Angels in Adoration: Montorsoli dan Kecanggungan Renaisans

Jalan Gangsar Sang Pemahat

Sejarah selalu menyisakan anomali. Renaisans, yang dikenal kesempurnaan estetikanya dan didominasi tokoh-tokoh yang dipengaruhi visi ideal humanisme dengan pencapaian tinggi dalam karya-karya seninya juga mewariskan anomalinya sendiri.

Patung-relief Angels in Adoration salah satunya, pahatan seorang “murid” dari maestro Michelangelo, yang namanya jarang muncul dalam catatan-catatan sejarah seni renaisans. Ia adalah Giovanni Angelo Montorsoli (c. 1507—1563).

Angels in Adoration, G. A. Montorsoli c. 1550

Nama Montorsoli lebih sering identik dengan tiga hal, yaitu (1) seperti yang telah disebut di atas, adalah seorang murid sekaligus asisten Michelangelo Buonarroti, (2) juga seorang pematung “ulung” untuk restorasi karya klasik dan (3) seorang biarawan Servite. Namun, ada satu hal yang luput tentangnya; sebagai tokoh yang membawa gagasan anti estetika dalam kekaryaannya pada masa di mana estetika “proporsional-harmonis” sangat dominan, meminjam bahasa Laurenza (2012), sebuah masa yang dikenal dengan sebutan “abad anatomis”.

 

Montorsoli lahir di sebuah desa yang memiliki kesamaan nama dengannya, yakni Montorsoli. Predikat seniman pada namanya tak langsung manunggal begitu saja. Sebelum dikenal sebagai seniman, mulanya ia menjadi pemahat batu di tambang Fiesole. Ia terhitung cukup terampil dalam memahat. Lalu berpindah ke Roma, berlatih sebagai pematung amatir. Ketika sampai Roma, ia pertama kali bekerja di St. Peter’s, mengukir beberapa mawar di sekitar gereja, yang kelak bakatnya segera terendus oleh Michelangelo. Hingga akhirnya ia bekerja sebagai asisten Michelangelo. Montorsoli masih sangat muda ketika ia menjadi asisten sang maestro. Pada masa itu ia diperkerjakan di Gereja S. Lorenzo, Florence. Bahkan pada satu fase ia sempat tinggal lama di Sisilia. Di fase inilah karier kesenimanannya mulai semakin diperhitungkan.

Syahdan, perlahan namanya kian populer. Laku keseniannya jauh dari kuldesak. Bahkan ia sempat keliling seluruh Italia hingga Perancis selama proses kariernya. Terkatrol jam terbang dan bakat terampilnya, gaung namanya semakin mengudara sampai lingkaran kekaisaran. “Reputasi Giovanni Angelo Montorsoli sebagai asisten berbakat Michelangelo membawanya ke perhatian istana Andrea Doria (1466-1560), laksamana sohor dan penguasa Genoa. Selama berabad-abad, Genoa telah menjadi penghubung maritim antara Italia dan Spanyol, dan kota ini juga menyediakan saluran bagi karya Montorsoli untuk memasuki lingkaran kaisar romawi suci Charles V sebagai bagian dari dialog komersial dan politik antara Genoa dan monarki Hapsburg.”, tulis Sergio Ramiro Ramirez dalam bukunya “The Sculpture of Giovan Angelo Montorsoli and His Circle: Myth and Faith in Renaissance Florence”.

Memasuki periode 1530-40an, tepatnya tahun 1538, ia tiba di Genoa. Mendapat komisi langsung dari Andrea Doria untuk mengerjakan patung sang condottiere pada bagian depan Palazzo Ducale; patung air mancur gereja; patung untuk keluarga Doria dan juga kaisar Charles V; dan juga beberapa potret tokoh-tokoh penting. Ia juga sempat mengerjakan lima figur patung dalam Apse; David, St John the Baptist, the Pietà, St Andrew, Jeremiah, sebagai dekorasi gereja San Matteo dan dianugerahi program patung dari gereja tersebut.

Statues in the Apse, San Matteo Church, G. A. Montorsoli, c. 1541

Pada periode ini (1539-1547an) kecenderungan estetika Montorsoli mulai terlihat—lihat relief Trophies (1540) dan Air Mancur Triton (1543) yang dikerjakannya untuk Villa del Principe. Kendati dalam beberapa karyanya Montorsoli masih mengadaptasi gaya figural monumental Michelangelo, yang lebih didorong oleh karya Perino del Vaga di Genoa, dan juga masih kental nuansa florentine.

