Lintang Kemukus dalam Rekaman Musik

Perjalanan menemu orbit baru atau terbakar didalamnya

Komet (Comet) atau mengacu pada istilah orang jawa: lintang kemukus, memiliki daya tarik tersendiri. Disebut demikian karena komet memiliki ekor seperti buah kemukus – atau rambut panjang dalam imajinasi orang Yunani. Komet seringkali dikaitkan dengan tahayul – bahkan dalam Injil Versi Raja James (King James Version), komet – khususnya yang muncul dini hari – adalah cahaya yang menandai diusirnya Lucifer dari surga. Namun komet ternyata tidak hanya ada di langit, ia bisa kita temukan di atas panggung atau di dalam sebuah rekaman musik – mewujud pada para musisi yang keluar dari orbitnya, meninggalkan jejak cahaya yang menembus dimensi ruang dan waktu di belakangnya – Rekaman musik artis senior ini meninggalkan jejak yang semakin lama semakin pudar bahkan bias untuk dipahami.

Atas dasar penggambaran ini, muncul sebuah gagasan yang siapa saja boleh tidak setuju: bahwa untuk sebagian musisi [veteran dari supergrup tertentu], penghormatan terbaik baginya adalah dengan tidak mendengarkan musiknya sama sekali – karena kita akan kehilangan kepercayaan pada Euterpe, sang dewi inspirasi musik, yang ternyata telah meninggalkan sang musisi untuk terjebak dalam nostalgianya sendiri – dan musiknya tidak pernah akan sehebat dulu lagi.

Daya Kimiawi Musik Ansambel

Namun apa yang terjadi di atas bukanlah sebuah kutukan – Sick Boy (dalam Trainspotting) merangkum dalam celotehnya, “well, at one time, you’ve got it, then you lose it, and it’s gone forever” – sebuah fase alamiah yang harus dihadapi siapapun, termasuk musisi. Seorang musisi – seperti halnya aktor, pelukis, atau seniman lainnya – memiliki “waktu”nya tersendiri. Dalam kondisi tertentu mereka bahkan menjadi setengah dewa – menciptakan sebuah karya memukau dan mengubah sudut pandang dunia [seni] setelahnya. Kondisi tententu inilah yang menjadi prasyarat dalam proses penciptaan: bagi pelukis, bisa jadi karena cahaya matahari yang sempurna, atau mood yang tepat untuk seorang penulis – sedangkan untuk seorang musisi, terdapat sebuah prasyarat penting melebihi lainnya: yaitu kolaborator yang tepat – sebuah resep kimiawi dalam mencipta musik ansambel.

Musik ansambel sendiri merupakan sebutan untuk kelompok yang memainkan berbagai jenis instrumen yang seringkali dilengkapi vokal. Dalam perkembangan sejarah, kita akhirnya mengenal beberapa jenis ensambel, diantaranya: musik kamar (chamber music) – sebutan untuk versi ansambel kecil untuk musik klasik; ensamble blues – dengan struktur pekatnya; ensambel jazz – perkembangan bentuk metafisik dari blues; ensambel rock/pop dengan berbagai varian gaya dan formasi anggotanya; atau ensamble lain seperti brass dan mariachi yang memiliki karakter musik tersendiri. Musik ansambel dalam permainannya sangat mengedepankan harmonisasi, namun ketika berbicara proses penciptaan komposisi, maka keahlian orang per-orang di dalamnya menjadi sangat penting – dan dalam beberapa kesempatan, orang-orang yang berkeahlian di atas rata-rata berkumpul dalam sebuah ansambel sehingga musik yang mereka ciptakan pun jauh di atas rata-rata: mereka membentuk sebuah orbit tersendiri dimana satu dan yang lainnya saling melengkapi.

