Beragam Rasa Estetika Islam

Ketertarikan saya untuk mengkaji ragam estetika Islam berawal ketika beberapa saat lalu saya dibuat merinding oleh rubaiyat karya Omar Khayyam. Bait atau rubaiyat, merupakan pola klasik dalam sastra Persia dengan pengulangan empat baris berima yang mempengaruhi banyak bentuk puisi setelahnya. Bait mistis penuh pemujaan ilahiah (yang anehnya bersandingan dengan tegukan anggur) digubah sang pujangga pada kisaran 1074 hingga 1113 – sekitar dua ratus tahun lebih awal dari Divine Comedy, karya fenomenal Dante Alighieri. Membaca rubaiyat Omar Khayyam membuat saya tertawa miris atas kesadaran betapa saya tidak mengetahui apapun tentang estetika Islam. Kajian estetika Islam sendiri memiliki rentang yang sangat luas (namun sayangnya saat ini sedikit terpinggirkan akibat wacana yang riuh dengan berbagai bentuk politisasi agama dan fanatisme tidak perlu). Oleh karena luasnya kajian dan karena saya yang sama sekali buta akan estetika islam, maka buku Oleg Grabar berjudul “The Formation of Islamic Art” (1973), saya gunakan sebagai penunjuk arah.

Oleg Grabar bukanlah satu-satunya yang membahas tentang ragam estetika islam. Terdapat ahli lain seperti George Marqais yang mengkaji keterkaitan budaya dan seni dalam Islam, Archibald Creswell dengan sumbangsihnya dalam pemetaan arsitektur Islam hingga J.D Pearson yang merumuskan Index Islamicus (1958) dan Revue des Etudes Islamiques (1965) yang berisi katalog seni islam. Namun karena yang saya butuhkan adalah bacaan semacam kompas, maka The Formation of Islamic Art menjadi pilihan untuk memberikan pemahaman mendasar tentang seni dan estetika Islam. Grabar memulai uraiannya dengan menjelaskan tentang seni apa saja yang termasuk kedalam khasanah ragam estetika Islam. Menurutnya seni Islam (Islamic art) bukan mengacu pada kerangka geografis – dalam arti seperti halnya seni Tiongkok yang lahir di Tiongkok atau seni India yang lahir di India – namun lebih mengacu pada seni yang terbentuk di dalam (atau dipengaruhi) tatanan nilai tertentu. Ini menjadikan seni Islam lebih menyerupai seni Gothic atau Baroque yang bersifat lintas batas.

Definisi ini menjadi penting mengingat banyaknya asumsi bahwa seni Islam identik dengan seni Arab. Pandangan ini dengan gamblang dibantah oleh Grabar dengan menjelaskan bahwasannya seni Arab pre-Islam memiliki bentuk yang sama sekali lain daripada seni Islam. Memang benar, sebagian seni Islam dikenal dalam bentuk Arabesque, namun itu hanya salah satu bentuk saja. Permasalahan lain yang hadir dalam pendefinisian seni Islam teletak pada persinggungan lintas agama, karena ternyata ditemukan pula pengaruh seni Islam di masyarakat Yahudi atau di masyarakat Kristen Koptik di Mesir. Melalui pijakan definisi ini, Grabar dengan leluasa dapat mengkaji seni Islam di berbagai bentuk budaya – mulai dari jazirah Arab, Afrika Utara, hingga Persia. Adapun seni Islam di Indonesia hanya dibahas sekilas, dan apabila ingin mengetahui lebih lanjut dapat membaca Picturing Islam (2010) karya Kenneth M. George yang membahas seni di Indonesia dari sudut pelukis Abdul Djalil Pirous.

Untuk menelusur luasnya bentang seni Islam, Grabar menggunakan pendekatan arkelogis Islam yang dilakukan oleh Max van Berchem. Dalam kajian arkeologi Islam yang dikemukakan van Berchem, seni Islam bukanlah sebuah entitas tunggal, namun mengacu pada konteks waktu, tempat, gagasan dan budaya dimana seni tersebut hidup. Oleh karenanya, kreasi seni Islam memiliki tingkat orisinalitas yang bergantung pada sifat, kekuatan dan vitalitas tradisi seni lokal. van Berchem menyebutnya dalam istilah “paralel biologis”. Menurutnya, budaya Islam pada umumnya (termasuk seni didalamnya) memiliki kemampuan untuk masuk dan “mencangkok” pada budaya lain – yang pada akhirnya membentuk sebuah sistem budaya (juga seni) tersendiri. Berbagai contoh keanekaragaman arsitektur dari mulai Alhambra di Granada hingga Mesjid Sankore di Timbuktu merupakan refleksi nyata dari seni cangkok ini. Pendekatan arkelogis yang digunakan Grabar dijelaskan pada bab berjudul The Land of Early Islam, menjadi jembatan untuk memetakan gagasan estetika lain, yaitu simbol.

