Amicorum Communia Omnia: Erasmus dan Properti Intelektual

Adagia merupakan karya pertama dari filsuf humanis era renaisans, Desiderius Erasmus Roterodamus. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1500 (diterbitkan ulang pada 1508), Adagia menandai awal karir penulisan Erasmus dengan karya di antaranya: Stultitiae Laus or Moriae Encomium (The Praise of Folly, 1509), Colloquia (Colloquies, 1518), De libero arbitrio diatribe sive collatio (Of free will, 1524), De civilitate morum puerilium (On Civility in Children, 1530), hingga menerjemahkan Apophthegmata karya Plutarch (Apophthegmatum opus, 1539). Posisinya sebagai Pastor Katolik membuatnya berada di tengah pusaran reformasi gereja yang digagas oleh Martin Luther (1483-1548)–sehingga selain filsafat humanisme, karya Erasmus juga bersinggungan dengan filsafat Kristianitas, di antaranya The First Volume of the Paraphrase of Erasmus Upon the New Testament, terbit pada tahun 1548. Namun, sepak terjang “the Prince of the Humanists[1] ini akan dibahas lain waktu, karena dalam Adagia, terdapat satu hal menarik yang sulit untuk dilewatkan: yaitu adagium[2] pembuka berbunyi ‘Amicorum Communia Omnia’–Between Friends All Is Common.

Amicorum Communia Omnia memiliki posisi mencolok di antara 4.151 adagium lain yang berhasil dirangkum oleh Erasmus dalam Adagia (Mynors, 1976). Mengacu pada jumlah adagium dan sumber teks yang memukau (dari tulisan Plato, Pythagoras, hingga Diogenes), lantas muncul sebuah rasa penasaran: mengapa Amicorum Communia Omnia di tempatkan sebagai pembuka? Adalah Kathy Eden yang berada di jajaran terdepan para akademisi penasaran dengan dua tulisan yang kerap dijadikan rujukan (1998; 2001). Demikian pula dalam ulasan singkat ini, tulisan Eden menjadi landasan untuk memahami muasal dan posisi adagium tersebut dalam konteks masa kini. Mari kita mulai dari kutipan Erasmus (dalam Eden, 1998) berikut:

“Not only was Pythagoras the author of this saying, but he also instituted a kind of sharing of life and property in this way, the very thing Christ wants to happen among Christians. For all those who were admitted by Pythagoras into that well-known band who followed his instruction would give to the common fund whatever money and family property they possessed”.

Dalam penjelasannya, Eramus menyebut bahwa adagium Amicorum Communia Omnia berasal dari gagasan Pythagoras (570-495 BC) yang memang dikenal dengan gagasan kommunalismenya (selain tentu saja, teori Pythagoras yang kita temui dalam buku teks pelajaran). Eramus (dalam Eden 1998) lebih lanjut mengungkapkan, jika Pythagoras layak disebut sebagai figur yang mengusung pembentukan masyarakat atas kepemilikan bersama, Plato adalah juru bicaranya. Dengan memposisikan Amicorum Communia Omnia di atas adagium lain dan mengidentifikasinya secara spesifik pada pemikiran Pythagoras dan Plato–Eramus rupanya memiliki tujuan ‘propetik’ tertentu  yaitu menyerukan kembali bentuk komunitas dalam arti yang radikal (Eden, 1998; Mynors, 1976). Erasmus seakan mengundang pembacanya untuk bergabung dalam sebuah komunitas di mana semua hal dimiliki bersama (komune) termasuk kekayaan materi, dan juga, kekayaan intelektual. Adagia adalah bentuk nyata dari kepemilikan komunal pengetahuan; Eramus menyatakan bahwa karyanya tidak lain dari “gudang kekayaan intelektual dari gagasan-gagasan klasik yang dikumpulkan untuk kepentingan kita bersama”. Sebuah pernyataan eksplisit untuk mengajak pembaca saling berbagi kekayaan intelektual, yang menurut Eramus (dilandasi pemikiran Pythagoras dan Plato) adalah milik bersama.

“Following Pythagoras, Erasmus endorses the commonality and even the community-building property of proverbial statement. Not least of the things that friends hold in common, proverbs belong to no individual member of a society or culture but to all alike. In the arena of discourse proverbs are the common stock. Indeed, Erasmus makes two preconditions of the form; it must be in common use. The other precondition for proverbiality, is novelty. The proverb must be able not only to endure, but to change, and to change in such a way that surprises us by its newness” (Eden, 1998).

