Musik Klezmer dalam Lukisan Marc Chagall

Nama Marc Chagall lekat dengan dua hal, sebagai (1) maestro gerakan seni modernisme dan (2) pilar seni diaspora Yahudi di Eropa utara. Dalam ulasan singkat kali ini, dua poin tersebut akan dibahas untuk melandasi konteks bagi poin ketiga, yaitu menelusuri imaji musik tradisi yang berjejalan dalam lukisan sang maestro. Musik tersebut tidak lain dari musik Klezmer–lahir dalam tradisi Yahudi perantauan dan bercampur dengan beragam pengaruh: mulai gaya Rebetiko[1] Yunani, musik Baroq Jerman, hingga tarian rakyat Horovod khas Slavik. Namun sebelum lebih lanjut menelusur musik Klezmer dalam lukisan-lukisan Chagall (dan mengapa Chagall melukisnya berulang kali)–ada baiknya kita petakan terlebih dahulu posisi sang pelukis dalam lini masa karya lukis dunia.  

Ilustrasi lini masa gerakan seni; warna oranye mengindikasikan seni modernisme (ekstraksi dari berbagai sumber)

Chagall lahir di sebuah perkampungan Yahudi, Liozna, bagian dari kota Vitebsk, Belarusia pada tahun 1887. Greenfeld (1967) menggambarkan masa kecil sang pelukis seperti anak desa pada umumnya: berlarian dengan roti di tangan, menamatkan pendidikan Cheder (sekolah dasar di komunitas Yahudi), lalu menghabiskan musim panas bersama kakek dan pamannya di kampung yang lebih dusun dari dusunnya sendiri. Dari beribu kesibukan seorang anak, nampaknya kunjungan singkat pada kakek dan pamannya merupakan momen yang paling ia senangi. Hal ini mengacu pada fakta bahwa imaji sang paman yang bermain biola kapanpun tangannya tidak memegang pisau jagal atau kendali pedati, menjadi iconography khas Chagall dan menjadi pembeda dengan lukisan bertema serupa dari maestro lainnya (lukisan musisi yang khusuk memainkan musik adalah alusi populer, bahkan sejak jaman seni klasik). Dalam autobgografi, Ma Vie yang diterbitkan pada 1923 (saya menggunakan versi terjemahannya, My Life, 1960), Chagall membagikan ingatannya atas momen intens tersebut:

Rembrandt alone would have known what the old grandfather thought–butcher, merchant, singer–while his son played the violin before the window, before the dirty glass, covered with raindrops and traces of fingers…behind the window, the night.

The Fiddler

Bagi Chagall, ingatan masa kecil di Vitebsk tidak pernah hilang–baik pada karya yang ia hasilkan ketika berada di St. Petersburg (dan berada di tengah pusaran kebangkitan seni Yahudi di Eropa Timur), atau ketika ia menggeluti dunia kesenimanan di Paris (dan bersinggungan dengan beragam gerakan seni, mulai dari impressionisme, fauvisme, kubisme hingga surrealisme), bahkan ketika berada di Amerika (demi menghindari keganasan Nazi) dan bekerjasama dengan figur lukisan abstrak, Piet Mondrian, juga kolaborasi terkenalnya bersama teater balet Aleko–jejak suasana Vitebsk tetap dapat ditemukan (Weisstein, 1954). Karena ekspresi gaya lukis yang begitu menonjol, karya Chagall tidak dapat dikategorikan dalam satu gerakan saja. Kritikus lantas memposisikannya sebagai bagian dari gerakan modernist[2]–sebuah istilah “catch-all” untuk membedakan dengan seni klasik dan realisme yang hadir sebelumnya. Keliaran karya Chagall ternyata bukan soal masalah genre, tapi juga bentuk – karena sang maestro lukisan juga piawai dalam seni gelas, pahat, desain kostum, hingga puisi. Julukan lain lalu melekat pada Chagall, yaitu seniman dengan sentuhan universalism[3]. Safiullina & Batyrshina (2004), menggambarkannya sebagai berikut:

In the opinion of American academic Eugene Marlow, Mark Chagall was the direct successor of Renaissance aeesthetic. Being gifted in different types of art, and despite experiencing the influence of expressionism, symbolism, cubism, surrealism and neo-primitivism, he managed to preserve his uniqueness of idiom. The wide range of themes, images and genres covered by the painter from Vitebsk–from mythological and iconographic scenes to present-day events of a historical scale, from the thinnest love lyrics to comedic and circus performances–in all, the epic proportions of his creativity, demonstrated through thousands of works, make it possible to speak of the artistic universalism of Chagall’s personality and creativity as a whole.  

