Lukisan Gua Chauvet: Animasi Jaman Batu

(atau kritik atas definisi seni primitif)

Obrolan kami–para penulis dan konten direktor webzine antah berantah ini–tentang seni primitif, berujung pada perdebatan [sedikit] panjang tentang definisi seni primitif itu sendiri. Dalam tulisan sebelumnya, kata primitif dijadikan semacam rujukan untuk menggambarkan “proses kreativitasnya lebih dekat dengan kondisi peradaban awal yang dikembangkan umat manusia” (Gombrich, 1950). Namun ternyata, pemahaman kreasi umat manusia pada awal peradaban, tidak sesederhana itu. Dalam perkembangannya, penggunaan kata primitif menjadi semacam tabu di kalangan akademisi karena kerap digunakan untuk menggambarkan kemajuan searah; level terendah dalam perkembangan budaya manusia. Alhasil, untuk menghindari konsep primitif yang sarat dengan konotasi negatif–seperti halnya: tidak beradab, tidak berbudaya, atau barbar–maka penggunaannya “secara politik”, dibatasi. Adapun ulasan singkat kali berupaya memaparkan sisi kritik atas konsepsi seni primitif dengan memaparkan sebuah masterpiece masa paleolitikum, yaitu lukisan gua Chauvet.

Di temukan pada tahun 1994 oleh tiga orang penjelajah gua–Eliette Brunel-Deschamps, Christian Hillaire, and Jean-Marie Chauvet–di Ardèche, Perancis, lukisan gua Chauvet menjungkirbalikkan konsepsi kita tentang “proses kreativitas” pada jaman awal peradaban; atau lebih tepatnya kreasi seni pada jaman paleolitikum (jaman batu tua). Sebelum ditemukan oleh ketiga penjelajah, keberadaan lukisan-lukisan gua Chauvet tidak terganggu sejak jaman es akhir (Chauvet, et al, 1996). Salah satu alasannya adalah karena keberadaan gua yang sulit dijangkau karena berada di bawah sungai Ardèche; alasan lain adalah karena selama berabad lamanya, gua ini merupakan sarang beruang yang tentunya ‘menantang’ untuk dijelajahi. Penemuan lukisan gua Chauvet merupakan keajaiban tersendiri, bukan hanya karena nilai historik, tapi juga karena memaksa para pengkaji seni, memikirkan ulang tentang asal muasal seni. Jean Clottes, seorang sejarawan prasejarah terkemuka, menyatakan bahwa penemuan seni gua Chauvet “overturn our conception about the beginning of art” (Clottes dalam Fagan, 1996).

Sejalan dengan Clottes, Diana McDonald, pakar seni prasejarah dari Boston College of Fine Arts, juga berpandangan bahwasannya, lukisan di gua Chauvet merupakan sebuah karya maestro karena menunjukkan kreatifitas dan keterampilan luar biasa dalam pengerjaannya (McDonald, 2013). Lebih lanjut, McDonald juga memberikan penjelasan tentang mengapa lukisan yang dibuat 30.000 tahun lalu, sama sekali bukan seni primitif dalam konteks konotasi negatif (ingat penyelewengan makna barbar dan tidak berbudaya)–karena menurut McDonald, apa yang terpampang di dinding gua Chauvet dapat memberikan gambaran atas budaya yang berkembang saat itu; sesuatu yang tidak bisa dipandang secara semena-mena melalui kacamata modern. Sebagai contoh: lukisan gua Chauvet membuktikan bahwa [para] pelukis pada masa paleolitikum merupakan pengamat yang mampu menangkap imaji binatang dan menggambarkannya dengan teliti. Mungkin saja, pengamatan dan pencatatan rinci ini merupakan sebuah cara bertahan hidup (survival) ketika ‘manusia versus binatang’ adalah kondisi yang berlaku saat itu.  

Terkait penemuan figur binatang di gua Chauvet dijelaskan oleh para penemu (Chauvet et al, 1996) dengan gambaran sebagai berikut: On the floor were bones and teeth of cave bears; shallow depressions marked where the beasts had hibernated. Suddenly, Deschamps cried out in surprise as her lamp shone on two lines of red ocher; the three then spotted a small figure of a mammoth painted on the cave’s wall”. Selain mammoth, terdapat pula figur binatang lain, diantaranya beruang, singa, bison, badak, dan kuda. Sebelum penemuan lukisan gua Chauvet, figur badak tidak pernah ditemukan dalam lukisan-lukisan gua lainnya. Hal lain yang menarik perhatian Chauvet dan timnya adalah lukisan telapak tangan berwarna merah yang mereka temukan paling dekat dengan pintu masuk gua, sedangkan di ruang gua yang paling dalam, mereka menemukan tengkorak beruang yang diletakkan pada batu menyerupai altar. Kedua bentuk purposif ini–yaitu pengamatan detil akan binatang dan peletakkan tengkorak beruang batu seperti altar–mendukung pandangan bahwa peradaban kuno bukan berarti rendahan dan barbar. Konsep tentang pengetahuan ada dalam lukisan-lukisan gua Chauvet, sebagaimana dikemukakan oleh McDonald (2013):

Most dramatic here is the scene of rhinos in battle, communicated to us in quick brush strokes of charcoal. This fight scene is unusual. The artist was aware of the behavior and appearance of the animals and perhaps even understood the relationships of one kind of animal to another.

