Nama Honoré de Balzac berada pada lingkar utama sastrawan Perancis bersama sederet nama besar lain seperti Victor Hugo, Gustave Flaubert, Emile Zola hingga Stendhal (alias Henri-Marie Beyle). Ia memiliki posisi seperti Dickens dalam sastra Inggris atau Tagore dalam sastra Bengali–sebagai sastrawan merangkap sosiolog yang merangkum denyut nadi masyarakat pada jamannya. Hal ini sejalan dengan ungkapan Du Camp (dalam Paul, 1987) yang menyatakan: “jika seseorang ingin menulis tentang Louis-Philippe[1], maka ia harus bertanya pada Balzac, karena tidak ada satupun buku sejarah yang mampu menandingi penggambaran Balzac atas Louis-Philippe”. Cakupan perhatian Balzac tidak terhenti pada golongan elit semata karena hampir tidak ada ceruk di masyarakat yang luput dari pengamatan panoramik Balzac. Melalui karya utamanya yang berjudul La Comédie Humaine, Balzac mengurai bentang sosial Perancis paska era Napoleon[2]. Namun, uraian Balzac kali ini tidak mengacu pada novel magnus opus sang penulis (yang akan dipaparkan pada bagian berikutnya)–sebagai pembuka, mari kita nikmati adu perspektif dalam cerita pendek Balzac berjudul Le Chef-d’œuvre inconnu (Unknown Masterpiece, 1831).
Cerita pendek dua bagian ini berpijak pada lima tokoh–tidak ada penokohan utama karena satu akan menjadi cermin bagi yang lain. Tiga diantaranya adalah: pelukis terkenal bernama Porbus, patron kaya sekaligus kritikus bernama Frenhofer dan seorang pelukis pemula bernama Poussin. Dua lainnya adalah kekasih Poussin bernama Gillette dan model lukisan Frenhofer, Catherine Lescault. Kisah berawal ketika suatu pagi, Poussin berniat untuk menemui Master Porbus, idolanya. Ketika tengah membulatkan tekad untuk mengetuk pintu kediaman Porbus, ia dikagetkan dengan kehadiran seseorang yang tidak lain adalah Frenhofer. Ketika Porbus membuka pintu, maka dimulailah uraian Balzac tentang dua permasalahan utama dalam seni lukis, yaitu: (1) jejak maestro terdahulu yang senantiasa menjadi beban komparasi bagi setiap pelukis, dan (2) bahwa lukisan adalah ekspresi dari alam, dan bukan imitasi. Poussin membisu ketika pelukis pujaannya dibombardir kritik oleh Frenhofer yang nampaknya hapal betul dengan segala seluk beluk dunia lukisan. Frenhofer menyebut lukisan Probus sebagai upaya gagal dalam menghidupkan kembali persisi maestro Jerman dan gairah lukisan Itali. Sejumlah nama maestro lukis dan keunggulannya kemudian dipaparkan Frenhofer, mulai dari Albrecht Durer hingga Hans Holbein, juga Titian hingga Paul Veronese (sedangkan Porbus hanya diam tak bedaya). Tidak tega melihat sang idola diperlakukan demikian oleh kritikus yang bahkan tidak terkenal, Poussin angkat bicara dengan mengatakan, “Why, my good man, the Saint is sublime!”. Interupsi Poussin lalu memperluas dialog tentang seni yang masih diurai Balzac, hampir dua halaman kemudian.
Dari awal penceritaan Le Chef-d’œuvre inconnu, jelas bahwa Balzac berniat untuk mengungkap perdebatan seni melalui sudut pandang tokoh-tokohnya. Layaknya lukisan, setiap tokoh mewakili satu perspektif. Pasco (2016) mengutip sebuah ungkapan Tahiti ketika mencoba memahami karya-karya Balzac: “there were neither true nor false, neither good nor evil, neither beautiful nor ugly”–dan nampaknya sudut pandang inipun ditemukan pula dalam Le Chef-d’œuvre inconnu. Relasi antar para tokohnya menghidupkan sekaligus mematikan–dan sasaran Balzac lebih dari sekedar bentuk argumen tentang seni saja, tapi menampilkan makna eksistensialisme yang dapat hilang dalam sekejap mata. Untuk lebih jelasnya, uraian tentang perspektif setiap tokoh akan membantu pemahaman tentang pernyataan di atas (bayangkan sebuah metode isolated track dalam rekaman musik, maka uraian perspektif inipun, secara imajiner, menggunakan analogi demikian).
