Syair Epik Metamorphosis (Ovid Bagian 2)

(syair yang terbit sebelum pengasingan)

Bagi seseorang yang tumbuh besar membaca mitos-mitos Yunani dan Romawi, menemukan syair epik metamorphosis karya Ovid adalah sebuah kepuasan tersendiri. Melalui sebuah buku elektronik hasil bajakan, jendela menuju dunia berisi dewa-dewi, kisah cinta ajaib hingga rangkaian tragedi, kembali terbuka lebar. Metamorphoses[1] (versi terjemahan Horace Gregory taun 1958), terdiri dari lima belas buku yang mengurai kisah dari penciptaan semesta hingga kematian Caesar. Di antara kedua kisah tersebut, terdapat seratus syair lainnya (jumlah total dalam versi Gregory adalah 102 buah syair) yang kerap digunakan sebagai rujukan utama tentang mitos Yunani klasik juga sumber bagi sejarah Romawi. Walaupun, untuk memfungsikan Metamorphoses sebagai sumber sejarah, rasa-rasanya pembaca harus mengantisipasi karakter sang pujangga yang terkenal akan dua hal. Pertama, Ovid membenci kehidupan politik dengan menyebutnya “bukan hal penting untuk diamati”. Kedua, ia adalah musuh bebuyutan kaisar Augustus dan perseteruannya berujung dengan pengasingannya dari Roma. Karena dua hal tadi, besar kemungkinan jika Ovid menyuarakan sejarah dari sudut pandang yang “dramatis”.

Terlepas dari kesangsian dari sudut sejarah, Metamorphoses adalah syair epik yang ditempatkan setara dengan Iliad karya Homer juga Aeneas karya Virgil. Syair bentuk ini dipercaya merangkum ingatan kolektif masyarakat pada jamannya, sehingga istilah “jendela waktu” nampaknya tidak berlebihan. Sedikit saran bagi yang tertarik membaca Metamorphoses secara detil adalah: bersiap-siaplah dengan berbagai keterkejutan (mulai dari kejutan kronologi, kejutan kekerasan yang tergambar dengan detil–bahkan dalam ulasannya, Nicholas Lezard (2004) menyebutkan bahwa pandangan publik masa kini tentang vulgarnya film-film Tarantino[2] tidak ada apa-apanya dibanding pajangan kekerasan dalam Metamorphoses–hingga keterkejutan dari penceritaan ulang mitos yang memukau). Mengingat luasnya rentang “kejutan” dalam magnum opus sang pujangga buangan tersebut, maka tulisan ini akan membatasi diri pada tiga bentuk syair yang dipandang dapat mewakili, antara lain: kronologi penciptaan semesta, mitos-mitos metamorphosis dan interpretasi “lepas” Ovid tentang berbagai kejadian sejarah.

Latar kronologi adalah kejutan pertama, karena Ovid dengan “tidak kira-kira”, memulai ceritanya sejak awal penciptaan alam semesta. Gregory (1958) memberi petunjuk bahwa karya Lucretius berjudul De Rerum Natura, memberi inspirasi bagi Ovid dalam memulai penulisan Metamorphoses. Namun, alih-alih mengikuti jejak Lucretius yang memandang asal mula semesta yang terbentuk karena “kebetulan yang diatur oleh dewa-dewi”[3] (fortuna), Ovid memilih jalan yang lebih bebas–menurutnya: Before land was and sea-before air and sky. Arched over all, all Nature was all Chaos… (Book I, Chaos and Creation). Dalam syair ini, Ovid memberikan kejutan terutama pada konstruksi kepercayaan Romawi saat itu dengan nyata-nyata menyuarakan sebuah gagasan liar tentang awal mula semesta yang bukan berasal dari mitos dewa dewi. Namun hal ini bukan berarti Ovid menihilkan gagasan tentang dewa-dewi Romawi, karena meraka tetap hadir dan berfungsi sebagai “penenang” bagi kekacauan semesta, tapi bukan pencipta[4]. Lanjut Ovid, setelah semesta mendapatkan bentuknya, barulah manusia diciptakan–Then careless things took shape, change followed change, and with it unknown species of mankind (Book I, Chaos and Creation). Dalam baris ini, seakan Ovid telah menggulirkan gagasan utamanya tentang metamorphosis–bahwa kehidupan terus bergerak tanpa seorangpun tahu kemana arahnya.

