Dokter di Masa Wabah (Catatan dari Pavia)

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika wabah akan menjadi keseharian. Ada di depan mata dan enggan kemana-kemana. Buku dan catatan sejarah lantas dikaji ulang: sebagian mencari obat, sebagian mencari cara agar selamat, sebagian mencari kesempatan,–dan bukan tidak mungkin–sebagian lagi mencari karena penasaran. Saya ada dikelompok terakhir: membaca berbagai sumber dan mencoba memahami gerak peristiwa–walau tidak dalam kapasitas menyelamatkan nyawa, tapi setidaknya sebagai upaya menjaga kewarasan. Waras adalah benteng terakhir; mengutip pesimisme Hecker (1846) dalam bukunya The Epidemics of the Middle Ages, “bahwa hampir setiap upaya sia-sia, bahkan ilmu pengetahuan dan seni akan terlihat lemah ketika dihadapkan pada kekuatan alam dari sang wabah”. Namun upaya tidak selamanya gagap, ketika yang lain tanpa daya, dokter di masa wabah turun ke jalanan dan memberi secercah harapan.

Dokter di Masa Wabah (Plague Doctor)

Paul Fürst, engraving, c. 1721, of a plague doctor of Marseilles (Sumber: Wikipedia)

As may be seen on picture here,
In Rome the doctors do appear,
When to their patients they are called,
In places by the plague appalled,
Their hats and cloaks of fashion new,
Are made of oilcloth, dark of hue,
Their caps with glasses are designed,
Their bills with antidotes all lined,
That foulsome air may do no harm,
Nor cause the doctor man alarm,
The staff in hand must serve to show
Their noble trade where’er they go.
(Nohl, 1926)

Kisah tentang wabah dan heroisme para dokter (ataupun tabib dan dukun dalam konteks tradisional) adalah dua sisi pada koin yang sama. Keduanya diberitakan secara bergantian: tadi pagi di halaman surat kabar, juga dalam catatan-catatan masa lampau. Tulisan kali ini secara khusus akan mengulas sebuah catatan berupa arsip komunal dewan kota Pavia, Lombardy, tentang praktik dokter di kala wabah. Deraan COVID-19 ternyata bukan kali pertama bagi kota di Italia utara ini berhadapan dengan wabah; dalam arsip kota tercatat bahwa Pavia berhadapan dengan wabah hitam pada abad ke-15 M dan sebagai upaya mempertahankan harapan, dewan kota Pavia mempekerjakan seorang dokter untuk merawat para pasien terjangkit. Yang kemudian menarik perhatian dari catatan komunal Pavia ini adalah pasal-pasal detil tentang hak dan kewajiban seorang ‘dokter wabah’ (Plague Doctor) kala itu. Rincian ini, selain memberikan gambaran tentang pola pengobatan Italia abad pertengahan, juga sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras para dokter yang menurut Cipolla (1977), bermain Russian roulette dengan nyawanya sendiri.

Uraian Cipolla (1977) tentang dokter pada masa wabah dimulai dengan tuntutan yang diajukan Dr. Maletto kepada dewan kota Torino pada 10 Mei 1630. Sebagai dokter beresiko tinggi, Maretto mengajukan usulan pembayaran gaji di awal–sebuah hal yang masuk akal, karena tidak ada jaminan Maretto dapat menikmati gajinya jika dibayarkan kemudian. Untuk memutuskan tuntutan tersebut, dewan kota Torino lalu merujuk pada catatan komunal Pavia tertanggal 6 Mei 1479 yang mengatur “Syarat-syarat yang disetujui antara komunitas Pavia dengan Dokter medis Giovanni de Ventura untuk merawat pasien terdampak wabah“. Kontrak antara komunitas Pavia dan Master Giovanni (julukuan ini diberikan oleh masyarakat Pavia) mencakup pasal-pasal sebagai berikut:

(1) komunitas Pavia membayar Dokter dengan besaran 30 florin[1] beserta memenuhi kebutuhan sehari-harinya; (2) bayaran diberikan dua bulan sebelumnya; (3) komunitas harus memberikan jaminan atas pembayaran; (4) Dokter wabah (yang kala itu seringkali merupakan imigran) diberikan tempat tinggal;  (5) revisi pasal 2, pembayaran menjadi satu bulan sebelumnya; (6) hak dan kewajiban Dokter wabah yang menyatakan bahwa Giovanni tidak berkewajiban menangani pasien selain pasien wabah; (7) bahwa Giovanni berkewajiban menangani pasien tanpa pembedaan, dan mengunjungi tempat terangkit wabah; (8) jika dokter meninggal dalam tugas tanpa memiliki keturunan, maka pembayaran ditangguhkan; (9) Master Giovanni tidak diperkenankan memungut bayaran kecuali ditawarkan oleh pasien; (10) jika kota Pavia tidak mampu lagi membayar, maka Master Giovanni diperbolehkan meninggalkan tugas tanpa dikenakan sanksi apapun; (11) dewan kota berkewajiban membayar petugas operasi (barber-surgeon[2]); (12) komunitas Pavia berkewajiban menyediakan kebutuhan Master Giovanni dengan kelengkapan untuk mempertahankan hidupnya; (13) penekanan kembali pasal 10, dengan tambahan bahwa seluruh pasal tidak berlaku jika kedua belah pihak meninggalkan kewajiban; (14) Master Giovanni berkewajiban mengunjungi pasien dua kali, tiga kali, atau sebanyak yang diperlukan; dan (15) jika Master Giovanni jatuh sakit, maka gaji yang dibayarkan adalah sejumlah masa ia efektif bertugas.

Kelima belas pasal catatan Pavia diatas merupakan acuan bagi kontrak dokter wabah setelahnya. Cipolla tidak menjelaskan pasal mana saja yang disetujui oleh kota Torino dengan Dr. Maletto, namun ia menekankan bahwa dalam perkembangannya, pasal dalam kontrak dapat ditambahkan atau dikurangi sesuai kebutuhan. Cipolla menguraikan dua tambahan penting yang tercantum dalam catatan komunal Pavia yaitu keberadaan jaringan medis Italia yang telah terkordinir dengan baik sejak abad ke-12 M (termasuk jaringan komunitas dokter wabah yang dapat beroperasi di luar Italia), juga telah terdapatnya institusi yang menjamin pengobatan gratis bagi orang miskin. Adapun topeng paruh burung yang kemudian menjadi simbol dokter wabah, baru “populer” ketika wabah hitam melanda Roma tahun 1656. Ditemukan oleh Charles de Lorme, paruh burung pada topeng diisi oleh berbagai macam wewangian, dari daun mint hingga cengkeh, yang bertujuan sebagai penyaring udara (Bovenmyer, 2016). Topeng paruh burung kini beralih rupa menjadi masker dan alat pelindung diri (APD)–sebuah transformasi minor dalam perpanjangan insting survival umat manusia.

There have been as many plagues as wars in history; yet [they] always … take people equally by surprise. (Dr. Rieux, The Plague, Alber Camus)

Sumber Bacaan:
Hecker, J. F. C (Terj. B. G. Babington). 1846. The Epidemics of the Middle Ages. London: The Sydenham Society.

Nohl, J. 2006. The Black Death: A Chronicle of the Plague. London: Westholme Publishing
Bovenmyer, P. 2016. Birds of Plague: Der Doctor Schnabel von Rom (Doctor Beak of Rome), engraved and sold by Paulus Fürst,1656. Journal of the Northern Renaissance 
Cipolla, C.M. 1977. A Plague Doctor. dalam Miskimin, H & Herlihy, D. (ed.). The Medieval City. Connecticut: Yale University Press.

Keterangan:
[1] Dalam kontrak dikemukakan bahwa 30 florin setara dengan 11 ½ emas atau 40 gram emas murni. Cipolla memberi komentar pada akhir artikelnya, bahwa jumlah tersebut (kini, ataupun di abad pertengahan) cukup menggiurkan untuk mendorong seseorang melakukan misi bunuh diri.

[2] Pada abad pertengahan operasi kecil seperti pembedahan minor atau cabut gigi dilakukan oleh profesi ini

Share on:

Leave a Comment