Ovid (Bagian 1): Pengasingan dari Roma

Kekaisaran Romawi memiliki utang tak terhingga pada para pujangga besar yang menjadi pilar bagi perkembangan kebudayaan Romawi. Diantaranya terdapat nama seperti: Aemilius Macer, pujangga dengan gaya didactis[1], Horace dan Ponticus, para penyair epik[2], Bassus dengan gaya syair iambs[3] juga Gallus, sang elegist[4] kota Roma yang mempengaruhi karya-karya Virgil dan pujangga setelahnya (Knox, 2009). Dalam dunia sastra Romawi tersebut, hadirlah Ovid–pujangga dengan karya yang memberi pengaruh besar bagi kelahiran kembali gairah sastra di abad 12 dan 13 Masehi (ditandai oleh karya-karya Chrétien de Troyes dan Dante Alighieri). Bahkan kedua abad ini dikenal dengan sebutan Aetas Ovidiana (Ovidian Age), yaitu era ketika karya-karya Ovid dijadikan acuan bagi pembelajaran sastra dan model dalam penulisan syair (Volk, 2010). Namun berbeda dengan pujangga kenamaan Roma lainnya yang diperlakukan sebagai pahlawan, Ovid merupakan musuh negara. Ia kemudian dikenal sebagai elegist terbuang dengan dakwaan carmen et error (‘a poem and a mistake’), sebuah kejahatan yang dalam hukum Romawi lebih besar dari pembunuhan. Atas dakwaan tersebut Ovid diganjar hukuman berupa pengasingan dari Roma ke sebuah kota bernama Tomis (kini merupakan bagian dari Rumania). Disana Ovid menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal pada tahun 17 Masehi. Gambaran singkat dunia kepenyairan Romawi dan kronologis kehidupan Ovid dapat dilihat pada tabel berikut:

Perbandingan Kronologis Sastra Romawi: Kelahiran hingga Pengasingan Ovid dari Roma

Kronologi Kehidupan Ovid Tonggak Sastra Kejadian Bersejarah
43 BC Kelahiran Ovid Kematian Cicero Pertempuran Mutina; Kematian konsulat Hirtius dan Pansa
42-40 BC Sallust menerbitkan Bellum Iugurthinum Kekalahan para pembunuh Caesar di Philippi; Kekacauan sipil di Itali
38 BC Virgil menerbitkan Eclogues Pembaruan Triumvirate Kedua; pernikahan Octavian dan Livia
36-35 BC Horace menerbitkan Satires 1; Sallust meninggal Octavian mengalahkan Sextus Pompey
32-30 BC Horace menerbitkan Epodes dan Tibullus 1 Perang sipil antara Octavian dan Antony; Kekalahan Antony Cleopatra di Actium
29-25 BC Resitasi[5] Pertama Ovid Horace menerbitkan Satires 2 dan Tibullus 1–2; Virgil menerbitkan  Georgics dan  Propertius 1; Gallus bunuh diri Perayaan kemenangan Octavian; Octavian diberi gelar ‘Augustus’; penutupan kuil Janus
23 BC Horace menerbitkan Odes 1–3, Vitruvius, De Architectura Augustus menerima tribunicia potestas[6]; kematian Marcellus
19 BC Heroides 1–15 diterbitkan Virgil menerbitkan Aeneid; Horace menerbitkan Epistles 1; Virgil dan  Tibullus meninggal
18-17 BC Horace menerbitkan Carmen Saeculare Augustus mengeluarkan legislasi moral; Augustus mengadopsi Gaius dan Lucius
16-15 BC Edisi pertama Amores diterbitkan Kelahiran Germanicus
12 BC Penerbitan Medea Horace menerbitkan Epistles 2.1 Meninggalnya Agrippa; Augustus menjadi Pontifex Maximus[7]
8-3 BC Penerbitan the Amores Kematian Maecenas dan Horace Tiberius menarik diri ke Rhodes
2 BC Penerbitan Ars Amatoria 1–2 Julia the Elder diasingkan; Augustus menyandang gelar Pater Patriae (Father of the Country)
2 M Penerbitan Ars Amatoria 3, Remedia Amoris Tiberius kembali dari Rhodes; kematian Lucius Caesar
3-7 M Proses penulisan the Fasti dan the Metamorphoses Kematian Asinius Pollio Kematian Caius Caesar; Augustus mengadopsi Tiberius,yang mengadopsi Germanicus; Tiberius menjabat Tribunicia Potestas[8] untuk 10 tahun.
8 M Metamorphoses diterbitkan; Pengasingan Ovid dari Roma Pengasingan Cassius Severus; Labienus bunuh diri Julia the Younger diasingkan
9-12 M Tristia 1–5 dan Ibis diterbitkan Pompeius Trogus menerbitkan Historiae Philippicae Kekalahan Varus; Kemanangan bagi Tiberius
13 M Epistulae ex Ponto 1–3 diterbitkan Tiberius menyandang Tribunicia Potestas untuk 10 tahun lagi
14-16 M Epistulae ex Ponto 4 diterbitkan Manilius memulai penulisan Astronomica Kematian Augustus; Tiberius menjadi Princeps (first order); Germanicus memperkuat kekuasaan di Jerman
17 M Kematian Ovid Kematian Livy Kemenangan Germanikus