Bagian penting lain dalam Metamorphoses adalah kumpulan berbagai cerita mitos tentang perubahan bentuk manusia. Yunani klasik dan Romawi Kuno tidak pernah kehabisan cerita yang satu ini, dan dengan kepiawaiannya, Ovid berhasil merangkum 250 mitos tentang metamorphosis. Dalam Metamorphoses bertebaran kisah perubahan bentuk manusia menjadi beragam bentuk, mulai dari binatang, pohon, batu, air hingga menjadi (sebatas) suara. Sebut saja Lycaon, raja Akadia keji yang berubah menjadi serigala; Ocyroe, sang cenayang yang berubah menjadi kuda untuk mencegah dirinya mengurai masa depan; kematian Phanteon menyebabkan duka cita mendalam hingga saudara perempuannya berubah menjadi pepohonan; para pelaut Tyrhenian yang berubah menjadi lumba-lumba karena gagal mengenali Bachus, sang dewa mabuk; hingga kisah cinta tak kesampaian Echo pada Narcissus, yang membuatnya merana dan berubah menjadi sebatas suara. Dalam Buku III, Echo and Narcissus, Ovid menggubah kembali elegi Echo dengan gema yang menyayat:

The boy whom Echo loved too well. Yet when
She saw him, and though still annoyed, resentful,
She felt a touch of pity at the sight,
So when he Sighed “Eheu,” “Eheu,” said she,
And as his hands struck at his breast and shoulders,
So she repeated these weak sounds of grief.

Rangkaian metamorphosis menjadi benang merah dalam kisah-kisah mitos Ovid–dimana satu buku dengan lainnya tidak memiliki keterikatan cerita. Ketika keterpukauan dan keterkejutan (juga jangan lupakan kengerian yang hadir karena detil kekerasan didalamnya) telah terlewati, maka kesan yang tertinggal adalah kecurigaan bahwa motif utama Ovid dalam menulis mitos metamorphosis tidak lain untuk menjelaskan gagasan tentang metamorphosis itu sendiri, sedangkan kisah dan mitos hanya dibutuhkan sebagai bangun cerita (setiap kisah di dalam Metamorphoses dapat diubah atau dicerabut tanpa mengubah gagasan utama[5]). Beragam pembacaan (Wilkinson, 1955; Greggory, 1958; Toynbee, 1973; Neuru, 1980) memberikan pandangan lain, yaitu bahwa motif utama penceritaan Ovid tentang perubahan bentuk manusia pada dasarnya menyasar tatanan moralitas Augustus yang ditentangnya habis-habisan. Bisa jadi Metamorphoses adalah sebuah satir, sindiran atas nilai konvensional. Namun terlepas dari apapun motifnya, Ovid telah memberikan sebuah peninggalan tak ternilai harganya melebihi perseteruan politik;   sebagai salah satu rangkuman mitos paling lengkap yang pernah ditulis dalam sejarah.

Syair terakhir dalam Metamorphoses berjudul Caesar adalah kejutan lain yang diberikan Ovid. Kaisar Augustus menyebut syair tersebut tidak bermoral dan melarang peredarannya (akhirnya ia melarang peredaran seluruh karya Ovid). Seusai membaca Caesar (Book XV), seulas senyum geli tak tertahan untuk mengembang. Bagaimana Augustus tidak kebakaran jenggot, syair tersebut diakhirinya dengan bait sebagai berikut:

Long life to our Augustus here on earth,
And may he live beyond my transient hour,
And when at last he takes his throne in heaven,
Then he may hear a Roman poet’s song.

Baris tersebut layaknya pukulan jitu bagi sang kaisar, dan tanpa ditunda, keputusan pengasingan  bagi Ovid pun dijatuhkan. Melihat kedua musuh bebuyutan ini bertikai, gagasan bahwa Ovid menulis Metamorphoses untuk merundung sang kaisar nampaknya semakin dapat dipercaya. Sang pujangga lantas menutup keseluruhan syairnya dengan Epilogue (Book XV). Dalam penutupnya, Ovid seakan berhasil meramalkan keabadian karyanya melalui baris: The deathless music of the circling stars. Dan dapat dibayangkan betapa kesalnya Augustus membaca bait khas penuh kesombongan penyair Roma yang satu ini.

Ovid (Bagian 1): Pengasingan dari Roma
Lukisan Mitos Picasso (Ovid Bagian 3)

Sumber Bacaan:
Gregory, H. 1958. The Metamorphoses. New York: The Viking Press.

Lezard, N. 2004. Change is in the Air. The Guardian.
Neuru, L. 1980. Some Aspects of This Motif in Ovid’s Metamorphoses. Ontario: McMaster University Press.
Toynbee, J.M.C. 1973. Animals in Roman Life and Art. Aspects of Greek and Roman Life. London: Thames and Hudson.
Wilkinson, L.P. 1955. Ovid Recalled. Cambridge: University Press.

Keterangan:
[1] Metamorphoses diterbitkan pada abad 8 Masehi, bertepatan dengan tahun ketika Ovid diasingkan ke Tomis (kini wilayah Rumania)

[2] Memang benar, keliaran orang Roma hanya bisa disaingi oleh orang Roma lainnya. Anda saja Lezard membandingkannya dengan film-film Passolini, bisa jadi kita menemukan perbandingan yang lebih setimpal
[3] “For whenever a thing changes and quits its proper limits, at once this change of state is the death of that which was before” Lucretius, De Rerum Natura.
[4] Then God or Nature calmed the elements (Book I, Chaos and Creation).
[5] Hal ini dilakukan oleh Ted Hughes yang menterjemahkan Metamorphoses Ovid hanya sebagian karena dipandang beberapa bagian terlalu vulgar.

Share on:

Leave a Comment