Kitab Musik dalam Tradisi Islam (I): Beberapa Sumber Awal

Musik dalam Islam senantiasa berdiri pada pijakan canggung: diharamkan pada satu sisi, namun dirayakan pada sisi lain. Hadist Imam Al-Bukhori (Volume 7, Buku 69, Nomor 494)[1] kerap dijadikan pijakan untuk pelarangan, sedangkan interpretasi kultural dan sufisme memberikan fakta kuat bahwa musik memiliki ruang vital dalam Islam. Bukti kultural inilah yang menjadikan kajian tentang musik dalam Islam tidak selamanya berada tabu (Al-Qardawi dalam Saoud, 2004)–bahkan, apabila disandingkan dengan praktik seperti qira’ah (teknik membaca Qur’an), lagam adzan, talbiya (bacaan pada waktu Haji) dan tasbih (lagam dalam dzikir yang dalam praktik kemudian sering diiringi instrumen musik), ritme dan melodi memiliki fungsi esoterik tersendiri dalam masyarakat Muslim. Adapun posisi penulis masih sama: secara personal[2] mengamini pandangan tentang pentingnya musik dalam Islam sebagaimana telah diurai pada beberapa tulisan serupa (tentang kaitan musik dan Islam) yang telah dimuat webzine ini. Kali ini, uraian tentang beberapa sumber klasik bertujuan untuk melengkapi ulasan tentang tradisi musik Islam yang sebelumnya telah ditilik lewat pandangan Seyyed Hossein Nasr (1972; 1976). Sumber dalam tulisan ini disusun sesuai kronologis sebagai upaya untuk memahami pengaruh musik dalam perkembangan tradisi Islam–pengaruh, yang menurut Ibnu Zaila (dalam Farmer, 1925) sangat signifikan, hingga mampu menyentuh sisi spiritual seseorang–“Sound produces an influence in the soul in two directions. One of them is on account of its special composition (i.e., its musical composition), and the other is on account of its being similar to the soul (i.e., its spiritual composition)”. Tanpa berpanjang lebar lagi, berikut adalah beberapa kitab musik klasik dalam tradisi Islam.

Risala fi’l-Musiqa (Epistle on Music)

Risala fi’l-Musiqa (Epistle on Music) merupakan karya terjemahan bagian dari Bait al-Hikma, sebuah pusat penerjemahan dan observatorium astronomi yang didirikan dinasti Abbasiyah di bawah masa kepemimpinan Al-Ma’mun (9 Masehi). Berpusat di Kufah dan Bagdad, Bait al-Hikma memperkerjakan pakar terbaik untuk menerjemahkan karya-karya klasik Yunani ke dalam bahasa Arab. Ketersediaan teknologi kertas dari Cina, mendukung proses penerjemahan dan penyalinan dalam jumlah besar yang kemudian disebarluaskan ke pusat-pusat utama pemerintahan Abbasiyah, di antaranya: Kairo, Toledo, Bukhara dan Samarkand. Risala fi’l-Musiqa (Epistle on Music) sendiri merupakan hasil penerjemahan Ikhwan as-Safa yang merangkum gagasan-gagasan musik dari Aristoxenox, Aristotles, Euclid, Ptolemy, dan Nikomachos dari Gerasa (Saoud, 2004). Dalam pembuka, as-Safa mengurai (as-Safa dalam Pacholczyk, 1996): “We propose in this Epistle called “Music”, to study the art which is constituted at one and the same time of the corporeal and the spiritual. This is the art of harmony (ta’lif) which can be defined in terms of proportion”. Lebih lanjut, as-Safa mengurai keterkaitan astronomi dengan musik yang mencerminkan gagasan utama dalam filsafat Yunani klasik. Musik, sebagaimana bentuk budaya lain (seperti sastra dan arsitektur) diatur berdasarkan sembilan tatanan universal (dirangkum sebagai berikut): (1) Simbolisasi Pencipta: Yang Satu, abadi, tidak terkalahkan, dan tidak tergantikan; (2) Simbolisasi intelektual (‘aql): yang memungkinkan adanya oposisi (terang/gelap, baik/buruk, spirit/tubuh; (3) Simbolisasi Jiwa (nafs); (4) Simbolisasi materi (hayyah): bentuk ini merupakan representasi dari kesempurnaan matematis; (5) Simbolisasi Alam (tabi’ah); (6) Simbolisasi tubuh (jism); (7) Representasi tujuh planet; (8) Representasi delapan kualitas dari empat elemen (Bumi: dingin dan kering, Air: dingin dan basah, Udara: hangat dan basah, Api: hangat dan kering); (9) Representasi benda, seperti mineral, tanaman dan binatang. Dengan mengacu pada sembilan tatanan universal di atas, gagasan musik dalam Risala fi’l-Musiqa dijelaskan melalui hubungan antara fenomena astronomi yang dapat dilihat pada dua tingkat, yaitu tingkat simbolis (musik sebagai simbol relasi universal) dan tingkat representasi (mengacu pada rasio dan perhitungan matematis dalam musik) (Pacholczyk, 1996). Berikut adalah tabel representasi musik dalam Risala fi’l-Musiqa (Pacholczyk, 1996).