(Sumber: Knox, 2009)

Melalui kronologi diatas, terlihat bahwa karya Ovid dihasilkan pada rentang antara 29 BC hingga 16 M. Mayoritas karyanya tertuang dalam bentuk elegi, dengan pengecualian Metamorphoses, sebuah penggambaran epik tentang mitos penciptaan alam semesta (Buku I) hingga pembunuhan Caesar (Buku XV). Luasnya tema dalam Metamorphoses membuat syair ini digali oleh banyak kalangan, dari filsuf, novelis, antropologis, hingga psikolog (Gregory, 1958). Adapun uraian tentang Metamorphoses akan dilanjutkan pada bagian selanjutnya. Sedangkan pada tulisan pembuka ini, Ovid akan diakrabi dari sisi kehidupannya sebagai elegist terakhir diantara jajaran penyair Romawi Klasik dan perseteruannya dengan Augustus yang berujung pada pengasingan.

“Wherever Roman power extends over conquered lands, I will be read by the lips of the people, and–if there is any truth to the prophecies of poets” – I will live for all ages through my fame (Metamorphoses, Book IX). Dalam bait dari Buku ke-IX Metamorphoses di atas, Ovid mengungkap ambisi untuk menyebarkan pengaruh syair-syairnya ke seluruh pelosok kekuasaan Romawi. Namun, ambisi tersebut meleset, karena ternyata rentang pengaruh Ovid mencapai lebih dari sekedar kekuasaan Romawi (setidaknya jelas teragambar pada aliran neo-klasik sastra Perancis, Jerman, Italia hingga Inggris). Bahkan karyanya tetap dikenal melampaui eksistensi dari kekaisaran Romawi sendiri.

Lalu, apa yang mendasari karya-karya Ovid dapat diterima secara luas? Volk (2010) menyebutkan beberapa argumen kunci: (1) karya Ovid merupakan jembatan antara keindahan sastra klasik yang diturunkan dari pakem syair epik Yunani Kuno dan bangun sastra latin yang berkembang di awal Masehi (ditandai dengan masuknya kristianitas); (2) Ovid melakukan berbagai eksperimen, termasuk penggunaan gaya dikdaktis yang semakin populer di kalangan pujangga paska Aetas Ovidiana; (3) Ovid mengangkat mitos yang hidup dimasyarakat sehingga karyanya menjadi sangat familiar; (4) memasukkan humor cerdas dalam syair-syairnya yang menjadikan karya Ovid semakin menarik perhatian pembaca; dan (5) kisah hidup sang pujangga di pengasingan yang membuat citranya semakin dramatis. Perihal yang terakhir (tentang Ovid di Pengasingan), tercatat sebagai salah satu kisah pertarungan klasik antara penguasa dan penyair.

Romawi di bawah kekaisaran Augustus adalah entitas politik dengan tatanan yang ajeg. Berbagai aspek, mulai dari politik, agama, hingga moral berada di bawah pengawasan Kaisar dan harus sejalan dengan visi kekaisaran. Sastrapun demikian, Augustus mengambil epik Horace dan Virgil yang didasarkan pada gagasan ideal Yunani Kuno sebagai simbol kebudayaan Romawi. Karya dari kedua pujangga tersebut dipandang dapat merepresentasikan nilai tentang ‘bagaimana seharusnya’ seseorang berperilaku, juga merangkum instruksi tentang politik hingga kekuatan militer. Ketika karya-karya Horace dan Virgil dijadikan pola dasar dalam kebudayaan adiluhung Romawi, Ovid berada pada kutub lawannya: bebas, lugas, penuh dengan cerita cinta, bahkan dipandang immoral. Dua karya partama Ovid, Amores dan Medea, diambil dari sudut pandang wanita, sebuah perspektif tidak lajim saat itu (Hardie, 2002). Begitu pula Ars Amatoria dan Remedia Amoris yang menggali tentang relasi manusia (termasuk relasi seksual), sebuah tema yang jauh dari kebutuhan visi kenegaraan Augustus.