Namun, kehebatan lukisan gua Chauvet tidak berhenti pada representasi pengetahuan, namun juga pada keterampilan seniman dalam menorehkan guratan arang di dinding gua (catatan: beberapa dilukis dengan cara membuat guratan pada dinding gua). Adapun lukisan yang kemudian “mengubah gagasan tentang seni kuno” adalah kemampuan seniman untuk membuat gambar seakan-akan hidup dan bergerak. Dua panel terkenal di gua Chauvet adalah panel singa dan panel kuda, dimana keduanya dilukis dalam guratan-guratan kompleks yang mengindikasikan imajinasi akan sebuah pertarungan juga sekuensi gerakan. Fagan (1996) menggambarkan: “The artists were masters of perspective, overlapping the heads of animals, perhaps to give the effects of movement and numbers. They even scraped some of the walls before painting them to make the figures stand out better”.

Lukisan Gua Chauvet: Panel of the Lions
Panel of the Lions
Lukisan Gua Chauvet: Panel of the Horses
Panel of the Horses

Panel paling terkenal di antara lukisan di gua Chauvet adalah panel singa ditemukan pada salah satu ruang terdalam dari gua Chauvet. Panel ini menggambarkan kumpulan singa yang sedang menguntit mangsa. Selain garis tumpang tindih yang mengindikasikan sekuensi gerakan, pada lukisan juga ditemukan penggunaan arang yang lebih tebal pada bagian kepala, seolah-olah untuk menunjukkan volume dan bentuk anatomi yang jelas. Penggunaan teknik shading (bayangan) ini juga dapat ditemukan pada panel kuda, dimana penggunaan arang terlihat lebih jelas. Lukisan kuda di Chauvet memberikan pengetahuan tentang figur kuda masa prasejarah yang digambarkan “berkepala pendek; leher sangat melengkung; mata kecil; dan surai kaku seperti sikat”. Panel kuda memberikan petunjuk pada penelitian arkeologi lebih lanjut yang berpendapat bahwa terdapat kemungkinan kuda pada saat itu adalah binatang yang diburu sebagai santapan (MacDonald, 2013). Bentuk sekuensi gerak ditemukan pula dalam penggambaran bison, badak, dan mammoth. Namun, tidak ada yang menandingi ‘animasi’ pada panel singa dan panel kuda.

Sebagai penutup uraian (sekaligus kritisi atas konsep primitif), mempelajari lukisan gua Chauvet senantiasa memunculkan sebuah kesadaran bahwa dalam beberapa hal, kita harus membuang gagasan umum tentang budaya visual yang berkembang hanya dalam linearitas waktu satu arah (progressive). Gambaran bahwa seni pada awal peradaban manusia adalah seni level rendahan yang dihasilkan hanya dengan menempelkan telapak tangan dan coretan setengah jadi, dinafikkan dengan penemuan lukisan gua Chauvet. Terlebih keberadaan panel lukisan yang menyajikan sekuensi gerak, semakin mengukuhkan penemuan gua Chauvet sebagai “Dawn of Paleolithic Art. Mengutip euforia Chauvet ketika menemukan jajaran panel lukisan yang tak tersentuh berabad lamanya (1996),”Time was abolished, as if the tens of thousands of years that separated us from the producers of these painting no longer existed”.

Catatan:
Gagasan tentang nuansa politik dalam pendefinisian konsep primitif dihasilkan dari obrolan dengan konten direktor antimateri webzine, Aang Sudrajat.

Gambar: MacDonald (2013); Wikipedia commons

Sumber Bacaan:
Chauvet, J., Deschamps, E., Hillaire, C. 1996. Dawn of Art: The Chauvet Cave. New York: Harry N. Abrams.
Fagan, B. 1996. Paleolithic Masterpieces. Archaeology, Vol. 49, No. 4, Hal. 69-72
Gombrich, E. H. 1950. The Story of Arts. Phaidon Press.
MacDonald, D. 2013. 30 Masterpieces of the Ancient World (Course). Boston: The Teaching Company.

Share on:

Leave a Comment