“Apa makna perjalanan bagi manusia?
Kucing siam tidur di bawah purnama.”
—Gurindam 12, Ahmad Yulden Erwin
“Kau lihat, anakku, ke arah tiang tinggi Metropole itu.
hari depan dihampang dengan selembar karcis tontonan.
Dan dalam ruangan ini aku mainkan lagu tentang pelayaran
agar kau tahu, kita musti terus berjalan, menghadang angin
buruk demi angin buruk, menerabas pintu batu demi pintu batu.”
—Di Seberang Metropole, Esha Tegar Putra
Hidup memang seperiuk tahi dan kita tak henti menaburkan aneka acar di atasnya. Imperatif Vonnegutian itu barangkali bakal senantiasa lekat dengan situasi sekarang. Di tengah kota-kota yang terus-menerus menguarkan aroma kematian pada setiap kelokan. Di sela-sela kejumudan karantina yang tak memberi banyak pilihan. Dan ketika itu pula maut tak selalu datang dengan sabit berkilat dan jubah hitam yang kerap menyembunyikan muka. Ia bisa mendatangi orang-orang yang kau cintai dengan sesuatu yang bahkan tak pernah kau kira.
Tak mesti menjadi Don Quixote dari distrik Mancha untuk menggelar karnaval kegilaan. Tak mesti juga menempuh perjalanan kekesatriaan yang luhung bersama seorang Sancho Panza dan Keledai tunggang bernama Rocinante. Apalagi mesti direpotkan dengan gejala-gejala skizofrenik, baju zirah, dan sepatu lars berlumut. Untuk sekadar merayakan banalitas hidup secara purna, tak perlu untuk hidup dalam epik majenun imajinatif yang dikisahkan sahibul hikayat Sayid Ahmad Benegeli itu—terlebih ketika pandemi kini mendera.
Jauh hari sebelum pandemi datang, tepatnya pada satu malam bertudung gemintang di Pamulang, saya pertama kali bertemu dengan Hakim. Kami berjumpa di petak kontrakan seorang kawan seusai menonton helatan British Night di kampus UIN Ciputat. Dengan persona sedingin lautan arktik dan gaya bertutur yang bisa jadi bakal membuat kantuk siapapun yang baru ditemui, awalnya obrolan kami tak beranjak ke mana-mana. Hingga akhirnya ketika Hakim menyebut bahwa dia adalah rekan sekantor dari Wing Narada ( MVRCK) dan mengerjakan proyek-proyek auditif, serta mulai berbagi gundukan referensi tentang musik yang dia dengar: barulah obrolan kami terasa begitu larung hingga saya sendiri tak sadar telah menghabiskan dua gelas kopi malam itu.
Berjejal hal saling susup dalam obrolan saya dengan Hakim kala itu. Dari mulai tentang pipa organ gereja yang dipakai Hans Zimmer untuk music scoring film Interstellar, sitar macam apa yang dipakai kuintet jazz padang pasir jebolan Anti-Records yakni Tinariwen, tradisi sampling dalam musik elektronik maupun hip-hop, musikalisasi puisi, pendedahan akan lirik-lirik lagu Cat Police, hingga proyek musik yang tengah dia garap. Tak terasa kala itu malam mulai melisut. Lelah dan kantuk sudah mulai menyatroni. Pertanda kami mesti beristirahat sesegera mungkin. Hakim dan kawan lain pamit pulang dengan meninggalkan banyak hal yang mungkin bakal lebih menarik dibahas ketika bertemu kembali.
Terbukti ketika Hakim sendirian datang kembali beberapa pekan setelahnya dengan memboyong synth hibrida Arturia Microfreak ke kosan. Berbekal salah satu perkakas masak andalannya dalam memproduksi musik itu, saya berkesempatan mengobrol kembali dengan Hakim tentang banyak hal. Tentu saya tidak menyia-nyiakan kesempatan barang secuil pun. Apalagi jika bukan untuk menodong Hakim lebih dalam ihwal korpus musiknya, dan sedikit main-main dengan merakit komposisi sebuah musik lewat synth hibrida yang acapkali dipakai oleh banyak musisi eksperimental. Pengalaman yang nyaris sama ketika pertama kali memainkan video game favorit semasa masih kanak.
