Kolase Bahasa Ibu: Olenka dan Cinta Topi Miring

“Sampean gendeng ya?”
(Sepenggal kalimat dalam novel Budi Darma, Olenka)

Jangan bayangkan kalimat tadi terdengar di tengah riuhnya terminal Joyoboyo, Surabaya. Jangan pula bayangkan yang berbincang adalah pasangan kekasih bernama Retno dan Samijo di bawah pohon jambu ijo royo-royo. Kalimat tadi terdapat dalam novel Olenka karya Budi Darma yang lancar dilafalkan oleh seorang perempuan bernama Olenka yang seratus persen Amrik. Juga lawan bicaranya, Fanton Drummond yang lahir di Kentucky, sama sekali tidak memiliki darah jawa, walau dalam beberapa ucapannya ia (dibuat) fasih menggunakan sapaan-sapaan khas Jawa. Settingnya sendiri mengambil tempat setengah putaran bumi dari tanah Jawa, yaitu sebuah kota bernama Bloomington yang berada di sebelah selatan Indiana, Amerika Serikat. Lalu, jika salah satu kaidah novel adalah representasi realita, apakah Olenka yang berbahasa campur aduk lantas hilang sisi kenovelannya?, karena – jujur saja – tidak lazim orang bule di Amrik sana berujar layaknya penjual jamu yang berseloroh dengan rekan-rekan seprofesinya. Untuk jawaban pertanyaan tadi baiknya diserahkan pada para kritikus dan sarjana sastra Indonesia, karena Olenka – walaupun lahir di Bloomington – adalah salah satu puncak kesusastraan Indonesia, sekaligus menunjukkan kualitas Budi Darma sebagai seorang sastrawan kelas wahid, sehingga pasti tidak luput dari analisis para pakarnya. Oleh karena itu, marilah kita bahas hal lain yang tidak kalah menarik, yaitu rasa kangen sang penulis terhadap bahasa ibunya yang demikian kentara hingga pembaca dibuat tersenyum olehnya.

Ketika novel ini dibuat, Budi Darma tengah menyelesaikan studi Doktoralnya di Indiana University. Selain Olenka yang terbit tahun 1983, latar kota dimana ia tinggal saat itu, yaitu Bloomington, juga menjadi latar bagi kumpulan cerita pendeknya yang mencekam, Orang-orang Bloomington (1980) –bedanya, dalam kumpulan cerpennya, Budi Darma belum mencampuradukkan bahasa sebagaimana yang ia lakukan dalam Olenka. Dua karya di atas dapat disebut sebagai dua karya puncak Budi Darma – entah bagaimana para kritikus sastra menggambarkannya, tapi dalam Olenka maupun Orang-orang Bloomington, Budi Darma berhasil menelusur labirin pikiran manusia. Study of man – merupakan kalimat pengantar di halaman depan Olenka, dan nampak ia piawai betul dalam menggambarkan bahwa manusia memiliki sisi yang sering kali tidak disadari oleh dirinya sendiri sebelum ia melakukan masturbasi – baca “Surat Masturbasi” dalam Olenka, sebuah analogi unik dalam upaya memahami diri. Dalam karya-karya lainnya – Kritikus Adinan, Rafilus, Fofo dan Sengring, juga berbagai karya lainnya – Budi Darma sering bermain dalam area psikologis, namun tidak disangsikan bahwa Olenka adalah studi terdalamnya tentang manusia dan berbagai keanehan(psikologis)nya.