Di samping kekaryaannya yang semakin prominen, Montorsoli juga merupakan sosok sentral dalam pendirian Accademia delle Arti del Disegno (1550-1560an), yang merupakan akademi seni dan desain di Florence. Ide awalnya muncul ketika Montorsoli mulai bergabung dengan Ordo Servite di Gereja Santissima Annunziata. Saat itu ia memiliki keinginan untuk menghidupkan kembali Compagnia yang berada di San Luca, yang telah lama bubar. Berkat kedekatannya dengan Vasari, ide ini akhirnya sampai ke telinga Duke Cosimo I, Adipati Agung Toscana. Bak gayung bersambut, Sang Duke setuju dengan gagasan itu. Hingga pada 13 Januari 1563 undang-undang terkait akademi itu dibuat. Pada rentang periode ini juga lah—seperti yang telah disinggung di awal tulisan ini—Montorsoli melahirkan salah satu karyanya yang menjadi anomali dalam sejarah renaisans: Angels in Adorations.

Kemegahan yang Usang

Gaya seorang seniman terletak dalam paduan alam di mana ia hidup dan orang-orangnya, lalu stabilisasi politik yang merangsek terhadap perubahan yang terus-menerus. Montorsoli tentu berada dalam tempuran perubahan; di antara dua nilai yang selalu berkonflik; antara pengagungan dan pengingkaran. Namun, kekaryaannya mungkin bisa dibilang progresif (avant-garde) pada zaman itu. Kecenderungannya untuk mengingkari keagungan estetika renaisans—entah disadari atau tidak—bukanlah hal yang lazim. Apalagi menggantinya dengan estetika yang baru; yang lebih “jelek”; yang vulgar; dan tentu saja; yang tidak mencerminkan warisan renaisans.

Angels in Adoration adalah salah satu wujud pengingkarannya. Sebuah karya pahat/patung-relief dengan objek dua malaikat bersayap yang kedua tangannya disilangkan di depan dada ini diukir olehnya sekitar tahun 1550, yang sekarang menjadi koleksi museum Brooklyn. Ketika menengok karya patung, catatan kritis Rosalind Krauss (1979) di sini perlu diperhatikan, bahwa, “pada karya seni patung, seperti halnya konvensi lainnya, memiliki logika internalnya sendiri, seperangkat aturannya sendiri, yang, meskipun dapat diterapkan pada berbagai situasi, tidak dengan sendirinya terbuka untuk banyak perubahan. Logika seni pahat tidak bisa dipisahkan dari logika monumen. Berdasarkan logika ini, patung adalah representasi peringatan. Ia berbicara dalam bahasa simbolis tentang makna atau peristiwa atas penggunaan tempat itu.”

“Kita bisa lihat patung penunggang kuda Marcus Aurelius, yang juga merupakan sebuah monumen, terletak di tengah Campidoglio yang secara simbolis menghadirkan kisah hubungan antara masa kuno, Kekaisaran Roma dan pusat pemerintahan modern, dan Renaisans. Atau patung Pertobatan Konstantinus karya Bernini, yang ditempatkan di kaki tangga Vatikan yang menghubungkan Basilika Santo Petrus dengan jantung kepausan merupakan salah satu monumen serupa, yang juga hadir sebagai penanda di tempat tertentu untuk makna/peristiwa tertentu. Karena mereka berfungsi dalam kaitannya dengan logika representasi dan penandaan, patung biasanya figuratif, alasnya merupakan bagian penting dari struktur karena mereka menengahi antara yang aktual dan tanda representasional.”, tulis Krauss.

Secara fisik, ada satu hal yang sangat menarik perhatian dari patung Angels in Adoration ini, ia sengaja diukir dengan bentuk yang sangat canggung, tidak seperti imaji malaikat pada masa itu, sangat tidak terlihat seperti karya-karya Montorsoli lainnya—pun tidak seperti karya masa renaisans pada umumnya. Sosok malaikat memiliki tempat yang istimewa dalam sejarah seni renaisans, bahkan nyaris selalu ada. Hal ini tentu saja memunculkan pertanyaan lanjutan: Mengapa sosok malaikat selalu muncul dalam karya seni masa renaisans? Dan mengapa bentuknya selalu berbeda-beda? Representasi apa yang ingin disampaikan para seniman melalui sosok malaikat?. Michael Cole dalam Are Angels Allegories? memiliki salah satu jawabannya:

Representation of an angel is a dissemblance: its human form is not its nature, it is just the only thing humans are capable of seeing. even into the 1560s, this seems to have been a position that writers on images could take. The decrees on images that emerged from The Council of Trent in 1563 state that, “if at times it happens, when this beneficial to the illiterate, that the stories and narratives of the Holy Scriptures are portrayed and exhibited, the people should be instructed that not for that reason is the divinity represented in pictures as if it can be seen with bodily eyes or expressed in colors or figures.

