Cover art: Oil Projection, Wikiart
Adakalanya beragam pendekatan [musik] tidak dapat menggugah inspirasi. Kala itu terjadi, satu-satunya cara adalah kembali pada impresi–dengan kata lain, menghadapi musik tanpa tedeng aling-aling. Tulisan kali ini–juga beberapa tulisan tentang musik selanjutnya–akan kembali pada trajektori awal dengan mengesampingkan petunjuk teoritis. Tujuannya: kepingin saja. Dan untuk memulai kembali perjalanan nir-arah ini, satu lagu dengan bobot impresi menohok akan diulas; lagu tersebut berjudul Ease, dirilis oleh Public Image Ltd (PiL) pada Januari 1986, komposisi terakhir dari rekaman berjudul antik, ‘Album’.
Public Image Ltd adalah kelahiran kembali John Lydon (a.k.a Johnny Rotten) paska Sex Pistols. Industri musik mengkategorikan PiL sebagai Post-Punk atas alasan sederhana: musiknya terlalu rumit untuk disebut Punk–sebuah ironi sebetulnya, mengingat Punk, pada akhirnya didefinisikan pula oleh industri. Terlepas dari kategorisasi industri, musikalitas Lydon berbicara atas dirinya sendiri. ‘Album’ (sungguh sebuah judul yang membingungkan) adalah rekaman kelima dari PiL. Berbeda dengan rekaman sebelumnya, dalam ‘Album’, Lydon berkolaborasi musisi kaliber dunia: Ginger Baker, Steve Vai dan Ryuichi Sakamoto. Tentang sosok Ginger Baker, jangan ditanya. Penggebuk drum satu ini adalah epitom dalam kancah musik psychedelik dan afrobeat. Kiprahnya juga dikenal di kalangan musisi Jazz, menjadikan Baker satu dari sedikit musisi yang berhasil menaklukkan dua ritmik yang bertentangan satu sama lain (Rock dan Jazz). Vai menyandang nama besarnya sendiri di kalangan progresif dan heavy metal. Adapun Sakamoto adalah figur terkemuka di kalangan techno eksperimental. Nama-nama besar ini lantas mengasilkan sebuah album punk (atau post-punk, terserah saja) fenomenal yang sulit ada tandingannya.
‘Album’ terdiri dari 7 lagu gubahan Lydon. Komposisi pertama, ‘Rise’, adalah ikon gerakan anti-rasisme, sedangkan ‘Home’ menjadi populer karena dominasi gitar Vai yang tengah digandrungi saat itu (era 80, ketika ‘raungan dan kecepatan’ adalah segalanya). Tapi yang paling menarik perhatian adalah komposisi penutup berjudul ‘Ease’–sebuah lagu berdurasi 8 menit yang menghadirkan daya dobrak punk dan ritme psychedelic dosis tinggi dalam satu kemasan. ‘Ease’ memulai kejutannya bahkan sejak bagian pembuka; yaitu ketika Sakamoto menghasilkan soundscape khas Bali melalui sinthesizernya. Ini merupakan kejutan, karena: (1) tidak pernah terbayang akan menemukan ritmik magis Bali dalam album seorang John Lydon; dan (2) menjadi kontras yang menarik (apabila mendengarkan dalam format kaset/vynil) dari lagu sebelumnya, ‘Home’ yang penuh dengan ceracau politik dan raungan distorsi gitar.
Kejutan Sakamoto lantas dijawab oleh Baker: ketukan drumnya membawa ingatan pada era “Sunshine of Your Life”, masa ketika eksplorasi musik dirayakan dan ditampilkan di panggung terbuka tanpa embel-embel eksperimen atau kepongahan konseptualisasi. Psychedelik, atau jaman mabuk kedua paska Great Binge abad 19, adalah katarsis sekaligus pembuka jalan bagi beragam eksplorasi. Alhasil, tidak aneh jika era ini menawarkan sederet drummer paling ajaib dalam industri musik rock (penekanan ini diberikan untuk membedakan dengan ritme pada blues dan jazz yang memiliki prinsip-prinsipnya sendiri). Para drummer kawakan tersebut antara lain: Mickey Hart (Grateful Dead), John Bonham (Led Zeppelin), Keith Moon (The Who), Ken Weaver (The Fugs), Moe Tucker (The Velvet Underground), dan tentu saja, Ginger Baker (Cream, Blind Faith, etc.). Sejumlah nama diatas memiliki sebuah kesamaan, bahwa drum yang mereka mainkan tidak pernah ditujukan sebagai pelengkap tektur musik/lagu semata, tapi lantang berebut perhatian dengan melodi dan ritme yang dihasilkan instrumen lainnya. Drum pada era psychedelik adalah eksplorasi tanpa batas–khusus bagi Baker, eksplorasi membawanya menjauh dari panggung utama dan mengasingkan diri di Afrika, tempat yang ia anggap sebagai akar dari ritme itu sendiri.
