Liberasi Musik Edgard Varèse

Di Indonesia, musik Edgard Varèse mungkin hanya dikenal oleh musikologis atau segelintir orang iseng yang menikmati musik dari sudut kurang biasa. Namun, sebuah fakta mengejutkan muncul ketika menggali lebih dalam tentang sang musisi eksentrik ini, yaitu bahwa gejala ‘kurang dikenal’ tersebut bukan hanya menjangkiti Varèse seorang, tapi melanda satu generasi musisi eksperimentalis yang berkiprah pada kisaran tahun 1920an. Generasi tersebut lahir diantara dua perang dunia (interwar periode)–sebuah masa ketika mimpi dan harapan hanya datang sekelebat saja. Elliot Carter (1979) menyebut mereka sebagai “unjustly forgotten group of experimental composer of the 20s”, bersama Varèse terdapat nama lain seperti Arthur Lourie, Wladimir Vogel, dan Nicolas Obouhov dari Rusia; Henry Cowell, Carl Ruggles, dan Leo Ornstein dari Amerika; juga Amadeo Roldán dari Kuba hingga Alois Hába dari Reublik Ceko. Carter juga mengungkapkan bawah hampir seluruh eksperimentalist dari era tersebut hilang jejak dalam perkembangan musik setelahnya. Namun lain halnya dengan Edgard Varèse, musisi paling meminta perhatian diantara generasinya karena ia berhasil menemukan pola pikir baru dalam cara dan struktur musik. Atas kiprahnya, Varèse memiliki tempat tersendiri sebagai jembatan antara generasi musisi ekspresionist sebelum perang dunia seperti Arnold Schoenberg dan Igor Stravinsky, dan memberi pengaruh pada kelahiran threnodi paska bom atom seperti karya Krzysztof Penderecki. Pandangan musiknya lalu dikaji kembali ketika produksi musik memasuki era komputerisasi (Risset, 2004)–sehingga kini, namanya menjadi simbol pengingat bagi generasi musisi eksperimentalis dan pelopor musik elektronik yang terlupakan.

Selain komposisinya,  terdapat alasan lain mengapa Varèse mampu meninggalkan jejak mendalam pada perkembangan musik, yaitu melalui artikel berjudul The Liberation of Sound (1966). Diedit dan dilengkapi oleh Chou Wen-chung, artikel tersebut menjadi catatan kaki atas gagasan musik Varèse. Ada baiknya pendengar membaca The Liberation of Sound sebagai pengantar pada “dunia suara” baru yang dibangun oleh Varèse.  Tulisan kali ini pun bertujuan kearah sana: mengulas tentang The Liberation of Sound untuk memberikan semacam ”persiapan keselamatan” (safety measure) untuk menghadapi kejutan musik yang akan didengar. (Walaupun, seperti halnya prosedur keselamatan pada pesawat terbang, persiapan seperti apapun akan sia-sia ketika ‘kejutan’ datang). The Liberation of Sound sendiri terdiri dari empat bagian. Dengan segala keterbatasan pengetahuan akan struktur musik, gagasan Varèse akan saya ulas menggunakan pendekatan anarkis.

Massa Suara, Instrumen dan Gagasan Baru

Gagasan baru Varèse dimulai dari gerutunya dalam sebuah kuliah umum, ia berujar: “Why Italian Futurists, have you slavishly reproduced only what is commonplace and boring in the bustle of our daily lives”. Gerutu tersebut lantas ia terjemahkan dalam sebuah penolakan pada pola komposisi dan penggunaan instrumen baku sehingga Varèse dikenal sebagai pionir yang membedah sound masses[1] (massa suara) layaknya seorang dokter yang tengah menjalankan oprasi di meja bedah. Ketika ditanya tentang definisi musik sendiri, Varèse mengutip Hoene Wronsky: “music as the corporealization of the intelligence that is in sound”. Menurut Varèse, tantangan terbesar untuk mengembangkan massa suara adalah karena keberadaan berbagai macam instrumen dan alat teknis yang membuat suara yang dihasilkan tidak lagi intens dan tanpa proses intelektual. Bisa saja nada atau melodi yang dihasilkan sama, namun warna, intensitas dan massanya akan berbeda. Atas permasalahan ini, Varèse memberikan jawaban melalui pendekatan baru dalam penggunaan instrumen. Ia berpendapat, bukan instrumennya yang menentukan komposisi, namun gagasan musisi atas instrumen tersebut. Realisasi argumen ini akan terlihat jelas dengan melihat (bukan hanya mendengar) komposisi Varèse dimainkan. Sebuah Celo, misalnya, dalam komposisi Varèse akan dimainkan melebihi fungsinya (bisa saja dipukul atau dipetik, sesuai selera sang musisi), untuk memunculkan intensitas yang diinginkan.