Musical Ratios and intervals (Pacholczyk, 1996)

Dalam tradisi Islam, gagasan kosmologis dalam Risala fi’l-Musiqa dikembangkan oleh Al-Kindi dan Al-Farabi dengan lebih lanjut mengaitkan gagasan-gagasan tersebut dalam konteks tradisi dan budaya Islam.

‘Ilm al-Musiqi (Science of Music)

Filsuf besar Al-Kindi meninggalkan warisan tak terhingga dalam khazanah musik Islam. Berkiprah pada abad 9 Masehi, al-Kindilah yang mengintegrasikan gagasan klasik Yunani klasik (di antaranya Plato, Aristoteles dan Phytagoras) dengan tradisi musik Islam yang ia kumpulkan dalam sebuah tema besar ‘Ilm al-Musiqi (terdiri setidaknya dari lima belas buku) (Saoud, 2003). Sayangnya, tidak semua bukunya bertahan; senada dengan Saoud, Shiloah (2001) menjelaskan bahwa al-Kindi menulis dua ratus enam puluh lima karya; namun, kebanyakan telah hilang. Diantara yang tersisa adalah karyanya berjudul Risala fi hubr ta’lif al-alhan (kajian tentang Komposisi Melodi) di mana al-Kindi menjelaskan ritme (iqa‘) dalam musik Arab. Selain itu, al-Kindi adalah musisi pertama yang memberikan deskripsi matematis dari kromatis dua belas skala nada dengan mengidentifikasi nada-nada yang lebih rendah dan “oktaf” atas, serta uraian tentang kualitas nada (Isgandarova, 2015). Saoud (2003) menambahkan dua pengaruh lain dari warisan ‘Ilm al-Musiqi, yaitu: pertama, ia melakukan penambahan nada pada ‘ud (lute) yang oleh para penstudi dipandang sebagai instrumen paling sempurna dan paling cocok untuk penjelasan teorisasi musik; kedua, al-Kindi merupakan salah satu penggagas awal musik theurapetik dengan menggabungkan konsep-konsep musik dengan dunia pengobatan. Dua warisan ini menjadikan gagasan al-Kindi berpengaruh pada konsepsi musik barat yang berkembang kemudian (khususnya tradisi Flamenco di Spanyol). 

Lute – Legacy of al-Kindi

Kitab al-Musiqa al-Kabir (the Great Book of Music)

Al-Farabi dikenal sebagai Guru Kedua dalam filsafat barat (dengan Aristoteles sebagai Guru Pertama). Posisi terkemuka dalam dunia filsafat menghantarkannya pada penulisan Kitab al-Musiqa al-Kabir, atas permintaan dari Abu Ja’fari Muhammad bin al-Qasem Karki pada kisaran abad 10 Masehi. Permintaan tersebut cukup spesifik: yaitu menjelaskan ulang musik Arab melalui pendalaman filsafat klasik Yunani–satu hal yang telah diinisiasi oleh al-Kindi satu abad sebelumnya. Atas permintaan tersebut, alih-alih tunduk pada pembacaan musik Yunani klasik, al-Farabi malah melalukan sebaliknya. Ia menemukan kelemahan serius dan mengkritik interpretasi teoritis musik Yunani. Sebagai contoh, menurut al-Farabi, al-Kindi gagal memiliki pendekatan kritis terhadap bahasa Yunani yang menjadikan teori dan analisa musiknya hanya bagian dari retorika politik semata (Isgandarova, 2015). Atas landasan ini, Al-Farabi menggali kembali fonologi, prosodi, puisi, dan retorika Yunani Klasik untuk menjelaskan kembali teori musik yang telah berkembang sebelumnya. Selain kritik atas teori musik Yunani, al-Farabi juga mengeksplorasi sumber-sumber musik Islami, khususnya Khalil bin Ahmed dan Ishaq Al-Mawsili, untuk memberikan komparasi seimbang atas pembacaan Yunani dengan tradisi musik yang hidup di masyarakat Arab. Selain warisan teorisasi musik, al-Farabi merupakan inventor dua alat musik yang hingga kini masih digunakan, yaitu rebab dan qanun (kecapi tradisional Arab).