Posisi lain Chagall–selain status mentereng sebagai salah satu modernist awal,–adalah sebagai pilar seni dalam komunitas Yahudi diaspora. Pendidikan Cheder nampaknya memberi kesan mendalam bagi Chagall; tapi baginya bukan soal relijiusitas dan kesakralan kitab suci yang menarik perhatian, tapi beragam kisah para orang suci dan pendosa yang memberikan banyak inspirasi. Namun, walaupun bukan siswa paling brilian dalam standar Cheder, akar etno-reliji yang kuat yang dimiliki Chagall menghantarkannya kembali pada pendalaman spiritualitas akar agamanya–terkhusus pada periode 1930an ketika ia berkolaborasi dengan kurator seni Ambroise Vollard yang memintanya membuat lukisan berdasarkan kitab perjanjian lama, kitab  kanon kristiani yang mengacu langsung pada alkitab Hebrew, Tanakh. Atas permintaan ini, Chagall mengunjungi Israel pada tahun 1931 dan berujar, bahwa ia telah “menemukan sebagian jati dirinya disana”[4]. Sebelum Nazi melancarkan represi atas segala hal yang bernafaskan Yahudi (dan Perancis, tempat Chagall bermukim kala itu, termasuk dalam peta penaklukan), Chagall telah menyelesaikan 66 plat lukisan bertema kisah-kisah dalam alkitab. Gejolak politik di Eropa dan meninggalnya Vollard menghentikan proyek spiritual Chagall; kumpulan plat lukis tersebut kemudian diterbitkan oleh Tériade (penerbit tabloid seni terkemuka di Paris).

Pijakan lain identitas Yahudi dalam lukisan Chagall, menghantarkan kita pada poin utama dalam ulasan ini: yaitu musik tradisi yang dikenal dengan sebutan Klezmer. Pengalaman musik jelas menjadi inspirasi utama bagi Chagall yang dibesarkan dalam alunan Klezmer[5]. Sebagai bagian integral dalam komunitas Yahudi, Klezmer dimainkan dalam beragam acara, mulai dari kelahiran seorang anak, Bar Mitzvah (perayaan menuju kedewasaan), pernikahan hingga pemakaman. Selain itu, bagi kebanyakan masyarakat diaspora Yahudi, biola sebagai salah satu instrumen utama dalam Klezmer adalah hal keseharian (dan sama sekali bukan instrumen elit) yang dapat dimainkan kapanpun mereka mau. Kuatnya akar musik ini memunculkan sebuah idiom (Rajner, 2001):

The fiddle, is an instrument that is older than all other instruments. The first fiddler in the world was Tubal Cain or Methuselah, I am not sure which… The second fiddler was King David. The third, a man named Paganini, also a Jew. The best fiddlers have always been Jews.

Chagall sendiri mengakui bahwa ia tidak piawai dalam bermain musik, namun ingatan akan Paman Neuch yang memainkan biola, melahirkan rangkaian lukisan dengan tema musik–salah satu yang paling terkenal adalah lukisan berjudul The Fiddler (1913), yang lalu menjadi inspirasi teater musikal Fiddler on the Roof[6]. Selain Paman Neuch, entah berapa banyak pertunjukkan klezmer yang diabadikan dalam lukisan Chagall. Ajaibnya, keberadaan musisi dalam kanvas Chagall tidaklah pasif, musik (yang tentunya ada dalam ingatan Chagall ketika melukis) muncul dalam luapan warna. Ketika para musisi ini menjadi latar (dalam lukisan pesta pernikahan, misalnya), menjadi latar yang membangun nuansa layaknya suasana pesta. Permainan biola solo adalah salah satu objek yang paling banyak dilukis oleh Chagall, selainnya terdapat pula permainan celo, gitar dan juga terompet. Instrumen tradisional pun tidak ketinggalan–dalam lukisan mitologi dan biblikal seperti The Dance of Mariam, A Myth about Orpheus, atau dalam lukisan Orpheus, Daphnis and Chloe, Sarah and Angels, Creation–instrumen musik yang digunakan dalam ritual Yahudi kuno bermunculan, diantaranya: lonceng, kecapi, shofar (terbuat dari tanduk domba jantan), hingga crotals (simbal Yunani).