Perseteruan antara Augustus dan Ovid bersumber dari gagasan erotik dalam syair-syair Ovid, terutama dalam Ars Amatoria (the Art of Love) dan Remedia Amoris (the Cure of Love). Ovid dianggap subversif dan menentang legislasi moral yang diberlakukan oleh Augustus. Dakwaan ini berujung pada pengusiran sang Pujangga ke luar dari Kota Roma. Sebelumnya, pengasingan telah dilakukan Augustus kepada putrinya sendiri–Julia the Elder–atas dakwaan immoralitas karena memberikan kritik tajam pada legislasi moral Augustus. Cucu Augustus, Julia the Younger dan suaminya, Agrippa Postumus, juga didakwa atas konspirasi menentang legislasi moral. Sanjungan terbuka Ovid untuk Julia the Elder melalui bait: ‘if I er’e enjoy’d her, it was through Her craft; I taking her to be another’, menjadi salah satu awal pertikaian antara Ovid dan Augustus. Hukuman juga diberlakukan dalam bentuk pelarangan penerbitan atas seluruh karya Ovid. Alhasil, hampir sepuluh abad lamanya, karya-karya Ovid diturunkan derajatnya menjadi sekedar cerita-cerita mesum murahan, hingga ditemukan dan ditempatkan kembali sebagai salah satu tonggak klasik sastra Romawi pada abad 12 dan 13. Kini, Ovid diakui sebagai ‘penyair bagi para penyair’–ia memberi pengaruh bukan hanya pada penyair era Aetas Ovidiana, tapi jauh setelahnya seperti Geoffrey Chaucer, Shakespeare, John Milton hingga sastrawan romantik dikisaran abad 18.

Pada sebuah bait Metamorphoses, Ovid mengungkapkan: After old Saturn fell to Death’s dark country, Straitly Jove ruled the world with silver charm, Less radiant than gold, less false than brass. Menurut pandangan Gregory (1958), bait ini memberi petunjuk bahwa pertikaian antara Augustus dan Ovid lebih dari sekedar pertentangan untuk menetapkan garis antara moral dan immoral semata, namun mengacu pada perihal yang lebih substansial. Melalui karyanya, Ovid membangun sebuah dilema pada tatanan yang secara ajeg dipertahankan oleh Augustus. Kondisi ini merupakan sebuah ironi, karena Kaisar Augustus yang terkenal tidak tertandingi secara politik, mampu digoyahkan oleh seorang penyair yang bahkan tidak peduli dengan kehidupan politik. Sayangnya, seperti kebanyakan cerita lainnya dalam sejarah, ketika syair berhadapan kekuasaan, seringkali syairlah yang berakhir di pengasingan.

Syair Epik Metamorphosis (Ovid Bagian 2)
Lukisan Mitos Picasso (Ovid Bagian 3)

Sumber Bacaan:
Gregory, H. (1958). Ovid’s The Metamorphoses. New York: The Viking Press.

Hardie, P. (2002). The Cambridge Companion to Ovid. Cambridge: Cambridge University Press.
Knox, P.E. (2009). A Companion to Ovid. West Sussex: Wiley-Blackwell.
Volk, K. (2010). Ovid. West Sussex: Wiley-Blackwell.

Keterangan:
[1] Gaya didactic atau didactic verse merupakan bentuk sastra dari Era Yunani Klasik yang didalamnya merangkum pembelajaran; gaya ini kerap digunakan sebagai sebuah intruksi atau penjelasan atas tema tertentu.

[2] Syair epik (berasal dari kata Yunani epopee) merupakan syair narratif yang menggambarkan kehidupan diluar batas waktu dan tema tertentu; fungsi utama dari syair epik adalah penggambaran kehidupan manusia dan relasinya (baik antar manusia, dengan dewa ataupun membentuk mitos). Adapun syair epik tertua adalah epik Gilgamesh dari Sumeria Kuno, beberapa contoh lainnya adalah Mahabharata dan Ramayana (India), Shahnameh (Persia), Odyssey dan Iliad (Yunani), Aeneid (Romawi), juga Kalevala (Finlandia). 
[3] Iamb merupakan muasal dari syair ritmik; mengacu pada penggunaan metrik dalam penulisan narasinya.
[4] Elegi memiliki fungsi utama sebagai refleksi akan kehidupan; namun dalam perkembangan sastra sering disalahkaprahkan sebagai bentuk puisi yang memiliki nada sedih dan murung.
[5] Resitasi (recitation) merupakan pembacaan syair atau bentuk tulisan lainnya secara formal dihadapan penonton
[6] Merupakan hak memerintah seumur hidup dan menunjuk penerus; hak tersebut diberikan oleh tribuni plebis kekaisaran Roma
[7] Imam besar dari lembaga Majelis Pontif (majelis keagamaan Kekaisaran Romawi)
[8] Kekuatan setara tribuni plebis

Share on:

Leave a Comment