Kutipan di atas semakin mempertegas tujuan ‘propetik’ Erasmus dalam menggagas kembali kepemilikan bersama atas kekayaan intelektual. Namun, ia memberikan dua prasyarat, yaitu: harus digunakan secara umum dan memiliki kebaruan. Hal lain yang diangkat Erasmus adalah prinsip anonimusitas yang menjadi bentuk tertinggi dari kepemilikan bersama, sebagaimana kata pepatah yang seringkali tanpa nama. Syarat-syarat tersebut sebetulnya sangat familiar karena merupakan fondasi dari masyarakat ideal dunia maya yang kita kenal saat ini–sebelum muncul kapitalisasi dan pembendungan pengetahuan melalui propaganda ‘copyright’. Walaupun sebetulnya, pembendungan ide bukanlah hal baru, karena penerbitan Adagia sendiri bergulat atas gejala serupa.

Gejala ini (baca: pembendungan pengetahuan) kental dirasakan pada masa kegelapan Eropa. Kala itu, pengetahuan dimiliki oleh segelintir kalangan saja: otoritas gereja, akademisi, dan kalangan bangsawan. Bahkan Venesia–kota tempat Adagia diterbitkan–merupakan kota di mana hukum tentang properti intelektual, termasuk hak cipta, berevolusi menuju lembaga hukum modern. Adalah seorang penulis Venesia, Marcantonio Sabellico, yang pada tahun 1486 pertama kali meminta hak cipta dari Dewan Kota Venesia atas karyanya the Rerum Venetarum Libri XXXIII (sejarah kota Venesia). Enam tahun kemudian, Pier Francesco da Ravenna, meminta hak istimewa yang sama untuk sebuah studi tentang memori buatan.

Pada latar tersebutlah Erasmus menerbitkan Adagia melalui dua perusahaan penerbitan, Aldo Manuzio[3] di Venesia dan Johann Froben di Basel. Dengan menyambung geliat perusahaan penerbitan yang digagas oleh Johann Fust, Peter Schoffer dan Johannes Gutenberg pada tahun 1440–publikasi besar-besaran Adagia memberi pengaruh besar pada perubahan lanskap intelektual Eropa abad ke-16. Sirkulasinya bukan hanya mewakili akses intelektual untuk orang banyak tapi juga menjadi tonggak bagi teknologi penerbitan dalam skala besar (Eden, 2001).

“…for if by being well educated [the guardians] become reasonable men, they will easily see these things for themselves, as well as all the other things we are omitting, for example, that marriage, the having of wives, and the procreation of children must be governed as far as possible by the old proverb: Friends possess everything in common“ (Socrates’ Second Sailing: On Plato’s ‘‘Republic’ dalam Eden, 2001).

Pertemanan (friendship), adalah poin lain dalam adagium Amicorum Communia Omnia. Plato memandangnya sebagai landasan dari komunitas ideal di mana satu sama lain saling berbagi. Pada konteks masa kini, komunitas memiliki wujud beragam–salah satunya dalam bentuk maya. Dalam komunitas maya, dua prasyarat Erasmus berlaku mutlak: common use (penggunaan untuk kepentingan non-komersial) dan novelty (setiap pengguna pengetahuan memberikan tambahan kebaruan). Hanya dengan menghormati dua prasyarat ini komunitas dapat membangun dirinya dan berbagi pengetahuan dengan leluasa. Juga menjadi banteng terakhir dalam mendobrak katup pembendung pengetahuan. Sebagaimana diungkap Erasmus: ‘‘What other purpose has Plato in so many volumes except to urge a community of living, and the factor which creates it, namely friendship”.

 

Sumber Gambar: Wikimedia commons

Sumber Bacaan:
Eden, K. 1998. Between Friends All Is Common: The Erasmian Adage and Tradition. Journal of the History of Ideas, 59 (3): pp. 405-419.

Eden, K. 2001. Friends Hold All Things in Common: Tradition, Intellectual Property, and the Adages of Erasmus. New Heaven: Yale University Press.
Erasmus, D. (terj. R.A.B. Mynors dan D.F.S. Thomson). 1976. Collected Works of Erasmus Vol. 2. Toronto: University of Toronto Press.

Keterangan:
[1] Julukan untuk Erasmus mengacu pada karakteristik tulisan dan pemikirannya

[2] Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, adagium adalah ‘pepatah atau peribahasa’, berasal dari Bahasa Latin, adā̆giō (to say, something passed around)
[3] Eden (2001) memberikan sebuah spekulasi terkait pemilihan Aldo Manuzio sebagai penerbit untuk Adagia, karena pada tahun 1507, setahun sebelum Adagia dicetak ulang oleh Aldo Manuzio, perusahaan tersebut tengah dituntut atas pembajaan berbagai manuskrip para penulis di Venesia

Share on:

Leave a Comment