Kebangkitan seni Yahudi di St Petersburg (sekitar 1908), juga melandasi narasi musik dalam lukisan Chagall. Dari periode tersebut, setidaknya terdapat dua karya yang menjadi sumber inspirasi Chagall: (1) “lukisan musik” Mikalojus Ciurlionis (Celestial Sonata: Allegro), dan (2) puisi-puisi karya Andrei Bely dan Alexander Blok yang mempertegas kembali peran besar musik dalam perkembangan seni. Jika puisi Bely merupakan upaya mempuisikan musik, maka puisi-puisi Blok secara spesifik berkaitan dengan musik tradisi Yahudi–dalam pandangan Blok, musik tradisi mampu menyatukan keindahan dunia spiritual dengan dunia materi dan menciptakan seni baru (Rajner, 2001). Lebih lanjut, Safiullina & Batyrshina (2004) menyatakan, bahwa dalam lukisan Chagall, berjejalan beragam jenis seni, warna, garis, suara, nada, ritme, aksi akrobatik dan langkah tari–sehingga adalah mustahil untuk memisahkan lukisan Chagall dari alusi musik. Dengan kata lain, dalam kasus Chagall, musik adalah menjadi elemen pemersatu antara seni, tradisi dan diri sang seniman (Rajner, 2001). Melalui penyatuan elemen-elemen ini, kita menyaksikan bahwa musik dapat ditemukan dalam bentuk yang tidak disangka-sangka–kali ini dalam guratan lukisan seorang Marc Chagall.

Musik Tradisi Klezmer

Beberapa Ilustrasi Musik Klezmer dalam Lukisan Chagall

The Dance of Mariam
The Wedding
The Myth of Orpheus
The Concert

 

Sumber Gambar: Wikimedia commons

Sumber Bacaan:
Chagall, M. 1960. My Life (Terj. Elizabeth L. Abbott). Orion Press.

Childs, P. 2000. Modernism. Routledge.
Greenfeld, H. 1967. Marc Chagall. Follett Publishing.
Hughes, R. 1988. Art: Fiddler on the Roof of Modernism: Marc Chagall: 1887-1985. Time Magazine.
Rajner, M. 2001. Chagall’s Fiddler. Dipresentasikan pada the Thirteenth World Congress of Jewish Studies, Jerusalem.
Safiullina L.G, & Batyrshina G.I. 2014. Musical Images as a Reflection of the Artistic Universalism of Marc Chagall. Terra Sebus: Acta Musei Sabesiensis. Special Issue, hal. 67-104.
Weisstein, A. 1954. Iconography of Chagall. The Kenyon Review, 16 (1), hal. 38-48.

Keterangan:
[1] Musik yang berkembang di daerah kumuh Athena pada awal abad 19, dimainkan secara berkelompok dengan instrumen utama bouzouki, baglamas dan gitar.

[2] Seni modern didefinikan sebagai “art movement that explicitly rejected the ideology of realism and made use of the works of the past by the employment of reprise, incorporation, rewriting, recapitulation, revision and parody” (Childs, 2000)
[3] Seni/seniman universal diartikan dapat diartikan sebagai “the polyphony of methods, genres and styles in the creativity of one author as an echo of experience of ‘the fullness of existence,’ not staying within the selected form once and for all” (Safiullina & Batyrshina, 2004).
[4] “In the East I found the Bible and part of my own being (Chagall, 1960)
[5] Klezmer secara harfiah dapay diartikan “instrumen musik”, namun dalam perkembangannya mengacu pada jenis musik. Musik ini dilarang selama masa kepemimpinan Hitler, dan baru muncul kembali era 1970an, terutama di komunitas Yahudi diaspora di Amerika. 
[6] Digubah Jerry Bock, Sheldon Harnick dan Joseph Stein pada 1964

Share on:

Leave a Comment