Obrolan kami dibuka dengan pengalaman auditif mendengarkan album Further Agenda dari MVRCK, yang dirilis via Hantu Records pada 19 Juli 2019 silam. Kebetulan saya berkesempatan memoderasi diskusi peluncuran album MVRCK itu di pra-event Festival Kampung Kota Tamansari, beberapa bulan sebelum aparat yang dikerahkan oleh pemerintah kota Bandung meratakan seluruh rumah warga RW 11 Tamansari. Saya dan Hakim setuju bahwa Further Agenda adalah sebuah album yang pepat dengan eksperimentasi terbarukan. Bukan hanya segar dalam perkara materi, dengan zine pendamping yang memuat tulisan-tulisan kontributor tentang interpretasi sebelas komposisi dalam album, tentu menghadirkan pelbagai penafsiran yang berkelindan kuat dengan konteks maupun situasi terkini kala itu. Begitu ungkap saya yang ditimpali Hakim tak jauh beda.
Di saat itu juga Hakim memberitahu saya bahwa dia tengah menggarap album yang bakal jadi debutnya. Jelas saya semakin penasaran akan seperti apa materi keseluruhan dari debut album Hakim. Pasalnya sebagai seorang produser musik yang dahulunya tergabung di sebuah band pop-punk, menggandrungi sastra, menyukai musik-musik eksperimentatif, dan candu akan lirik-lirik melankoli: membuat kepala saya tak henti membayangkan sekujur album yang dirembesi pelbagai corak maupun pola rakitan yang segar. Hanya satu nomor preview yang dia perdengarkan kala itu. “Sisanya masih dimasak,” pungkas Hakim.
Singkat waktu sekitar dua bulan berlalu dari pertemuan terakhir, Hakim mengabari bahwa albumnya akan segera rampung. Bahkan yang tak pernah saya kira sebelumnya, Hakim mengajak saya untuk menuliskan sebuah catatan pengantar maupun liner-notes untuk debut albumnya itu. Sepuluh nomor lengkap dengan klip pengiring visual, dia kirimkan pada saya. Dan prediksi yang telah jauh hari saya bayangkan tentang debut album Hakim itu, hampir tak melenceng sedikit pun. Bukan hanya kepalang senang karena Hakim mampu merampungkan debut albumnya itu. Melainkan suatu kehormatan juga untuk menuliskan liner-notes atas sebuah album yang digarap dengan etos dan juga energi yang tak main-main.
Irama Sirkadian, begitu Hakim menamai albumnya. Di debut album Irama Sirkadian pula Hakim memakai nama Biner sebagai moniker. Menurut Hakim, nama Biner dipakai karena terinspirasi dari kata “biner” itu sendiri yang menjadi algoritma dasar. Kemudian membentuk ragam pecahan matematis—atau jika dilihat relevansinya dengan kehidupan—yang menjadi contoh mendasar dari dualisme. Di mana menurut Hakim hal itu lekat sekali dengan kehidupan sehari-hari. Tema utama yang kemudian menjadi pondasi gagasan dalam album Irama Sirkadian.
Biner sendiri mulanya adalah sebuah proyek musik solo elektronik yang dibentuk pada tahun 2018 oleh Hakim. Pada awalnya Biner bernama Platonic (2015-2017) yang tampil pada panggung literasi dengan bentuk kolaborasi antara musik, sastra, dan performance art. Hingga akhirnya mengubah nama menjadi Biner sekaligus mengubah konsep yang tidak akan pernah fokus dalam satu jenis musik atau performance art apapun. Melainkan akan selalu memereteli konsep serta fragmen keseniannya setiap saat.
Entah pertaruhan-pertaruhan macam apalagi yang telah direngkuh Biner, terlebih untuk melewati hari-hari yang perih-sesak dengan sepuluh komposisi yang disajikan dalam album. Yang jelas ketika pertama kali disuguhkan semua materi preview album, frasa “irama sirkadian” yang tak lain adalah istilah dari sebuah proses internal serta alami yang mengatur siklus tidur-bangun yang diulangi kira-kira setiap 24 jam, begitu berkelindan dengan komposisi-komposisi yang dirakit oleh Biner. Satu pekan ketika masa karantina tersebab pandemi, saya masih tak beranjak dari sepuluh nomor Irama Sirkadian. Tercenung di hadapan laptop yang memutar semua klip setiap lagu menjadi perkara hipnotik yang saat itu saya nikmati.
