yang menjelaskan lebih lanjut tentang progresive liberalism yang diusung oleh Kant: that reason must postulate a development to the universal order that accords with its end and with its intrinsic knowledge of nature–bahwa rasionalitas harus didasarkan pada postulat tatanan dunia yang mengacu pada pemahaman menyeluruh tentang alam. Dengan memahami persepsi inilah, jarak antara manusia dengan alam, dapat dijembatani.

Aktivisme Lingkungan: Dialog antara Dua Subjek

Terdapat sebuah kisah memilukan dari pedalaman hutan hujan Republik Afrika Tengah sebagai akibat dari gelagat konservasi modern yang lupa untuk bercermin pada gerak alam. Kisah pilu ini terjadi pada Suku Pygmy Bayaka yang turun temurun hidup dari hasil hutan (sebagai pencari madu), namun kini kehilangan akses karena alih fungsi hutan sebagai wilayah konservasi. Kebijakan konservasi ini berujung pada dua bentuk ‘kiamat’–kiamat bagi Suku Bayaka, juga kiamat bagi ekosistem hutan hujan Afrika Tengah. Kini Suku Bayaka merupakan salah satu yang terancam punah karena populasi yang semakin menurun. Sedangkan kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh perubahan komposisi tumbuhan berujung pada kekeringan ekstrim. Masyarakat Bayaka menganggap bahwa kekeringan adalah hukuman dari “Jengi” (roh hutan yang dipercaya memberikan kehidupan pada hutan hujan di afrika tengah). Sang roh hutan, nampaknya murka atas bentuk konservasi semena-mena tersebut, dan akhirnya tidak lagi memberikan berkah kesuburan. Kawasan tersebut kini tercatat sebagai hutan yang mengalami kekeringan terparah karena perubahan ekosistem.

Kisah tentang Suku Bayaka dan kemarahan “Jengi” merupakan salah satu bukti bahwa konsepsi otonomi alam dalam politik ekologi bukanlah isapan jempol belaka. Di Indonesia, perubahan ekosistem yang berujung bencana tidak kurang jumlahnya. Salah satu bentuk kajian ekologi yang menelusur perubahan ekosistem sejak jaman kolonial Belanda dilakukan oleh James J. Fox dalam bukunya yang berjudul “Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu” (1996). Kedua pulau di busur luar timur Indonesia tersebut mengalami kekeringan panjang karena kebijakan ternak sapi massal yang dilakukan Belanda. Habisnya rumput membuat lontar tidak dapat tumbuh dengan baik sehingga mengakibatkan paceklik hebat. Dalam simpulannya, Fox menambahkan bahwa perubahan tersebut tidak hanya mengubah ekosistem, tapi juga berujung pada perubahan identitas dan juga tradisi masyarakat. Yang harus kemudian diingat adalah: kasus yang terjadi di kedua pulau hanya merupakan contoh dari ratusan kasus serupa yang rentan untuk terulang.

Melihat kecenderungan sok tahu manusia dalam pengelolaan lingkungan, maka dialog antara manusia dengan alam, tidak boleh tidak, harus dilakukan. Caranya beragam, dapat melalui kesadaran estetis, interpretasi ekologis, atau melalui perhitungan analasis tentang dampak lingkungan. Kesadaran masyarakat tentang penghormatan nilai intrinsik alam juga dapat disuarakan melalui aktivisme kolektif–protes yang dilakukan oleh ibu-ibu Kendeng dalam menolak pabrik semen di Rembang adalah contoh nyata dari aktivisme kolektif tersebut. Upaya lain untuk menjembatani ‘dialog antara manusia dengan alam’ dapat dilakukan dengan mendorong aspek demokrasi ekologis dalam perumusan kebijakan. Prinsip demokrasi ekologis sendiri merupakan sebuah upaya untuk membangun–apa yang disebut Shutkin (2000)–sebagai ‘civic environmentalism’, yaitu sebuah sistem dimana setiap warga memahami prinsip-prinsip penghormatan pada lingkungan dan secara aktif mencari solusi untuk permasalahan lingkungan.