Qanun

Kitab Al-Aghani (Books of Songs)

Kitab Al-Aghani ditulis oleh Abu al-Faraj al-Isfahani pada abad 10 Masehi, merupakan salah satu sumber tertua (yang tertulis dan masih ada) tentang musik dan lagu yang hidup dalam tradisi Islam. Al-Isfahani hidup pada kisaran 897 hingga 971 Masehi dan menghabiskan lebih dari lima puluh tahun masa hidupnya untuk menulis Kitab Al-Aghani. Sumber penulisannya adalah musisi dan penyair di empat kota besar Muslim saat itu: Madinah, Mekkah, Damaskus dan Baghdad. Selain itu, terdapat pula referensi musik yang mengacu pada tulisan musisi Persia kenamaan, Ishaq Al-Mawsili, yang berkiprah satu abad sebelumnya (namun, tulisan tersebut kini hilang). Sawa (1947) mengungkap kekaguman Ibnu-Khaldun atas Kitab Al-Aghani dengan menyebutnya sebagai “buku yang merangkum secara menyeluruh tentang syair, sejarah dan musik dari abad lampau”, mengacu pada rentang ulasan Al-Isfahani yang juga membahas musik dan syair masa pra-Islam dan pengaruhnya pada musisi yang hidup dalam tradisi Islam seperti Sa’ib Khatir (7 Masehi), Tuwais, Ibnu Mijjah dan tentu saja, Ishaq Al-Mawsili (8 Masehi). Dalam pembuka, Al-Isfahani menyebut bahwa tujuan dari penulisan Al-Aghani tidak lain untuk memberikan gambaran tentang warisan musik dan syair dari masa lalu–dengan kata lain, sebuah antologi. Namun, penstudi musik tradisi Islam kemudian menempatkan Al-Aghani lebih dari sekedar kumpulan lagu semata, karena pada setiap komposisi musik dan syair yang ia tulis Al-Isfahani menambahkan konteks sejarah hingga komentar filosofis. Gaya penulisan ini menjadikan Al-Aghani berfungsi layaknya jembatan penghubung antara periode pra-Islam dengan tradisi musik yang kemudian hidup dalam masyarakat Muslim. Kini, Al-Aghani memiliki posisi ganda (Kilpatrick, 2003): diakui secara umum sebagai salah satu pionir buku musik dalam tradisi Islam, sekaligus mahakarya dalam lingkup sosio-historis Arab.

Kitab Musik Al-Aghani
Kitab Al-Aghani Cover

***

Selain keempat karya di atas, terdapat nama besar lain seperti Ibnu Sina dan al-Ghazali–yang walau tidak mengkhususkan penulisan sebuah buku untuk musik, namun memberikan kontribusi besar untuk perkembangan musik dalam tradisi Islam. Kontribusi lain, yaitu lanskap sosio-historis, juga tidak kalah penting untuk dibahas dan akan menjadi menu untuk tulisan bagian selanjutnya. Untuk tulisan kali ini, ungkapan al-Ghazali saya jadikan penutup–karena menarik, sekaligus menggelitik, ujarnya (al-Ghazali dalam Saoud, 2003): “it is not possible to enter the human heart without passing the antechamber of the ears. The musical, measured subject, emphasis what is there in the heart and reveal the beauties and defects”.

 

Sumber Gambar:
Musicians in Ottoman Aleppo, 18th century (Wikimedia Commons)
Musik Arab (wikiwand)
Qanun (Wikimedia commons)
Kitab Al-Aghani Cover (Wikimedia commons)


Sumber Bacaan:
Al- Bukhori. (2009). Shahih Bukhori (Terj. M. Muhsin Khan). Volume 7, Buku 69, Nomor 494v: 1251.
Farmer, H. G. (1925). The Influence of Music: From Arabic Sources. Proceedings of the Musical Association, 52nd Sess: 89-124.
Isgandarova, N. (2015). Music in Islamic Spiritual Care: A Review of Classical Sources. Religious Studies and Theology, 34 (1): 101–113.
Kilpatrick, H. (2003). Making the Great Book of Songs: Compilation and the Author’s Craft in Abu al-Faraj al-Isbahani’s Kitab al-Aghani. New York: Routledge.
Nasr, S. H. (1972). The Influence of Sufism on Traditional Persian Music. (terj. by W. Chittick). Studies in Comparative Religion: 225ff.
Nasr, S. H. (1976). Music and Islam. Studies in Comparative Religion, Vol. 10, No. 1. World Wisdom, Inc.
Pacholczyk, J. (1996). Music and Astronomy in the Muslim World. Leonardo, 29 (2): 145-150.
Saoud, R. (2004). The Arab Contribution to Music in the Western World. Foundation for Science Technology and Civilization: 1-26.
Sawa, G. (1947). An Arabic Musical and Socio-Cultural Glossary of Kitab Al-Aghani. Leiden dan Boston: Brill.
Shiloah, A. (2001). Music in the World of Islam: A Socio-cultural Study. Detroit, MI: Wayne State University Press.

Keterangan:
[1] Narrated Abu ‘Amir or Abu Malik Al-Ash’ari:
that he heard the Prophet saying, “From among my followers there will be some people who will consider illegal sexual intercourse, the wearing of silk, the drinking of alcoholic drinks and the use of musical instruments, as lawful. And there will be some people who will stay near the side of a mountain and in the evening their shepherd will come to them with their sheep and ask them for something, but they will say to him, ‘Return to us tomorrow.’ Allah will destroy them during the night and will let the mountain fall on them, and He will transform the rest of them into monkeys and pigs and they will remain so till the Day of Resurrection.”
[2] Pandangan personal dan bukan representasi dari editorial.

Share on:

Leave a Comment