Pada Mulanya, Hanya Ada Seni

Definisi Seni Primitif

Seni memiliki awal yang aneh”, ungkap pakar sejarah seni E.H. Gombrich dalam bukunya yang berjudul The Story of Arts (1950). Ungkapan di atas, setidaknya memunculkan bibit kepenasaran untuk mengungkap bentuk awal dari seni itu sendiri dan bagaimana posisinya dalam konteks masyarakat saat itu. Sebagai pemandu jalan, kita memerlukan semacam kompas waktu untuk memasuki lorong sejarah yang teramat panjang. Validitas saintifik dari sejarawan seni sekaliber E.H. Gombrich rasanya dapatlah kita jadikan patokan sekaligus titik awal untuk menelusur perjalanan seni yang “aneh”. Dan Gombrich, mula-mula mengajak kita untuk memahami konsep seni primitif.

Kini, kata primitif kerap digunakan semena-mena untuk menggambarkan oposisi dari modernitas. Dalam pandangan umum, artinya adalah sesuatu yang usang dan tidak lagi relevan untuk dibicarakan. Namun Gombrich (1950) memberikan pandangan lain, bahwasanya sebuah seni dikategorikan primitif bukan karena ketinggalan jaman, namun karena proses kreativitasnya lebih dekat dengan kondisi peradaban awal yang dikembangkan umat manusia. Dengan kata lain, waktu bukan menjadi patokan utama, karena bahkan di abad 21 ini, masih terdapat seni primitif yang dihidupi oleh sejumlah komunitas masyarakat. Beberapa contoh diantaranya suku Nandi, Masai atau Kipigis di Afrika, atau beberapa kelompok masyarakat pedalaman Amazon di Amerika Selatan yang masih mempertahankan pola hidup leluhur (Eisenstadt, 2001).

Lalu seni seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai seni primitif? Untuk penjelasan satu ini, rasanya Gombrich tidak pernah kehabisan contoh untuk dibagikan. Diantaranya (susunan didasarkan pada uraian Gombrich dalam bukunya, dan bukan urutan kronologis):

Lukisan Gua Lascaux di Perancis, kisaran 30.000 tahun lalu
Altamira Cave
Lukisan Bison di Gua Altamira, kisaran 15.000 tahun lalu
Yup'ik, Topeng Ritual Masyarakat Alaska
Yup’ik, Topeng Ritual Masyarakat Alaska, n.d
Ukiran Lintel Suku Maori
Ukiran Lintel Suku Maori
ritual mask New Guinea
Ritual Mask New Guinea

Apabila melihat contoh-contoh di atas, semakin jelas adanya, bahwa kategorisasi seni primitif tidaklah mengacu pada linimasa, tapi dari karakter yang melahirkan seni tersebut, dan fungsi yang melekat padanya. Terkait karakter, Gombrich (1950) memberikan gambaran sebagai berikut:

Among these primitives, there is no difference between building and image-making as far as usefulness is concerned. Their huts are there to shelter them from rain, wind and sunshine and the spirits which produce them; images are made to protect them against other powers which are, to them, as real as the forces of nature. Pictures and statues, in other words, are used to work magic.

Gombrich menyatakan, bahwa dalam masyarakat primitif, tidak ada pemisah antara seni dan fungsi–sebagai contoh, rumah yang ‘baik’ adalah bangunan yang memenuhi ragam fungsi seperti: melindungi dari hujan dan terik, sekalgus menyenangkan roh, dan juga dewa. Sehingga, dalam konteks masyarakat primitif, seluruh benda-benda fungsional, dibentuk sedemikian rupa (biasanya simbolisasi kekuatan tertentu: binatang atau kekauatan alam) agar mampu menyimpan dan mengeluarkan daya magis untuk dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari (misalnya berburu atau meminta perlindungan dari bencana). Poin ini menjadi penting, karena tanpa memahami karakter masyarakat primitif, akan sulit bagi kita untuk membayangkan posisi dan fungsi seni primitif. Di sela-sela penjelasan tentang fungsi seni dalam masyarakat Primitif, Gombrich–sempat-sempatnya–mengungkapkan lelucon (yang sialnya ada benarnya juga): I do not think it is really so difficult to recapture this feeling. All that is needed is the will to be absolutely honest with ourselves and see whether we, too, do not retain something of the ‘primitive’ in us. Menurutnya, didiri setiap kita, masih tersisa unsur primitif; karena jujur saja, simbolisasi kekuatan di luar diri, masih lumrah di antara kita (contohnya bisa: idol-idol modern, atau bentuk lain yang terlalu sensitif untuk disampaikan :p).

