Awas, Jahe Pemarah di Belakang Drum!

If a drummer, a real drummer, want to go deep to the roots of their music, go to Africa!
– Ginger Baker

Ginger Baker adalah drummer paling eksplosif yang pernah dikenal dunia musik – agresif, secara musik ataupun gagasan. Dalam rekam jejak karirnya, ia kerap terlibat dalam polemik (yang biasanya berakhir kisruh), baik dengan sesama musisi ataupun dengan media. Jack Bruce dan Mick Jagger adalah dua sasaran agresivitasnya ketika apa yang mereka lakukan berada di bawah standar Baker yang terkenal tinggi. Jagger (dalam pandangan Baker) sama sekali tidak masuk standar, sedangkan perseteruan terkenalnya dengan Jack Bruce berawal bahkan sebelum mereka membentuk Cream – menurut Baker, dalam membuat komposisi, Bruce selalu terlalu cepat menyimpulkan, sedangkan musik membutuhkan waktu untuk “terbit sebagai kesatuan penuh”, dan Bruce, secara sengaja, membalas kritik Baker dengan membuat “kesimpulan-kesimpulan” yang lebih cepat. Karena adu argumen ini, Cream tidak bertahan lama, tapi melalui perseteruan inilah Baker dan Bruce berhasil mengeluarkan kemampuan musikalitas terbaik mereka – walaupun diselingi dengan adu jotos dan caci maki.

Selain bersama Cream, Baker tergabung dengan beberapa grup lainnya, sebut saja Blues Incorporated, Graham Bond Organization, hingga Blind Faith. Namun musikalitas maksimal kembali ia tampilkan ketika melakukan kolaborasi bersama Fela Kuti dan Max Roach – dengan konsep musik yang berbeda. Fela Kuti adalah musisi Afrika yang ia temui dalam perjalanan spiritualitas ke-musisian-nya. Sedangkan Max Roach merupakan musisi jazz kawakan yang menjadi inspirasi bagi Baker – tiga musisi Jazz lain yang mempengaruhi musiknya adalah Phil Seaman, Art Blakey, dan Elvin Jones.  Karena akar musiknya inilah Baker seringkali gusar ketika disebut sebagai musisi blues/rock – ia bersikukuh mempersepsikan diri sebagai musisi jazz dan akan menghardik siapa saja yang berani menyebutnya sebagai musisi rock – bahkan ia mematahkan hati para penerusnya dengan berkata “jika saja saya tahu musik saya akan melahirkan Heavy Metal, saya akan mengaborsinya lebih dulu” [1].

Agresivitas membuatnya terkucil di kalangan musisi Inggris, sehingga memasuki tahun 70-an, ia memutuskan untuk pergi ke Afrika – mengikuti suara (genderang) yang terus memanggilnya sejak suatu malam Phil Seaman memutar musik ritmik Afrika di kamar apartemennya. Dalam perjalanan tersebut – pada sebuah tempat bernama AfricaSpot di tengah perang sipil Nigeria – Baker bertemu Fela Kuti, seorang musisi Afrika semi-mesiah yang menyuarakan gagasan pemberontakan terhadap neo-kolonialisme. Dalam waktu singkat lahirlah sebuah album kolaborasi fenomenal[2] yang menurut para kritikus mengaburkan batas perbedaan warna – entah maksudnya warna musik atau warna kulit. Baker sendiri tidak setuju dengan pandangan ini karena menurutnya, ritme perkusi/drum yang ia mainkan [selalu] berasal dari ingatan tentang musik Afrika yang ia dengar bertahun-tahun lalu.

Bukan tanpa alasan ketika Baker mengatakan bahwa Afrika adalah asal muasal dari ketukan ritmik/drumnya. Walaupun budaya lain juga mengenal jenis drum/perkusi dalam berbagai varian bentuk dan ritmenya, namun dalam budaya Afrika, drum dikenal luas dan memiliki nilai simbolis tinggi. Tiga drum (atau genderang) yang paling dikenal di Afrika adalah Djembe, Kpanlogo dan Sabar banyak digunakan dalam ritme musik di wilayah Afrika sub-sahara dan Afrika Barat. Dalam perkembangannya, ritme drum/perkusi ala Afrika inilah yang pada akhirnya bersinggungan dengan musik modern – yaitu blues dan jazz – yang dibawa bersama beban sejarah perbudakan Afrika ke seluruh dunia. Sehingga tidak salah ketika Baker yang keranjingan Jazz, pergi ke Afrika (dan bukan ke New Orleans) untuk menggali akar ritme musiknya.

Kolaborasi Baker dan Fela Kuti berakhir karena perbedaan pandangan – kali ini perseteruan Baker bukan dalam hal musik, tapi lebih dikarenakan politik radikal Fela Kuti yang bersebrangan dengan gaya hidup Baker – membuatnya meninggalkan Afrika. Namun, bertahun-tahun setelahnya, Baker kembali ke Afrika dan menetap di Afrika Selatan. Pandangannya masih tetap sama, yaitu seorang drummer yang benar-benar drummer, hanya akan menemukan orisinalitas ritme Afrika-nya. Karakternya pun masih sama, agresif dan tanpa ampun – sehingga ketika memasuki kediamannya, alih-alih tanda peringatan anjing galak, yang terpampang adalah “Beware of Mr. Baker”, karena memang terbukti, sang empunya rumah jauh lebih galak dari peliharaannya.

Keterangan:
[1] Bulger, Jay, 2012, Documentary Film: Beware of Mr. Baker, Curzon Film Word Production
[2] Live! Fela Ransome-Kuti and The Africa ’70 with Ginger Baker, 1971, Capitol/EMI

Share on:

Leave a Comment