Setan-setan Jelata (dan Kepanikan Moral)

Judul diatas merupakan padanan Bahasa Indonesia[1]untuk karya klasik sosiolog Stanley Cohen “Folk Devils and Moral Panics” yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1972. Buku ini kemudian diterbitkan ulang pada tahun 1980, 1987, serta tahun 2002, dan telah diakui sebagai salah satu konsep utama dalam sosiologi politik. Adalah sangat menarik untuk membaca edisi terbarunya (2002), karena selain mengurai konsep Moral Panics[2], Cohen juga menjelaskan tentang varian kasus kepanikan moral serta perkembangan konseptual yang terjadi dalam rentang waktu 30 tahun. Melalui penjelasan tambahan inilah Cohen mengkristalkan sebuah pola yang pada awalnya hanya merupakan kajian tentang kenakalan remaja di era 1969 (melalui pembentukan opini negatif terhadap subkultur Mods dan Rock) – bahwa ternyata, kepanikan moral bukan milik sebuah jaman, namun berlaku lintas temporal. Keberadaannya bisa ditarik ke belakang (dalam contoh selanjutnya akan diuraikan bentuk kepanikan moral pada abad ke 13), juga ke depan (yang ternyata konsep ini dapat menjadi penjelas berbagai kisruh pada masyarakat kita saat ini). Dalam tambahannya pula, Cohen memberikan penekanan pada media yang ikut berperan membentuk “kepanikan moral”, sehingga seringkali kondisi ini tidaklah hadir sebagai bentuk murni dialektika masyarakat, namun menjadi produk media yang berkelindan dengan kepentingan elit politik. Untuk perkara yang satu ini, kita rasanya sepakat bahwa panggung politik Indonesia adalah sasaran empuk kepanikan moral.

Kepanikan moral sendiri merupakan konsep yang menggambarkan kondisi ketakutan atas kehadiran seseorang atau sekelompok orang yang mengancam tatanan nilai masyarakat[3]. Namun, terdapat sisi unik dalam memahami “pandangan mengancam” (atau biasa disebut sebagai penyimpangan): bahwa memang, penyimpangan dapat hadir dari sebuah kebaruan[4] sehingga masyarakat merasa membutuhkan barikade moral untuk menjaga tatanan lamanya – tapi dalam kasus lain, penyimpangan dapat hadir dari nilai-nilai yang pada dasarnya telah dikenal sejak lama dan terekam dalam ingatan kolektif masyarakat, namun dimunculkan kembali kepermukaan untuk menjadi kambing hitam atas situasi tertentu. Salah satu contohnya adalah kepanikan moral di Eropa dalam bentuk pemburuan penyihir (witch hunt) yang tercatat pada abad 13 hingga 15. Praktek sihir sendiri bukanlah hal baru dalam konteks kebudayaan Eropa saat itu, catatannya telah ditemukan sejak jaman klasik[5] bahkan prakteknya telah disebutkan dalam Odyssey karya Homer. Memasuki abad ke 13, Gereja yang kala itu memiliki legalitas hukum meletakkan praktek sihir kedalam pasal heretic (sesat) dan memberlakukan pengadilan atas para pelakunya. Bersandingan dengan kekuatan hukum tersebut, terdapat sebuah kondisi yang mendorong terjadinya kepanikan moral, yaitu wabah yang melanda Eropa (dikenal dengan istilah Black Death). Penguasa yang kelimpungan mencari sumber wabah menudingkan kesalahan pada dua kelompok: yaitu Yahudi (yang dianggap meracuni sumur) dan para penyihir (yang telah mengundang Setan ke muka bumi). Pada saat inilah genosida pertama kali dilakukan terhadap etnis Yahudi, namun kepanikan moral yang lebih merajalela terjadi ketika masyarakat berhadapan dengan praktek sihir, korbannya hampir menyamai korban dari Black Death sendiri. Banyak diantara tertuduh dibakar dan dibunuh hanya melalui pengadilan rakyat seadanya[6] – dengan tanpa adanya aturan hukum yang jelas, hampir siapa saja bisa dituduh sebagai penyihir.

