Musik latin memiliki soundscape[1] beragam, mulai dari melodi Mariachi di teluk Meksiko, hentakan Tango di jalanan Buenos Aires, hingga alunan Cumbia di ujung selatan Chile. Sayangnya, bersandingan dengan maraknya bentang suara dan perayaan musik yang menggema hampir seluruh pojok kontinen, sejarah kelam umat manusia terpapar nyata dalam bentuk perbudakan. Mungkin Jim Morrison ada benarnya, bahwa lagu dan puisi adalah apa yang tersisa dari sebuah tragedi kemanusiaan. Di Amerika Latin, tragedi berkelindan dengan gerak budaya dan menghasikan sebuah rasa musikalitas dengan karakter yang khas. Brazil tidak terkecuali; sebagai salah satu wilayah penyangga utama sistem ekonomi trans-atlantik[2], imajinasi Brazil tentang rekonstruksi identitas erat kaitannya dengan tiga pilar sejarah: (1) rekonsiliasi kelas (antara tuan dan budak), (2) pernyataan anti rasialisme dan (3) pencarian identitas nasional.
Ketiga hal tersebut lalu hadir dalam ekspresi musik yang kini kita kenal dengan sebutan: Samba. Ulasan kali ini akan menjajaki musik Samba dalam tiga eksposisi di atas. Adapun alasan mengapa (baca: apa pentingnya) mengangkat Samba, nampaknya hanya akan berujung pada pemaparan fakta bahwa Brazil merupakan salah satu poros utama musik latin bersandingan dengan poros lainnya seperti Jamaika (Reggae) dan Kuba (Bolero juga Rumba). Terlepas dari argument faktual, penelurusan musik dari negeri Brazil senantiasa menjadi minat pribadi yang telah dimulai sejak beberapa saat lalu melalui ulasan tentang bossanova dan tropikalia. Dan kini, rasa-rasanya, adalah waktu yang tepat untuk menikmati musik Samba.
Jika mengacu pada alur knonologis, keberadaan Samba memberi pijakan bagi visi artistik bossanova dan gejolak kontra budaya tropikalia yang mengemuka di era 1960an. Samba sendiri tercatat hadir secara luas pada kisaran 1920 – awalnya, Samba hanya dimainkan terbatas pada lingkungan favela (kota kumuh) dan wilayah pinggiran perkotaan. Namun memasuki akhir 1930an, geliat Samba mulai meluas dan pada akhirnya memenangkan perhatian seluruh negeri. Jose Roberto Zan (dalam Ulhoa dkk, 2014) memberikan gambaran tentang fungsi vital Samba dalam perkembangan musik popular[3] Brazil. Musik yang berasal dari favela Sao Paolo ini, lambat laun dirayakan pula oleh kalangan elit dan intelektual. Permintaan atas musik Samba yang semakin meluas mendorong munculnya pasar rekaman lokal yang mampu bersaing dengan industri musik asing.
Resistensi musik lokal inilah yang menjadikan Brazil sebagai satu diantara sedikit negara dengan identitas soundmark khas – karena jujur saja, kebanyakan negara tunduk pada hegemoni musik Amerika dan Eropa, atau Korea dalam konteks Indonesia masa kini, dan lantas kehilangan identitas. Namun keberadaan musik Samba tidak berhenti pada perannya dalam membuka jalan bagi industri rekaman lokal saja, tapi juga berfungsi sebagai instrumen mediasi antar komunitas. Melalui Samba, jalinan komunikasi antar komunitas terbangun: mulai dari komunitas di kota-kota miskin (dimana Samba lahir), komunitas elit intelektual, hingga di wilayan pedesaan. Bahkan dalam kasus ekstrim, [musik] Samba mampu menjembatani konflik sosial antar komunitas. Zan menyebutnya sebagai “estetika inklusif”, sebagai gambaran bahwa sebuah gerakan musik ternyata mampu merangkul seluruh lapisan masyarakat. Sehingga bukan hal yang mengejutkan ketika Samba didaulat sebagai simbol identitas nasional – dan Brazil merayakan nasionalismenya dalam bentuk lagu dan tarian.
Sejauh pengalaman pribadi dalam penelusuran sejarah musik, Samba adalah salah satu yang paling mudah ditelusuri mengingat banyaknya perhatian yang dicurahkan pada perkembangan musik tersebut (baik dari dalam ataupun luar Brazil). Terlebih posisinya sebagai simbol identitas nasional menjadikan Samba dikaji dari berbagai aspek, mulai dari sejarah, budaya, sosial hingga politik. Salah satunya adalah pengamatan sosiolog Gilberto Freyre yang hingga kini masih dijadikan sumber utama dalam upaya memahami Samba dalam konstruksi masyarakat Brazil. Dalam bukunya The Masters and the Slaves (Casa-Grande & Senzala) (1946; 1986), Freyre memaparkan awal pembentukan masyarakat Brazil yang mengacu pada sistem perbudakan yang diterapkan di perkebunan-perkebunan tebu. Sistem inilah yang menjadi dasar pembentukkan kota modern Brazil, yang notabenenya dipimpin seorang tuan tanah (kulit putih) dan pertanian yang dijalankan oleh para budak (kulit hitam). Alhasil, Brazil dihadapkan pada konsekuensi mutlak dari setiap bentuk segregasi ras yang mengendap dalam ingatan kolektif masyarakat.