Lalu dimana letak pentingnya bahasa jawa dalam bangun cerita Olenka?. Saya bisa katakan, bahwa jika Budi Darma mengubah seluruh kalimat Jawa dalam novel tersebut dengan bahasa Indonesia baku, maka jalan ceritanya sama sekali tidak akan berubah – walau mungkin ada yang terabaikan, yaitu rasa kangen sang penulis terhadap penggunaan bahasa ibunya yang tidak terpenuhi. Selain itu, Budi Darma yang dikenal sebagai pionir “kolase sastra” – sebuah teknik mencampurkan potongan koran atau iklan bioskop untuk memperkuat narasi cerita – juga menerapkan prinsip yang sama pada bahasa, karena dengan menggunakan bahasa ibu, rangkaian kalimat dan percakapan terasa lebih lebih mengalir. Dan memang secara ajaib bahasa jawa yang disisipkan dalam Olenka, alih-alih mengganggu, malah berhasil memberi penekanan emosi dalam kalimatnya dan greget yang tidak bisa dihadirkan oleh bahasa selain dari bahasa jawa – bahasa ibu sang penulis.

Selain dalam novel Olenka, salah satu contoh “kolase” bahasa ibu banyak ditemukan dalam penulisan puisi –  salah satunya adalah antologi puisi karya Sindhunata yang berjudul Air Kata-kata. Dalam antologi ini, Sindhunata gak puas sama bahasa Indonesia sehingga dalam beberapa puisi ia menggunakan kata-kata yang berasal dari bahasa ibunya – bahasa Jawa – yang dianggapnya lebih pas untuk menuangkan kekayaan (makna) dalam puisinya. Puisi-puisi macam ini lantas memakan korban, contohnya saya yang tidak paham betul dengan bahasa tersebut – karena tidak paham, saya cenderung menikmati puisi Sindhunata yang berbahasa Jawa tidak sebagai puisi, tapi sebagai mantra yang memiliki tempat tinggi dalam khasanah lisan, walau isinya bisa saja cerita tentang kucing yang kecemplung got – tapi justru disitulah letak nilai seninya. Salah satu “kolase bahasa” yang sungguh enak dibaca dapat disimak dalam penggalan puisi Sindhunata berjudul “Cintamu Sepahit Topi Miring” berikut:

Belum selesai menabuh kenong
Nong ji, nong ro
Pak Mloyo pulang geloyoran
Abu-abu wajahnya terendam ciu
Dari jauh Ranto Gudel melihatnya
duduk berjongkok di Bengawan Solo:
Air mengalir sampai jauh
membawa botol-botol cangkol
yang mengapung-apung seperti lampion
nyalanya bundar, seperti kenong
Pak Mloyo terguling ke Bengawan Solo
dengan irama nong ji nong ro
Ranto Gudel tertawa:
Itu perahu botol cangkol
mengalir sampai jauh
akhirnya ke laut berombak ciu.
(Sindhunata, 2002)

Dari penggalan bait di atas, dapat dilihat bahwa dalam segi diksi, bahasa ibu memiliki banyak keunggulan dari bahasa Indonesia, sehingga banyak makna yang dirasa tak tertampung apabila menggunakan bahasa lain selain dari bahasa ibu – kata-kata seperti “gelayoran”, “cangkol” bahkan “ciu”, akan terasa janggal jika harus dipaksa keluar dari bahasa aslinya. Selain itu, bahasa ibu adalah bahasa yang begitu intim bagi siapapun dalam bahasa (ibu) apapun – terutama untuk lelucon atau sapaan tertentu yang jika disampaikan dalam bahasa lain akan berkurang efek keintimannya. Pelafalan dan intonasinya yang khas dapat membangun keakraban antara pembaca dengan teks yang dibacanya. Atas dasar itulah mengapa beberapa penulis bersikukuh menggunakan bahasa ibunya dalam membentuk bangun tulisan – sebagai saujana makna juga sebagai perekat emosi antara penulis, teks dan pembaca. Namum selain daripada itu, rasa-rasanya ada pula yang menggunakan bahasa ibu untuk alasan yang lebih personal – melampiaskan kangen, seperti yang dilakukan oleh Budi Darma dengan Olenka-nya. Sehingga muncul satu lagi fungsi dari bahasa ibu, yaitu kolase untuk membangun narasi tentang rindu.

Share on:

Leave a Comment