Witch hunt merupakan salah satu kasus kepanikan moral yang sangat gamblang. Dan sebagaimana dikemukakan Cohen tentang pola berulang kepanikan moral, maka saat ini bentuk penghukuman tanpa dasar seperti dalam witch hunt, ditemukan kembali dengan penamaan baru untuk para penyihir abad 21: “terorist”. Ya, sejarah berulang. Ketika dunia semakin dihadapkan pada ketakutan atas tindakan teror, sistem hukum tidak mampu, bahkan untuk mendefinisikan terorisme itu sendiri – hingga saat ini, PBB masih mendefinisikan terorisme sebatas pada tindakan teror kelompok separatist, yang sangat berbeda dengan konteks terorisme yang tengah aktif berkembang. Berawal dari ketidakmampuan sistem nasional ataupun internasional untuk menjangkau pelaku teror tersebut, maka diberlakukanlah sebuah bentuk hukum (ganjil) yang dikenal dengan istilah: religious profilling. Mekanisme ini menyasar dan mencurigai seseorang berdasarkan (aspek) keagamaan tertentu. Argumen mengapa agama dijadikan dasar kecurigaan adalah karena kebanyakan terorist yang berlalu-lalang dalam panggung politik dunia saat ini mengatasnamakan Islam, dan kepanikan moral pun terjadi dalam skala masif berujung pada bentuk Islamophobia. Sehingga, layaknya kepanikan moral di Eropa abad 13 dengan tuduhan membabi buta – melalui religious profilling, hampir siapa saja yang beragama Islam bisa dituduh sebagai terorist.

Namun, Islamophobia bukanlah satu-satunya bentuk kepanikan moral yang terjadi saat ini. Arus pengungsi dari berbagai negara yang dilanda perang menimbulkan dampak kepanikan moral yang sama. Selain itu, masyarakat dengan berbagai dinamikanya memunculkan varian model kepanikan moral. Salah satu bentuk kepanikan moral yang “berubah haluan” dapat dilihat dalam kasus penembakan Michael Brown pada akhir 2015 di Ferguson, AS. Penembakan ini pada awalnya memicu kepanikan moral atas dasar rasisme (dinyatakan bahwa Michael Brown adalah satu lagi korban dari hukum Amerika yang rasis), namun penggiringan opini berhasil dilakukan oleh media dengan bersama-sama menyuarakan: Police recklessness, not racism – karena bagaimanapun lebih mudah bagi elit politik untuk berargumen tentang bobroknya institusi kepolisian daripada mengakui sistem rasisme yang tertanam di bawah sadar. Dalam kasus lain, kepanikan moral dibentuk untuk mempertegas mana barisan “pahlawan dan orang suci” dan mana barisan “kawan-kawan setan dan para penjahat”. Di Indonesia yang multidimensi (dalam segi agama, sektarian, pandangan politik, budaya hingga etnis), pertarungan ini adalah bentuk transposisi untuk menentukan nilai-nilai mana yang benar dan mana yang sesat. Pada jaman orde baru, semua yang berbau komunis adalah subversif dan harus dibumihanguskan. Sedangkan saat ini, dimana kebebasan berpendapat telah diberikan, kata subversif (sebagai instrumen kepanikan moral Orba) berubah bunyi walau memiliki makna destruktif yang sama: yaitu “sesat”. Sehingga, bermunculanlah label-label sesat pada kelompok minoritas: antara lain Ahmadiyah, Syiah, juga Aliran Kepercayaan. Kelompok inilah yang menurut Cohen berada pada posisi menyimpang (hanya) karena bersebrangan dengan nilai yang berlaku umum di masyarakat[7].