Irama Sirkadian tersusun atas sepuluh komposisi minimalis kontemporer maupun old skool dengan rakitan bebunyian eksperimental alternatif. Biner seakan mengeksplorasi bebunyian synth circa ’80, rautan semi-modular noise, dan analog-filter yang dimasak melalui Microfreak. Sisanya barangkali Biner menambahkan corak sound pop / alternatif era 2000-an pada palet suaranya. Dengan berbekal kuas-kuas auditif itu, Biner meminjam ruh komposisi dari Nick Drake hingga Scott Walker, dari Steve Reich hingga Max Ritcher, bahkan tak luput dari perbendaharaan diskografi Ben Clementine hingga kampiun komposer eksperimental-melankoli yakni Bon Iver. Di antara sepuluh komposisi yang termaktub dalam Irama Sirkadian, ada tiga lagu yang berkolaborasi dengan musisi lain. Ketiga nomor yang dimaksud adalah “Dalam Lautan Iman”, “Eureka”, serta “Up and Away”. Tujuh lagu lain sisanya adalah nomor nir-lirik sekaligus eksperimentasi Biner dengan berbagai palet suaranya seperti yang telah disebutkan di atas.
Ada tiga perkara krusial yang membuat sebuah album itu bisa dikatakan sebuah produk artistik yang bagus, jika bukan malah mumpuni terlepas dari kredo seni manapun. Pertama jelas berada di medan pertukangan atau aspek craftmanship yang berkaitan dengan upaya perakitan teknis auditif. Sejauh mana sang kreator menghadirkan eksperimentasi terbarukan, mendobrak konvensi artistik, serta mengoptimalkan perkakas-perkakas yang dia punya untuk menghasilkan sebuah karya. Kedua, adalah medan ide atau gagasan yang lesap dalam nomor ketengan atau bangunan keseluruhan album. Dan terakhir, tentu saja adalah konteks. Sejauh mana sebuah karya mampu meringkus zeitgeist dan dibenturkan dengan realitas serta situasi sosial-politik, ekonomi, maupun budaya.
Dengan komposisi musik yang berteraliskan bebunyian eksperimentatif itu, Biner seakan melarung diri dalam kebisingan zaman dan kerangkeng modernitas. Dihadapkan pada sengkarut permasalahan keseharian, hingga tak ayal vis-a-vis dengan pion-pion kekuasaan. Apalagi ketika wabah pandemi yang saat ini mengobrak-abrik siklus sosial. Ketika oportunisme negara dan menguatnya otoritarianisme, kegelisahan eksistensial kian terpampang nyata. Siklus kegelisahan sehari-hari itulah yang barangkali berusaha ditangkap oleh Biner dalam album Irama Sirkadian.
“Dalam Panca Budi Indriya” ditaruh sebagai nomor pembuka album Irama Sirkadian. Nomor awal yang seakan berbicara tentang bagaimana manusia sadar, berekspresi, dan mencoba mengemas diri lewat panca inderawi itu, nomor dengan mood serta balutan synth mengancam itu seakan menjadi pembuka pintu yang pas untuk nomor-nomor lain di album Irama Sirkadian. Dilanjutkan oleh nomor “Dalam Moralitas Urban” di mana Biner seperti mengajak Justin Vernon dan Ben Clementine menyusuri modernitas yang selama ini memengaruhi moral serta mayoritas masyarakat dalam mendefinisikan identitas individu maupun kolektif.
Di nomor lain seperti “Dalam Humanisme Melankolia”, “Dalam Putaran Kapital”, “Dalam Ritme Pandemi”, “Dalam Rute Media”, atau “Dalam Lautan Iman”; Biner melucuti pelbagai permasalahan itu dengan katana bedah yang dia punya. Komposisi-komposisi yang tak lepas dari saling susup balutan melankoli, kegelisahan, hingga spektrum mood lewat sisipan varian synth, menjadi paduan yang membuat Irama Sirkadian bukan hanya sebagai lulabi pengantar tidur, melainkan pengingat akan perang keseharian.