Musik sebagai Seni-Sains

Gagasan kedua yang dihadirkan Varèse muncul dalam ungkapan terkenalnya: Music as An Art-Science. Namun, ungkapan ini ternyata menyimpan ironi, karena sesinis-sinisnya Varèse pada para futurist dan para ekperimentalist noise dengan menyebut mereka “membosankan dan hanya membuat musik keseharian”, disisi lain, Varèse ikut merayakan kehadiran mesin sebagai instrument musik. Menurutnya, mesin sebagai hasil sains memberi jalan bagi kehadiran seni yang “humanly impossible”–melampaui batas-batas manusiawi. Ia tidak menafikkan bahwa seni musik diperluas oleh penggunaan mesin sebagai instrumen, ungkapnya: “the machine would be able to beat any number of desired notes, any subdivision of them, omission or fraction of them, new harmonic splendors obtainable from the use of sub-harmonic combinations; the possibility of obtaining any differentiation of timbre”.

Ritme, Bentuk dan Konten

“My fight for the liberation of sound and for my right to make music with any sound and all sounds has sometimes been construed as a desire to disparage and even to discard the great music of the past”. Varèse membuka gagasannya tentang ritme, bentuk dan konten dengan menyatakan perlawanan pada masa lalu. Untungnya Varèse bukanlah anak kemarin sore yang naïf untuk melakukan pembaharuan tanpa memahami akar dan pengaruh dari musisi terdahulu–dengan kata lain, ia sepenuhnya sadar bahwa pembaharuan musik akan selalu mengacu pada konsep yang sudah ada. Lalu apa yang baru dalam karya Varèse? Dalam The Liberation of Sound, setidaknya ada tiga pembaharuan musik yang ia sasar, yaitu pembaharuan pada ritme, bentuk dan konten. Berikut penjelasannya: (1) Ritme adalah elemen dalam musik yang memberinya kehidupan dengan mengikat berbagai elemen lainnya. Ritme adalah elemen stabilitas, sebuah generator bentuk. Karenanya, memperbaharui ritme akan memperbaharui musik, “as a succession of alternate and opposite or correlative states”; (2) Pembaharuan kedua terkait bentuk. Dalam konsepsi lama, bentuk adalah pola telah diakui menjadi pakem sebuah musik. Varèse memandang hal tersebut sebagai sebuah kesalahpahaman karena menurutnya: Form is a result-the result of a process. Oleh karenanya, Varèse bersikukuh untuk memberikan bentuk terbuka bagi setiap komposisinya. Setiap karya akan menemukan bentuknya sendiri mengikuti proses dari pembuatan music itu sendiri; (3) Pembaharuan ketiga dilakukan Varèse pada gagasan tentang konten. Ia menyatakan bahwa bentuk dan konten adalah sama, dan tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Hal ini berbeda dari pandangan umum yang menyatakan bahwa keduanya berdiri sendiri. Varèse memandang jika keduanya tidak dipandang sebagai sebua kesatuan, maka massa suara, tidak akan hadir secara utuh.

Medium: Musik Elektronik

Bagian terakhir dalam The Liberation of Sound memberikan penekanan pada musik elektronik. Ia menyatakan: considering the fact that our electronic devices were never meant for making music, but for the sole purpose of measuring and analyzing sound, it is remarkable that what has already been achieved is musically valid. Gagasan inilah yang kemudian diangkat kembali oleh Risset (2004) dalam mengkaji tentang domain digital dan proses komputerisasi produksi musik. Dengan pendekatan sound masses Varèse, Risset mampu membuat sebuah kesimpulan bahwa bukan cara produksi yang kemudian memberi massa pada suara, namun sikap musisi pada instrumen yang dihadapinya. Menurutnya: “Varèse appears as a courageous and demanding figure who stands against easygoing trends, weaknesses, cowardice and stupidity….As Varèse insisted, something in man is not within reach of the oppressive and normative forces: despite conformism, it cannot be tamed, it projects into the future, beyond any material limits”.

Gagasan-gagasan Varèse dalam The Liberation Sound menjadi oasis tersendiri dalam perkembangan musik saat ini. Layaknya pengakuan Andre Gide: “When I read Rimbaud or the Sixth Song of Maldorer, I am ashamed of my own works and everything that is only the result of culture”–musik pun menjelma menjadi sebuah budaya yang diterima begitu saja, tanpa pemaknaan. Varèse yang bermusik dari sisi pembaharuan dan perlawanan, sangat wajar kehilangan tempat pada generasi yang telah lama menyerah pada pemaknaan. Dan kini, musik hanya menjadi inersia budaya.

(Edgard Varèse, Ionisation)

(Edgard Varèse, Deserts)

Keterangan:
[1] Dalam sebuah karya musik, sound masses adalah hasil gabungan dari teknik komposisi; in preference for texture, timbre, and dynamics as primary shapers of gesture and impact,” obscuring, “the boundary between sound and noise” (Edwards, 2001)

Sumber Bacaan:
Carter, E. (1979). On Edgard Varèse. The New World of Edgard Varèse (A Symposium). Monograph No. 11. New York: Institute for Studies in American Music.

Edwards, J. M. (2001). North America since 1920. Women & Music: A History. Bloomington: Indiana University Press.
Risset, J.C. (2004). The Liberation of Sound, Art-Science and the Digital Domain: Contacts With Edgard Varèse. Contemporary Music Review, 23 (2), hal. 27-54.
Varèse, E.  & Chou W. (1966). The Liberation of Sound. Perspectives of New Music, 5 (1), hal. 11-19.

Share on:

Leave a Comment