Pola lain yang hadir sebagai bentuk kepanikan moral adalah kehadiran nilai-nilai baru (atau yang sepertinya baru). Kehebohan di media sosial tentang pro dan kontra homoseksualitas adalah salah satu contohnya. Homoseksualitas tentu bukan hal baru, baik secara universal ataupun dalam budaya Indonesia. Pada tahun 1600an, homoseksualitas telah tercatat dalam Serat Chentini melalui sepak terjang Cebolang. Dalam konteks kebudayaan pun tercatat pula homoseksualitas yang mewarnai tradisi Warok di Ponorogo, juga pada tradisi klasik Bugis yang hingga saat ini dipertahankan oleh para Bissu. Sebuah kenyataan yang menyajikan bahwa perbedaan preferensi seksual bukanlah hal baru di Indonesia. Namun sayangnya, konsep yang pada awalnya berada di ruang personal (preferensi seksual) dan ruang budaya (seksualitas transendental), ditarik ke dalam pusaran politik melalui sebuah jargon agresif “personal is political”, – alhasil arus kepanikan moralpun sekali lagi terjadi. Dan ketika pertarungan sosial politik terjadi antara dua kubu yang tidak seimbang (dengan mengacu pada akses penyebaran nilai melalui media), maka akan dengan sangat mudah mengetahui kelompok mana yang akan dikategorikan – sebagai apa yang disebut Cohen – Folk Devils: a visible reminders of what we should not be.

Namun, selama masyarakat masih berpijak pada nilai-nilai modern (dengan sistem tatanan tertentu), kepanikan moral adalah sebuah keniscayaan. Ia akan terus hadir sebagai bentuk transaksional antara berbagai nilai dalam masyarakat dan memiliki fungsi sebagai reproduksi budaya. Dalam Folk Devils and Moral Panics, Cohen tidak memberikan solusi terhadap pergesekan kelompok yang terjadi karena didorong oleh kepanikan moral – tapi kerangka teoritisnya mampu memberikan cermin bagi kita untuk memahami secara lebih jernih berbagai permasalahan sosial yang ada. Di penghujung bukunya, Cohen menyatakan: more moral panics will be generated and other, as yet nameless, folk devils will be created. Sebuah frase penutup yang senantiasa memberikan peringatan, bahwa kesesatan – is also created by society.  

Keterangan dan Sumber:
[1] Terjemahan penulis. Folk memiliki arti harfiah rakyat, namun penulis menginterpretasikannya sebagai “jelata” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti: rakyat biasa, bukan bangsawan atau hartawan. Pemilihan kata ini mengacu pada konteks sosial politik yang menjadi pijakan essay ini, dimana “kekuataan politik” akan dengan mudah dikenali dalam pembentukkan opini terhadap kelompok tertentu yang dianggap sebagai “lawan” dari sistem masyarakat yang berlaku.
[2] Selanjutnya akan menggunakan istilah dengan terjemahan “kepanikan moral”
[3] Cohen, Stanley, 2002, Folk Devils and Moral Panics, Routledge, London, hal. 1
[4] Cohen mengkonsepsikan kebaruan sebagai “The object of novelty”, namun penulis agak sedikit ragu akan konsep ini, mengacu pada de-evolusi kerangka filosofis dalam ilmu sosial yang mengalami kemandegan sejak Postmodernisme dinyatakan sudah mati (baca Alan Kirby, 2006, “The Death of Postmodernism and Beyond” dalam Jurnal Philosophy Now)
[5] Institoris, Heinrich dan Jakob Sprenger, 1927, “The Malleus Maleficarum of Heinrich Kramer and James Sprenger” dalam Montague Summers: Introduction to the Malleus Maleficiarum, hal. Xi
[6] Sebuah kepanikan moral dengan pola ini terekam dalam sejarah (minor) yang mewarnai guncangan sosial masyarakat di Indonesia pada tahun 1998-1999. Banyak kasus pembunuhan kepada tertuduh dukun santet terjadi di wilayah Jawa (baik Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang dilakukan warga atas tuduhan sepihak tanpa pengadilan – setelahnya terungkap, beberapa kasus memiliki motif ekonomi.
[7] Becker dalam Cohen, 2002, opcit, hal. 5

Share on:

Leave a Comment