Dan ketika berbicara “orbit” dalam konteks musik, maka yang terlintas adalah grup seperti Cream, The Beatles, Led Zeppelin, Black Sabbath, Velvet Underground, Love, Genesis, Rolling Stones, The Who, Pink Floyd, Grateful Dead, King Crimson dan [mungkin yang paling aktuil] Nirvana – ansambel rock dijadikan contoh karena ansambel inilah yang banyak kami konsumsi sehingga rasanya lebih percaya diri untuk membicarakan jenis musik yang satu ini. Band-band diatas, adalah orbit yang memberikan alur bagi setiap individu di dalamnya untuk mengeluarkan kemampuan terbaik mereka. Kerap kali kita melihat dinamika unik antara satu personil dengan personil lainnya – ingat perseteruan dalam Cream atau para anggota The Beatles yang selalu intens – adalah bentuk komunikasi tersendiri yang di satu sisi dapat memaksimalkan proses bermusik (bahkan ini pun “bumbu” yang menjadikan nama mereka semakin mengorbit di jagad raya), walaupun beberapa diantaranya berakhir dengan benturan yang menghancurkan band – atau katakanlah, orbit – tersebut. Kehancuran “orbit” ini berarti kekacauan bagi para lintang kemukus: yaitu ketika para personilnya kembali bermusik – namun tanpa adanya reaksi kimia dengan kolaboratornya yang baru, sehebat apapun kolaborator tersebut, mereka tidak akan pernah berada di orbit yang sama. Pada akhirnya mereka harus mengalami sebuah Antisiklon, bergerak menjauh dari orbitnya – dan dari karir mereka.

Legenda Para Lintang Kemukus

Sebuah kutipan dari Sir Elton terngiang ketika kami berbincang tentang para legenda musik paska bubarnya supergrup mereka: “bahwa kita tidak bisa membuat seorang pemusik berhenti untuk bermusik – itu adalah hidupnya, permintaan tersebut seperti meminta seseorang untuk berhenti bernafas”. Mungkin inilah alasan kita [pada akhirnya] dapat menerima karya para musisi tersebut tanpa terjebak pada ekspektasi muluk dan membandingkannya dengan karya terdahulunya. Namun, dalam kasus Ringo Starr, hal tersebut sangat sulit dilakukan. Paska The Beatles bubar, para personilnya memilih jalannya sendiri-sendiri dan berhasil meletakkan kembali standar musik mereka secara personal. Namun Ringo gagal dalam melakukan hal tersebut – ia terjebak dalam nama besar Beatles – dan kita, para pendengarnya menjadi kurang terkesan dengan album-album solonya – mulai dari album Sentimental Journey (1970) hingga album Ringo 2012 (2012) – yang terdengar “hambar”. Jelas ia kehilangan reaksi kimia yang ia dapatkan bersana John, Paul dan George – rekan-rekan Beatlesnya yang berhasil membangun orbit mereka sendiri.

Hal ini pun terjadi pada Eric Clapton, katakan saja bahwa “moment puncak” Clapton adalah ketika ia bermusik bersama Cream dan muntahan orgasme gila tersebut terjatuh [kembali] dalam Blind Faith, bandnya bersama Steve Windwood, namun tetap saja pencapaian Blind Faith tidak dapat menandingi kesuksesan Cream. Dan setelahnya karya-karya Clapton adalah blues standar –  albumnya Layla bersama Derek and The Domino dan album 461 Ocean Boulevard banyak mencover lagu musisi lain – ia seperti kelelahan dan hampir kehilangan dirinya di sana. Selain Clapton, Jack Bruce, sang basist Cream pun mengalami fase yang sama, bahwa apa yang ia lakukan setelahnya – terlepas dari kolaborasinya dengan pakar gitar jazz John Maclaughlin dalam album Things We Like – tidak memberinya percikan keliaran seperti ketika ia berada dalam Cream. Yang tersisa adalah Ginger Baker, ia seperti menemukan kembali tempatnya bersama Fela Kuti, tapi harus kembali bubar karena karena masalah personal. Korban lainya adalah Arthur Lee (Love), Ray Manzarek (The Doors) dan Eric Burdon (The Animals), yang merupakan tiga tokoh penting dalam kesuksesan band mereka. Namun seperti para dewa yang dikutuk turun ke bumi, semua mukzizat meraka hilang seketika saat mereka mencoba sebuah hal baru dengan membuat sebuah karya di luar band mereka – semua menjadi terasa tidak istimewa bahkan cederung biasa saja. Mereka pun harus mengakui bahwa jiwa mereka telah tertinggal pada sebuah peti yang terkunci di dalam nama-nama kebesaran band mereka sebelumnya.