Penekanan lain yang dikemukakan Gombrich tentang seni primitif adalah kompleksitasnya. Pandangan ini berkebalikan dengan pandangan umum yang beranggapan bahwa seni primitif adalah seni sederhana dengan teknik seadanya–namun fakta menunjukkan lain. Contoh di atas–bahkan lukisan prasejarah di gua-gua–merupakan kerja seniman dengan metode tersendiri. Ukiran Maori–adalah contoh lainnya. Ketekunan seorang seniman/pengrajin tertuang jelas dalam ukiran tersebut, yang nyata-nyata memiliki tujuan lain selain daripada atas rumah semata. Dapatlah kita bayangkan, bahwa sesuatu yang dibuat dengan begitu indah, memiliki fungsi sekedar penghalang terik dan hujan semata. Dalam konsep masyarakat primitif, seni adalah representasi dari kepercayaan, cerita rakyat, juga kekuatan alam. Fungsinya adalah untuk memastikan sesuatu berjalan dengan “baik” menjadikan seni senantiasa ada dalam keseharian.

Ketika ‘seni’ adalah bagian dari fungsi keseharian dalam masyarakat primitif, lalu bagaimana posisi Seni sebagai sesuatu konsep keindahan yang dipajang di museum dan dipamerkan setiap ada kesempatan? Untuk ini, Gombrich menyatakan bahwa konsep seni sebagai keindahan adalah hal yang relatif baru. Pandangan Gombrich sejalan dengan argumen Schatzberg (2012) dalam artikel berjudul From Art to Applied Science, yang menyatakan bahwa pemisahan antara seni dengan fungsi teknologi, baru berlangsung pada paska renaisans saja. Awalnya, setiap teknologi adalah seni–sebuah konsep tentang budaya material yang dikaitkan dengan pengetahuan alam. Memasuki abad teknologi industri, pemisahan ini semakin menjadi-jadi. Barang keseharian–seperti misalnya pisau dapur–dilucuti daya magisnya dan hanya berfungsi untuk memotong wortel atau membuat filet daging beku yang telah tersedia di supermarket. Hal ini berbeda dengan pisau ritual Mesir Kuno, yang gagangnya dipenuhi ukiran gajah, singa, jerapah, dan domba—agar siapapun penggunanya, akan mendapatkan daya magis berupa kekuatan gabungan dari binatang-binatang tersebut.

Pemisahan seni dan sains kini menjadi hal yang lumrah, bahkan berada pada posisi yang bersebrangan: dimana sains bersifat universal, sedangkan seni khusus bagi seniman. Pemisahan berlebihan ini memunculkan pertanyaan: apakah memang kita tidak lagi membutuhkan “magis” dalam keseharian kita? Atau, seperti sindiran Gombrich, kita hanya lupa pada diri primitif kita dan berpura-pura mampu melepaskan diri dari kekuatan simbolis yang senantiasa menunggu di setiap tikungan jalan? Dengan kata lain, ketika konsepsi masyarakat primitif menempatkan seni sebagai pengetahuan alamiah yang dibentuk untuk tujuan tertentu, kita–manusia modern–menempatkannya di sudut museum yang hanya dikunjungi ketika tiket untuk pasar malam dan hiburan lainnya, sudah habis terjual. Pada awal tulisannya, Gombrich berujar bahwa seni memiliki “awal yang aneh”, namun Ia lalu berujar, bahwa perkembangannya juga “tidak kalah aneh”.   

 

Sumber Gambar: Gombrich (1950); Wikimedia commons
Sumber Bacaan:
Eisenstadt, S. N. 2001. Sociology of Generations. International Encyclopaedia of Social and Behavioral Sciences, Science Direct.

Gombrich, E. H. 1950. The Story of Arts. Phaidon Press.
Schatzberg, E. 2012. From Art to Applied Science. Isis. Vol. 103, No. 3, hal. 555-563.

Share on:

Leave a Comment