Namun, paska penghapusan perbudakan di Brazil pada tahun 1888, Freyre menyoroti sebuah fenomena eksepsional: tidak seperti di negara lain yang menghadapi rasisme berlarut-larut, kota-kota di Brazil mengalami pencampuran ras dalam waktu yang relatif singkat. Dalam bukunya, Freyre mengungkap keberadaan musik Samba sebagai jembatan antar kelas dan kelompok rasial. Ulasan lain diangkat Vianna dalam The Mystery of Samba (1999), yang didasarkan atas pengamatan Freyre sebagai berikut: “…music would come to stand for what was most Brazilian in Brazil during those same years. The written testimony of the elite participants seems to indicate that they took such a gathering for granted and that both sides felt quite at ease, as well they might in a Brazil supposedly characterized (in Freyre’s influential book) by racial mixing and by cordial social relations.” Pencampuran via musik inilah yang menjadikan Brazil mampu melampaui narasi kelas dan rasial, dan menggantinya dengan narasi identitas campuran (mixed color) dan memberikan kebanggaan baru yang didasarkan pada afirmasi terhadap keberagaman.
Samba, dalam ulasan di atas, tidak diragukan lagi adalah suara anti rasial. Namun, bagaimana kita dapat mengenali Samba dalam konteks musikalitas? Sebagai jawaban singkat, karya dari maestro tradisional Samba seperti Nelson Cavaquinho, Cartola atau Nelson Sargento dapat memberikan gambaran tentang warna suara Samba pada awal perkembangannya, sedangkan suara dalam Carmen Miranda menjadi penciri Samba pada era yang kontemporer. Freyre, memberikan gambaran musikalitas Samba layaknya penyair yang tengah mabuk kepayang – dengan lirih dan bergejolak ia mengungkap: “Samba merupakan hasil dari iluminasi spiritual yang tiba-tiba, mengarah pada “semacam obat psikoanalitik” untuk keseluruhan Brazil, dengan keteguhan yang tersirat dalam narasi “penemuan identiatas” Brasil yang sebenarnya”. Tidak diragukan lagi bahwa Freyre merupakan salah satu pengamat Samba garis keras yang meletakkannya dalam posisi adiluhung musikalitas Brazil.
Analisis lain tentang Samba yang secara lengkap mengulas penelusuran akar pengaruh musikalitas diuraikan dalam Rhythm of Resistance oleh Peter Fryer (2000). Ia menegaskan bahwa perkembangan musik di Brazil sangat terpengaruh oleh budaya Afrika. Hal tersebut mengacu pada penggunaan istilah “Samba” yang memiliki kemiripan dengan beberapa kata dari beberapa daerah di Afrika, misalnya: “in Kimbundu samba means ‘to be very excited, to be boiling over’; in the Ngangela language of Angola, kusamba means ‘jump for joy, skip, gambol’; to the Bangi of Congo-Brazzaville somba means ‘to dance the divination dance’; among the Hausa of Nigeria the sa’mbale is ‘a dance for young people’. In the far north-east of Guinea-Bissau, samba is reportedly both a rhythm and ‘the name of the singer and actor in a mime which represents a girl provoking a boy. The boy’s name is Samba.” Selain etimologi, bentuk pola ketukan menjadi salah satu indikator pengaruh Afrika. Istilah Neo-African juga sering disematkan pada Samba yang telah terpengaruh struktur musik eropa.
Dalam perkembangannya, Samba bersinggungan dengan berbagai jenis musik Brazil lainnya seperti musik instrumental Choro dengan melodi menyerupai rintihan (lament) atau Batuque, musik khas perkotaan yang semarak. Fryer (2000) mengungkap bahwa pada tahun 1988, tiga puluh satu bentuk Samba telah teridentifikasi dengan beragam karakternya. Kini, publik luas mengenal Samba dari dari sisi pesta dan festival yang dirayakan setiap tahun di jalanan Rio de Janeiro. Namun bagi saya sendiri, terlepas dari fungsi sosial dan posisinya vitalnya dalam konstruksi budaya Brazil, bentuk paling menyentuh dari Samba adalah ritme favela yang dimainkan segenap hati oleh para maestro pinggiran. Seperti lirik Final Judgement (Juizo Final) karya Nelson Cavaquinho berikut – rasanya, sulit menemukan gambaran hari penghakiman seindah yang disajikan dalam alunan Samba.
The sun will shine once more
The light will reach the hearts
The seed of evil will be burned
Love will be eternal again
It’s The Final Judgment
The story of good and evil
I want to see it with my own eyes
Wickedness disappear
The sun will shine once more
The light will reach the hearts
The seed of evil will be burned
Love will be eternal again
Samba, Favela, dan Mosaik Musik Latin
Juizo Final – Nelson Cavaquinho
Sumber Bacaan:
Ulhoa, M., Azevedo, C., & Trotta, F. 2015. Made in Brazil: Studies in Popular Music. London: Routledge.
Fryer, P. 2000. Rhythms of Resistance: African Musical Heritage in Brazil. London: Pluto Press.
Vianna, H. 1999. The Mystery of Samba: Popular Music and National Identity in Brazil. Chapel Hill: The University of North Carolina Press.
Freyre, G (Terj. Samuel Putnam). 1986. The Masters and the Slaves. Berkeley: University of California Press.
Keterangan:
[1] Menurut antropolog musik, Schafer Murray, soundscape merupakan identitas atau ingatan atas suara yang lahir dari suatu tempat.
[2] Jalur perdagangan pada mada kolonial antara Afrika, Amerika Latin dan Eropa. Pada jalur tersebut, Amerika Latin adalah tujuan utama perdagangan budak untuk dipekerjakan di perkebunan.
[3] Pada titik ini, sebuah disclaimer harus ditegaskan, bahwa kata popular mengacu pada musik rakyat banyak, yang menurut Zan, posisinya bersebrangan dengan pop music, anak emas dari industri rekaman
kontak via editor@antimateri.com