Adaptasi Islam ke berbagai budaya lokal diiringi dengan pembentukan nilai-nilai baru dalam masyarakat yang mengacu pada doktrin Islam – sehingga secara langsung ataupun tidak langsung memberi pengaruh pada seni Islam. Pembentukan nilai-nilai baru ini secara jelas tergambar dalam simbol yang digunakan. Simbol, layaknya puncak gunung es hanya hanya terlihat kecil di permukaan, memiliki makna mendalam yang bersentuhan dengan collective unconciousness masyarakat. Pada masyarakat Jawa, wayang kulit adalah simbol pencangkokan Islam dengan budaya Jawa. Doktrin Islam yang melarang membuat benda yang menyerupai makhluk hidup melahirkan bentuk budaya dengan orisinalitas tersendiri. Contoh lain adalah bangun geometris yang menjadi penciri utama dalam seni Islam. Penggunaan geometris sebagai seni merupakan bentuk kreasi orisinal sebagai upaya menyesuaikan dengan doktrin Islam. Pada pembacaan lebih lanjut, geometris dalam seni Islam tidak hanya berbicara dalam bahasa estetika tapi juga sebagai bentuk spiritualitas (lihat Symmetries of Islamic Geometrical Patterns (1995) karya Syed Jan Abas dan Amer Shaker Salman).

Bentang seni Islam yang ditampilkan Grabar bukan hanya mengacu pada konteks budaya secara geografis, tapi juga mengacu pada dinamika budaya tersebut. Salah satunya adalah seni yang lahir dalam lingkup sekularisme. Tentu saja terdapat perbedaan epistimologis antara seni Islam dengan tujuan ritual dengan seni sekular yang terinspirasi seni Islam. Grabar memberikan contoh banyak kota modern yang dibangun atas dasar ini, atau istana Samarra di Iraq juga gedung-gedung pemerintahan di berbagai negara dengan penduduk mayoritas Islam. Sehingga pembacaan atas simbol-simbolnya harus dilepaskan dari interpretasi ritualistik Islam. Pembacaan ini juga dapat dilekatkan pada seni Eropa yang terinspirasi seni Islam seperti pembangunan Piazza Armerina yang menggunakan proporsi bangunan dari kota-kota di Tunisia, Anatolia dan Syria. Grabar mengakhiri pemaparan tentang seni (sekular) Islam dengan sebuah pertanyaan pelik, yaitu: Bagaimana posisi industrialisasi seni dalam Islam? Dan apakah industrialisasi akan membentuk “produk” seni Islam baru? Grabar membiarkan pertanyaan ini terbuka, namun jika disandingkan dengan kondisi saat ini – ambil contoh industrialisasi seni busana Muslim di Indonesia – perubahan dalam simbol seni, akan secara nyata berujung pada perubahan identitas masyarakat islam itu sendiri.

Melalui The Formation of Islamic Art, Grabar berhasil meletakkan definisi serta memetakan bentang seni Islam. Tidak adanya organisasi terpusat seperti halnya organisasi Gereja Katolik memberikan Islam berkembang dalam banyak cara. Di satu sisi pola ini memberikan kebebasan bagi munculnya kretivitas baik gagasan maupun visual dalam jumlah yang tak terbayangkan. Namun disisi lain, luasnya interpretasi seni dalam Islam dapat memunculkan keterasingan antara satu interpretasi seni dengan interpretasi seni lainnya. Omar Khayyam adalah salah satu contoh ekstrem keterasingan ini. Ia adalah sufi bagi sebagian orang, namun pendosa bagi lainnya. Narasi tentang anggur yang kerap digunakan sang Pujangga membuat ia disangsikan sebagai sufi dan penolakan pada puisinya sebagai bagian dari sastra Islam. Tentu saja, jika mengacu pada definisi seni Islam yang dikemukakan oleh Grabar, penolakan terhadap Rubaiyat Omar Khayyam sebagai seni Islam dapat dipatahkan dengan mudah.

Titik ekstrim lain adalah penolakan simbol seni karena dipandang sebagai kesia-siaan dunia. Dalam penutup bukunya, Grabar mengemukakan paradoks ini sebagai ciri yang melekat pada sikap Islam terhadap seni dan estetika: Islam memunculkan sebuah ledakan artistik melalui puisi, musik, kaligrafi, tarian dan lukisan, sebagai upaya mencapai ilahi – yang memukau bukan hanya masyarakat Islam, tapi juga dunia. Tapi disaat yang sama membangun tembok beton anti-seni sebagai jaminan jalan surgawi. Dualisme sikap ini, adalah ciri tersendiri yang mencerminkan kebebasan interpretasi seni dalam Islam, hingga posisi yang saling bertentangan.

Sumber Bacaan:
Grabar, Oleg. 1973. The Formation of Islamic Art. London: Yale University Press
Jan Abas, Syed dan Amer Shaker Salman. 1995. Symmetries of Islamic Geometrical Patterns. Singapura: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
George, M. Kenneth. 2010. Picturing Islam. West Sussex: Blackwell Publishing

Share on:

Leave a Comment