Aktivisme pun dapat dilakukan dalam tataran individu. Sebutlah beberapa nama seperti: Prigi Arisandi, Yuyun Ismawati, Yosepha Alomang dan Botor Dingit–merupakan toloh yang mendapat apresiasi the Goldman Environment Award dalam kapasitas mereka sebagai individu yang berjuang untuk membangun kembali relasi harmoni dengan alam. Prigi Arisandi dikenal karena berusaha meningkatkan kualitas air di Surabaya, Yuyun Ismawati, merancang sistem pasokan air untuk daerah pedesaan dan perkotaan di Bali, Mama Yosepha yang menjadi tokoh perempuan terkemuka di Amungme, Papua, karena perjuangannya dalam menentang kebijakan PT Freeport, sedangkan Botor Dingit, berhasil menyatukan dan mengatur Komunitas Adat Dayak dengan membentuk kelompok aktivis yang disebut Sempekat Jato Rempangan yang memperjuankan hak-hak lingkungan di wilayah masyarakat Bentian (Pratisti, 2017). Melalui bentuk-bentuk aktivisme tersebut tercermin dialog dua arah antara manusia dengan alam. Kedua subjek tersebut saling memberikan ruang politis (political realm), dimana tujuan utama dari dialog melampaui hasrat eksplotasi sesaat. Dalam pandangan Kant–“that in creating man nature has transcended itself”–bahwa alam telah melampaui dirinya untuk memberikan yang terbaik bagi umat manusian. Tinggal manusia yang berupaya untuk mewujudkan mimpi utopis: yaitu ketika manusia meninggalkan kerusakan di bumi, hanya sebatas jejak kaki, tidak lebih.  

Simpulan

Upaya pelestarian alam bukanlah sesuatu yang mudah–jika meminjam bait dari Rendra mungkin bunyinya seperti ini: tapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu musuh terbesar pelestarian lingkungan adalah kesepakatan setan antara perusahaan bermodal milyaran dengan pemerintah yang tidak mau ambil pusing tentang pelestarian lingkungan. Tapi jejaring tersebut bukan satu-satunya musuh yang harus dihadapi–karena dalam pemaknaan politik ekologis, musuh utama kerusakan lingkungan adalah diri yang berjarak dengan alam. Pada pijakan inilah kita bersinggungan dengan kesadaran untuk menempatkan alam sebagai subjek otonom yang berbagi ruang politik dengan manusia. Interaksinya bahkan sangat intens dan terwujud dalam relasi (politik) keseharian–seperti keputusan kecil untuk tidak mencerabut rumput liar seenaknya, adalah (juga) bentuk pengakuan kepada subjek otonomi dari alam. Upaya membangun dialog ini digambarkan oleh Herman Hesse dalam novelnya Peter Camenzind. Melalui penokohan Peter Camenzind, Hesse mengangkat tentang terkungkungnya kesadaran manusia atas ilusi keberpisahannya dengan alam. Cerita ini mengingatkan kembali pada argumen Kant tentang Kingdom of Ends–yang mana dalam sebuah ruang politik ideal, setiap subjek didalamnya mampu berdialog secara setara dan menjalankan kapasitasnya secara maksimal. Politik ekologi mencoba mencapai ruang ideal tersebut. Seperti halnya Peter Camenzind yang menemukan diri melalui tuntunan kekuatan alam, maka kelestarian alam hanya akan tercapai melalui upaya manusia untuk memaknainya melampaui hasrat pemenuhan kebutuhan semata.

Sumber Gambar: Egon Schiele – Vier Bäume, Wikimedia Commons
Sumber Bacaan:
Bisri, A. M. (2002). Doa. In S. C. Bachri, Hijau Kelon & Puisi (p. 105). Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Butler, R. (2012). Natural Threats to Rainforest,  Mongabay Rainforest
Dafoe, D. (2003). Robinson Crusoe. Penguin Classic.
Faulkner, R. (1990). Liberal Plans for the World: Locke, Kant, and World Ecology Theories. International Journal on World Peace, 61-86.
Fox, J. J. (1996). Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sawu. Pustaka Sinar Harapan.
Gilroy, J. M. (1998). Kantian Ethics and Environmental Policy Argument: Autonomy, Ecosystem Integrity, and Our Duties to Nature. Ethics and the Environment, 131-155.
Pratisti, A. (2017). Defending Environmental Rights: an Ecological Democracy Perspective. Journal of Southeast Asian Human Rights, 147-158.
Quasimodo, S. (2001). Gitar-Gitar Mati. Antologi Puisi Nobel. Yogyakarta: Bentang.
Shutkin, W. A. (2000). The Land That Could Be: Environmentalism and Democracy in the Twenty-first Century. Cambridge, MA: MIT Press.
Zammito, J. H. (1992). The Genesis of Kant’s Critique of Judgment. Chicago: University of Chicago.

 

Share on:

Leave a Comment