Jejak lintang kemukus lain dapat kita temukan pada karya Art Garfunkel yang karya-karyanya tidak segemilang mantan rekan duonya, Paul Simon. Jika Simon berhasil menemukan pijakannya kembali melalui karir solonya, Garfunkel harus tertatih-tatih dikarenakan masalah personal yang menyebabkannya hiatus setelah Simon and Garfunkel bubar pada tahun 1969 dan baru kembali  pada tahun 1973 – itupun di ikuti dengan hiatus-hiatus temporer setelahnya. Materi Simon and Garfunkel yang kebanyakan ditulis oleh Paul Simon menjadi pembanding yang tidak adil bagi seorang Art Garfunkel, sehingga apa yang dilakukannya selalu disandingkan dengan rekannya tersebut. Perbandingan serupa dapat kita temukan juga pada John Cale, musisi multi-instrumen yang menjadi otak dari grup legendaris Velvet Underground bersama Lou Reed. Namun, setelah berakhirnya Velvet Underground, Cale seakan kehilangan kekuatan melodinya – sehingga album-album solonya tidak memiliki pengaruh sekuat mantan rekannya, Lou Reed, yang mendobrak bersama David Bowie dalam album Transformer. Pesona Cale kembali muncul dalam Songs for Drella (1990), ketika ia kembali berkolaborasi dengan Lou Reed dalam pembuatan karya yang sangat sentimental untuk mengenang sahabat mereka, Andy Warhol – sebuah ikatan kimia yang sulit Cale dapatkan dengan kolaborator lain, bahkan dengan musisi sekelas Brian Eno sekalipun (Wrong Way Up, 1990).

Kasus lainya terjadi pada David Gilmour, terlepas permasalahan yang tak kunjung usai di dalam Pink Floyd, Gilmour mencoba untuk membuat sebuah “pelarian” dengan membuat beberapa album solo. Namun lagi-lagi proyekan ini tidak “mungkin” dapat menyayingi kebesaran Pink Floyd yang telah terkubur harum dalam pemakaman para legenda. Tiga album yang dibuatnya (David Gilmour, About Face, Fractals: The Colours of Infinity dan On an Island) nyatanya tak meninggalkan jejak berarti dan hanya menjadi sebuah pembuktian eksistensi dirinya dalam dunia permusikan di planet ini – sebuah sinyal yang menyatakan bahwa ia masih mampu mengorbit.

Led Zeppelin memiliki cerita lain, mereka bubar dikarenakan John “Bonzo” Bohman sang drummer meninggal dunia. Namun sejujurnya, “keajaiban” orbit Zeppelin telah hilang setelah album Physical Graffiti, album setelahnya seperti Presence dan Coda, terasa sangat “kabur” – entah dikarenakan popularitas atau kebosanan, hingga Zeppelin setelah Physical Graffiti adalah a downward spiral – dan kematian Bonzo merupakan tanda untuk berhenti. Paska Zeppelin, ketiga personilnya berjalan kearah berlainan, namun jelas mereka tidak menemukan lawan seimbang dengan para kolaborator setelahnya. Kematian yang menjadi akhir [sebuah orbit] kita temukan pula pada Nirvana – setelah kepergian Cobain, Krist Novocelic memilih moksa [dari dunia musik], sedangkan Dave Grohl memilih untuk tetap bermusik, walau mungkin saja ia sendiri tahu, bahwa Foo Fighter, Probot, Queen of Stone Age dan Them Crooked Vultures – band Grohl kemudian – tidak akan melampaui eminensi Nirvana.

Kebutuhan Merekonstruksi Ego

Tidak selamanya akhir sebuah band legendaris menjadi akhir [pula] bagi musisi didalamnya – beberapa diantaranya berhasil menghindari memudarnya legenda mereka. Selain ketiga Beatles di atas (John, Paul dan George) serta Lou Reed (paska Velvet Underground) kita juga menemukan Brian Eno (paska Roxy Music), Morrissey (paska The Smith), Peter Gabriel (paska Genesis), Syd Barret (paska Pink Floyd), Paul Simon (paska Simon & Garfunkel) – yang kesemuanya berhasil mengekspos ego individu dan menanggalkan identitas bandnya. Selain itu kita juga menemukan kecerdikan Peter Hook, Stephen Morris, dan Bernard Sumner, yang merekonstruksi konsep Joy Division setelah kematian Curtis menjadi New Order – sebuah upaya untuk melepaskan diri dari imaji Curtis yang begitu kuat dan membangun konsep baru untuk menghindari pembandingan semena-mena para kritikus musik.