Malaikat renaisans umumnya tidak memiliki atribut yang jelas—dengan atau pun tanpa sayap. Dan meskipun ini tampak seperti perubahan artistik, mungkin dalam banyak kasus justru sebaliknya, adalah sebuah upaya untuk tetap setia pada otoritas Alkitab. Kita bisa lihat pada patung Little Angel with Dolphin (1470) karya Andrea del Verrocchio, The Sistine Madonna-nya Raphael (1512) lukisan Bow-carving Amor (1535) karya Francesco Mazzola, hingga Ecstasy of St. Teresa-nya Bernini (1652) di Cornaro Chapel. Secara umum, kehadiran sosok malaikat sering dimaknai sebagai penanda bahwa era kegelapan telah usai dan pencerahan telah datang. 

Kembali ke patung Angels in Adoration, melalui ketidaksempurnaan bentuknya, Montorsoli secara simbolis seolah ingin melepaskan diri dari interpretasi yang telah melekat pada figur malaikat masa itu dengan bentuk-bentuk harmonisnya dan melakukan pembalikan radikal atas kesempurnaan estetika warisan Renaisans Italia yang telah usang. Seperti yang dijelaskan oleh Blake Gopnik dalam ulasannya di Artnet.

Montorsoli’s gloriously clumsy, burly sculptures give the lie to the notion that the Italian Renaissance was about a commitment to “beauty” (whatever that is) that we’ve since lost. Look closely at Renaissance art, and you’ll see as much interest in the anti-aesthetic as you would in any 21st-century biennial. We just can’t recognize it, because the passage of time eventually aestheticizes anything old.

I wonder if that same phenomenon might just be the source of Montorsoli’s peculiar figures. Looking back in time for the supposed “perfections” of Greek and Roman culture, he may have come across sculptures from the fading years of the Western Roman Empire, and decided to root his own work in their bold awkwardness. The pedigree and age of such late-Antique art allowed Montorsoli to recast its failings as virtues.

Angels in Adoration juga bisa dibaca sebagai kenakalan seniman untuk mengganggu kemapanan doktrin “keharmonisan anatomis” masa itu yang cenderung memuja kesempurnaan bentuk alih-alih ekspresi kejujuran dan kesederhanaan. Melalui penghadiran sosok malaikat kekar dengan anatomi yang sangat kikuk, ia bak menyuguhkan cermin lain yang lebih merefleksikan kenyataan meski terlihat buruk dan tidak sempurna, namun justru itulah keindahannya; yakni kebenarannya. Pembacaan ini selaras dengan apa yang pernah ditulis Saint Agustinus dalam De Natura Boni, bahwa keindahan karya seni merupakan refleksi (walaupun pucat). Dia membahas karakter formal gambar, sering kali dalam istilah yang menunjukkan keprihatinan agamanya. Bahwa hitam itu jelek, tetapi jika digunakan dengan cara yang benar itu indah, sama seperti alam semesta yang indah, meskipun mengandung orang berdosa, yang jelek.

Karya ini juga menjadi menarik karena ia lahir ketika para seniman-seniman era itu sedang menghadapi situasi di mana Duke Cosimo I dan istananya menegaskan kontrol yang kuat atas produksi artistik dan juga ketika mannerism sedang berjaya. Stephen Campbell (2004) melalui penelusurannya dalam Counter Reformation Polemic and Mannerist Counter-Aesthetics menemukan bahwa, Mannerisme, gaya artistik yang mendominasi seni Florentine saat itu memiliki hubungan yang “harmonis” dengan disiplin desain (disegno), sebagian besar mengasumsikan bahwa ada keselarasan—yang dipaksakan—antara keinginan patron penguasa dan agenda kreatif seniman, hal ini mereduksi karya seni mannerist menjadi sekadar ilustratif atau ornamental-dekoratif dalam peranannya terhadap kekuasaan. Dalam merepresentasikan visualnya, Sang Duke secara aktif bersaing dengan kekuatan kekaisaran bahkan ketika dia tampak menyanjungnya, sementara pada saat yang sama, dia mengakomodasi memori masa lalu republik Florence untuk lebih melegitimasi rezimnya dan membangun hegemoni politik dan budaya.