Dalam “Ease”, Baker tidak kompromi. Ia tidak bermain layaknya ritme drum punk atau post-punk pada umumnya yang bertujuan untuk membangun tema dan tekstur. Alih-alih memberikan latar, ketukan Baker mengambil tempat utama. Eksposisi inilah yang menjadikan “Ease” bukan tipikal lagu Punk/Post-Punk–dan Baker, seperti apa yang dikeluhkan oleh musisi-musisi yang pernah bekerja sama sebelumnya–adalah pemain Solo yang selalu lupa diri dan bermain hanya untuk dirinya sendiri. Dalam ‘Ease’ Baker mengandalkan intensitas–bukan kecepatan untuk mengisi ‘jeda’–dengan memilih penempatan ketukan snare di antara nada riff dan memainkan bass drum secara selektif. Hasilnya adalah ritme drum menonjol, menentukan alur bagi melodi dan riff instrumen lainnya. Vai, yang dikenal sebagai gitaris individual, hanya memainkan solo gitar pada penghujung lagu–entah apakah karena komposisi Lydon yang membuatnya demikian, atau karena kalah dalam pertarungan ego dengan sang drummer legendaris (pertarungan yang membuat Cream bubar jalan, karena ego ketiga anggotanya–Clapton, Bruce dan Baker–sama-sama kuat).
Tapi bukan Lydon namanya jika tunduk pada pengaruh psychedelik begitu saja–mengingat fakta bahwa ia memiliki kaos kebanggaan bertuliskan “I hate Pink Floyd”. Demikian pula dalam ‘Ease’, ketika Baker unjuk gigi, Lydon menjawabnya dengan ‘attitude’ khas sorang punker: tidak peduli dan masa bodo. Pada komposisi ini, Lydon memberikan ceracau paling tidak masuk akal. Simak saja lirik ‘Walk and talk, Dysentery, These things in ease ’ adalah frasa antah berantah yang mungkin memang tidak memiliki arti sama sekali. ‘Ease’ tidak menawarkan pesan politik, ajakan kebangkitan, atau gegap gempita perlawanan; yang ada hanya ‘Susan and Norman, look so normal’–komentar nihilistik yang dilihat dari sudut manapun, tidak berkisah apa-apa. Tema ini berbeda dengan lagu lain dalam ‘Album’ yang berbicara dalam konteks jaman. ‘Ease’, disisi lain, merayakan apa yang telah ditawarkan The Stooges satu dekade sebelumnya: yaitu gagasan nihilisme, yang kali ini bercampur dengan dosis eksploratif psychedelik.
Fusi bentuk ini–punk/psychedelik–jarang ditemukan dalam industri musik modern, menjadikan ‘Ease’ layaknya harta karun berharga, yang anehnya jarang diulas. Mungkin karena Virgin/Elektra Record, perusahaan rekaman yang merilis ‘Album’, kurang menemukan potensi komersial pada gubahan tersebut. Atau karena ‘protes politik’ dalam ‘Rise’ dan ‘Home’ lebih menjual daripada ceracau nihilistik dalam ‘Ease’. Alasan apapun, tentu saja, tidak mengurangi kualitas dari lagu fusi ini. Dan tidak ada ungkapan yang lebih tepat mewakili apresiasi fusi punk/psychedelic ini selain ekspresi Lydon setalah mendengar permainan Baker: Fookin Great, man!!
Fusi Punk/Psychedelic ala Lydon dan Baker? Yes, please!
kontak via editor@antimateri.com