Melalui gambaran di atas, setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa satu hal yang menjadi syarat bagi seorang musisi untuk tidak masuk ke dalam lingkaran lintang kemukus: yaitu keberanian merekonstruksi ego atau malah mengambil keputusan untuk berhenti dan membunuh hasratnya sendiri untuk melakukan sebuah experiment yang malah dapat membunuhnya kelak (seperti halnya keputusan jitu yang diambil The Band: mereka memutuskan untuk membubarkan diri dengan berhenti  melakukan perjalanan [musik] dan membiarkan nama mereka terkubur dalam sebuah memoria indah konser terakhir mereka, The Last Waltz).

Dengan kata lain, musisi yang dapat bertahan dari satu jaman ke jaman lainnya adalah musisi yang berhasil melakukan hal tersebut. Ia tidak terperangkap – atau dalam kasus Bob Dylan, bahkan mungkin tidak perduli – dengan keberhasilan yang telah diraihnya. Mereka terus menjadi sesuatu yang baru untuk menghindari siklus meredupnya seorang musisi – jika memang harus hilang, merekalah yang akan menghilangkan dirinya sendiri. David Bowie adalah salah satu contoh lain dari musisi yang dapat melewati fase tersebut. Mungkin dikarenakan kebiasaanya yang selalu berubah dari satu kepribadian menjadi sosok lainya (bunglon) yang membuat kita tidak dapat mengukur keberhasilannya hanya dalam satu sisi terdahulunya saja – bahkan sebelum berhasil menilainya, ia memaksa kita untuk masuk dan [mencoba] memahami hal baru yang ia coba sampaikan (well, he’s goddamn smart, really!).

Proses perubahan dalam diri musisi atau band inilah yang memungkinkan munculnya sesosok [alter] ego baru – yaitu sebuah penghindaran identitas statis yang dapat membunuh musikalitas seseorang. Dan hanya dengan kemunculan identitas baru inilah, seorang musisi dapat membuat atau menemukan orbitnya kembali, tanpa harus menjadi lintang kemukus dengan (ekor) cahaya yang semakin lama semakin memudar yang akhirnya hilang tanpa terlihat oleh satupun mata yang memandang. Sebuah proses [kelahiran kembali] yang menyakitkan dan hanya segelintir musisi mampu menghadapinya.

*Sumber Gambar

Share on:

9 thoughts on “Lintang Kemukus dalam Rekaman Musik”

  1. Sedikit Pedantic, Meteor atau Meteor mungkin sedikit lebih tepat daripada Lintang Kemukus atau Komet.. Meteor(it) merupakan pecahan kecil dari sesuatu yang lebih besar, semisal Asteroid atau Komet.. dan deskripsinya lebih menggambarkan sebuah kejatuhan dan degradasi..

  2. wah trims sarannya kak agung, awalnya memang terpikir untuk menggunakan analogi meteor (bintang jatuh) mengingat istilahnya yang lebih populer, tapi karena meteor merupakan serpihan, ia tidak punya orbit (komet-lah yang mengorbit), selain itu meteor (yang serpihan) rasanya kurang kuat untuk menggambarkan benturan antara musisi super dahsyat yang coba kami gambarkan hehehe (selain itu, jatuhnya ga jatuh2 amat kok, para musisi tersebut masih ada dengan kualitasnya masing-masing, namun tersesat entah dimana dan yang kelihatan tinggal ekornya) :p

  3. Terima kasih atas tanggapannya mbak aliyuna, hehe.. Jika para bintang seperti Art Garfunkel, Ringgo, dkk disebut bintang kemukus aka Komet, The Beatles dan Simon & Garfunkel disebut apa?

  4. menarik, sebagian jatuh dan sebagian terus menghasilkan karya yang bermutu.. namun menurut pandangan subjektif saya, semuanya berhasil kecuali david bowie..

Leave a Comment