Campbell berpendapat bahwa diperlukan “a sense of critical potential” dan mengajukan kembali pertanyaan tentang Mannerisme sebagai reaksi terhadap ketegangan dan kesulitan sejarah. Masih dalam studinya, Campbell juga menyebut, Mannerisme pernah dijuluki “gaya Cosimo I,” yang secara terselubung memungkinkan koeksistensi makna politik dan agama beriringan secara simultan. Faktanya, kompleksitas visual dan ambiguitas yang menjadi ciri khas mannerist bisa memiliki keuntungan politik yang berbeda.

Potensi untuk menginvestasikan citra yang multi-makna ini memungkinkan seniman untuk menyamarkan karyanya—dan niatnya—dan dengan demikian menjadi mungkin bagi seniman mengalihkan beban mengartikulasikan makna yang berpotensi subversif kepada yang melihat karyanya. Dan pada gilirannya, ambiguitas visual “Cosimo I” (Florentine) dapat menawarkan perlawanan terhadap apa yang sebagian besar tampak sebagai “yang indah”, yang tak lain adalah hegemoni ideologis dari konformitas absolut penguasa.

Montorsoli mungkin bisa disebut salah satu seniman yang bermanuver memanfaatkan warisan estetika Florentine dan menjungkirbalikkannya dengan cara menghancurkan bentuk-bentuk anatomis sekaligus memaknainya kembali dalam Angels in Adoration. Di sini peringatan Derrida dalam Of Grammatology, yang dikutip oleh Susan Best dalam artikelnya Minimalism, Subjectivity, and Aesthetics: Rethinking the Anti-Aesthetic Tradition in Late-Modern Art menjadi penting, “bahwa seseorang selalu mendiami [struktur yang ingin dihancurkannya], dan terlebih lagi ketika seseorang tidak mencurigainya.”

Meski Montorsoli bukanlah seorang revolusioner, melalui kepekaan inderawinya ia mungkin menyadari bahwa keindahan, dalam kasus tertentu, merupakan bentuk ketidakadilan. Dengan demikian, harus dihancurkan dan diperbarui. Maka, tanpa sikap pemberontakan yang konkret, rekonsiliasi menuju kebaruan tak mungkin bisa terjadi. Karenanya, Angels in Adoration, dalam hal ini, adalah salah satu bentuk pemberontakan terhadap keindahan, bahkan terhadap seni itu sendiri. Atau jika diintip melalui perspektif modern, Angels in Adoration merupakan pengejawantahan estetika anti-estetika pada masa renaisans. Dalam konteks tertentu bisa disejajarkan dengan tradisi seni rupa pasca-perang: yang sama-sama memiliki tendensi untuk menolak estetika, sama-sama memiliki nafas untuk menghancurkan status quo dan melakukan pembaruan.

Maka berdasarkan penjabaran di atas, tidak berlebihan kiranya untuk menyebut Angels in Adoration—meski telah berusia lebih dari lima abad—sebagai salah satu karya yang melampaui zamannya, salah satu kecanggungan dalam sejarah renaisans yang menolak warisan renaisans itu sendiri.*

Sumber Gambar:

Pair of Angle Bearing Candle, Mutual Art Net
Angels in Adoration, Montorsoli, Brooklyn Museum
Statues in the Apse, Montorsoli,  Gallery of Art

Sumber Bacaan:
Agustinus, St. 1955. Natura De Boni. (Terj. Albian Anthony Moon). Catholic University of America Press.
Arico, N. 2013. Architettura Del Tardo Rinascimento in Sicilia: Giovanngelo Montorsoli A Messina, Architettura del tardo Rinascimento in Sicilia: Giovannangelo Montorsoli a Messina (1547–57). Letteratura Paleografia: Florence.
Bast, S. 2006. Minimalism, Subjectivity, and Aesthetics: Rethinking the Anti-Aesthetic Tradition in Late-Modern Art. Journal of Visual Art Practice, 5(3): 127-142
Campbell, S. J. 2004. Counter-Reformation polemic and Mannerist Counter-Aesthetics, Res. 46: 100.
Cole, M. All Angels Allegory?. Art History Columbia University
Krauss, R. 1979. Sculpture in the Expanded Field. October, 8: 31–44.
Laurenza, D. 2012. Art and Anatomy in Renaissance Italy: Images from a Scientific Revolution. MetPublications.
Ramirez, S. R. 2018. The Sculpture of Giovan Angelo Montorsoli and His Circle: Myth and Faith in Renaissance Florence. Academia.

Catatan Editor:
Artikel ini tidak sepenuhnya merefleksikan opini editor ataupun direksi antimateri. Penulis dapat dihubungi melalui illustruth@gmail.com 

Share on:

Leave a Comment