Terselip gagasan Capitalist Realism-nya K-Punk dalam nomor “Dalam Putaran Kapital” serta “Dalam Ritme Pandemi”. Nomor ini begitu lekat dengan situasi terkini, apalagi jika menengok pada kasus bagaimana masyarakat kelas menengah Jakarta berduka ketika McD Sarinah ditutup. Ketika masyarakat di tempat lain mati kelaparan karena tidak bisa menyambung hidup tersebab pandemi, tidak bisa ke luar karena ajal mengintai setiap waktu, serta tidak bisa pulang ke kampung halaman saat lebaran karena kebijakan karantina wilayah; masyarakat kelas menengah Jakarta yang menasbihkan diri pada gerai restoran cepat-saji multinasional, seolah bebal dan menutup mata serta telinga akan kondisi itu, lantas memilih mendatangi komemorasi di parkiran.
Tak berhenti di situ. Di nomor lain seperti “Dalam Moralitas Urban”, ada gagasan The Society of the Spectacle dari Guy Ernest Debord yang diseret Biner ke kantung ide lagu itu. Belum lagi jika sedikit mendedah “Dalam Humanisme Melankolia”, kita akan dengan mudah menemukan Erich Fromm yang lesap di sana. Yang paling kentara dari semua penjudulan lagu di album Irama Sirkadian, Biner seakan melakukan rip-off dari bagaimana Nietzsche menulis tiap babakan Zarathustra. Fragmen tercecer namun saling berkaitan satu sama lain, serta teknik aforisma yang melatari lirik di nomor kolaborasi.
Di tengah konstelasi musik lokal hari ini, memang semakin banyak musisi elektronik yang mengeksplorasi instrumen lewat pelbagai tekstur bebunyian. Sebagian dari kita barangkali pernah berkerut-dahi ketika mendapati pink-noise yang memantik perdebatan itu. Hadir bersamaan dengan vocoder, modular synthesizer, hingga kawin silang DIY instrumen etnik elektronik. Dengan tipikal musik seperti ini, banyak musisi maupun produser menjadikannya sebagai kuda troya untuk mengkritik dan merepresentasikan sesuatu. Album Raja Kirik dari Yennu Ariendra dan J Moong Santosa Pribadi misalnya yang membahas sejarah kekerasan di Banyuwangi dengan sangat konseptual. Dan lagi-lagi mesti menyebut Further Agenda dari MVRCK yang membungkus pelbagai ketakutan akan hidup di tengah kota dengan sangat apik. Tak terkecuali dengan Biner lewat album Irama Sirkadian.
Lewat sepuluh nomor di album Irama Sirkadian, Biner bukan hanya mengajak kita bertamasya pada wahana eksperimentasi yang telah dia buat. Melewati kersik demi kersik imaji yang berserakan di dalamnya. Menuruni jelaga tanpa sedikit pun niat untuk mengalmarikan hasrat serta gairah akan hidup. Mendiangkan kaki di sebuah kompartemen hangat yang mampu menyeretmu pada ingatan masa kanak. Bagi seseorang yang menjadikan album Bryter Layter dari Nick Drake sebagai kitab kuning dalam ibadah artistiknya, Biner nampaknya tahu bagaimana merayakan banalitas hidup secara purna. Ketika setiap kelokan yang dilewati seakan memperlihatkan paras orang mati, ketika hari-hari yang dijalani kian menguarkan bau jurang dan jamur, di saat itulah Irama Sirkadian mengalun pelan, di antara bayangan maut dan sujud paling tunjam.
_______________________________________________________________
Tulisan ini dibuat sebagai liner-notes untuk album Irama Sirkadian. Ditulis beberapa hari setelah Florian Schneider dari Kraftwerk mangkat. RIP.
Lahir di Bandung, Juni 1996. Redaktur kolom musik Metaruang. Kontributor Journo Magazine. Penulis C-45 “Demi Masa, Kapsul Waktu, dan Nostalgia Radikal” (Elevation Books, 2019).