Adu Perspektif Tokoh-tokoh Honoré de Balzac
Poussin
Tidak ada alasan lain untuk memunculkan Poussin sebagai tokoh pertama selain karena kemunculannya di awal cerita. Balzac menyebutnya sebagai neophyte, seseorang yang baru mendalami sebuah subjek. Dalam kasus Poussin, subjek tersebut adalah karya lukis. Ia mewakili sudut pandang pelukis pemula yang berpandangan bahwa cahaya adalah segalanya (untuk menentukan sudut pandang lukisan). Dalam setiap adegan, tokoh Poussin selalu tertarik pada cahaya–seperti ketika Porbus membuka pintu studio, keberadaan yang pertama kali disadari Poussin adalah cahaya yang masuk dari atap dan hanya menerangi sebagian ruangan. Demikian pula pada adegan lain ketika ia bertemu Gillette – Poussin menyadari keberadaan cahaya dari jendela terlebih dahulu, baru keberadaan kekasihnya kemudian. Balzac menggambarkan Poussin sebagai “so overcome by the consciousness of his own presumption and insignificance”–dengan kata lain: dalam pandangan Poussin, cahaya lebih mengada daripada eksistensi dirinya sendiri. Perspektif Poussin akan meredup sejalan jalan cerita berlanjut, pada akhirnya, ia menemukan seni tidak pada eksposisi cahaya, tapi di sudut gelap studio yang tidak tersentuh (cahaya) matahari.
Porbus
Perspektif bagi Porbus adalah kenyataan itu sendiri, dan pandangan ini terangkum pula dalam lukisan-lukisannya. Ambisinya mendekati dewa yang mampu menghidupkan setiap denyut dalam nadi lukisannya. Baginya: ketika melukis langit, maka ia melukis langit; juga ketika melukis tentang tubuh, maka ia melukis tubuh. Namun, pandangan ini hancur berkeping-keping ditangan Frenhofer yang nampaknya tidak memiliki pekerjaan lain selain mengkritik lukisan Porbus. Senjata terkahir Frenhofer adalah argumen bahwa “seni adalah ekspresi, bukan imitasi”, dan Porbus pun dibuat tidak berdaya karenanya. Sedangkan pembelaan Poussin atas kritikan terhadap karya idolanya, hilang seperti angin lalu.
Frenhofer
Sosok Frenhofer mengingatkan pada dialog dalam film Through the Glass Darkly karya Ingmar Bergman. Minus, salah tokoh dalam film tersebut berujar, “pelukis yang paling hebat adalah pelukis tanpa lukisan”. Demikian pula Frenhofer, sang patron kaya yang tahu banyak tentang lukisan namun belum pernah sekalipun menorehkan cat pada kanvasnya sendiri (ia mengambil kuas hanya untuk memperbaiki lukisan Porbus agar sesuai dengan keinginannya). Karena tanpa lukisan, maka visinya adalah ideal dan perspektif ia letakkan tinggi sejajar dengan kesempurnaan para maestro dunia. Sampai suatu ketika Porbus menceritakan tentang Gillette, model cantik dalam lukisan Poussin yang tidak ada duanya. Keberadaan lukisan Gillette menjadi tantangan tersendiri bagi Frenhofer, dan ia menetapkan diri untuk membuat sebuah karya: lukisan (perempuan) sempurna yang tidak ada tandingannya. “Aha! you did not expect to see such perfection!” adalah ungkapan Frenhofer ketika ia memarkan lukisannya. Yang ia tidak perhitungkan hanyalah satu: perspektif Poussin dan Porbus yang justru menjadi penghakiman telak atas visi idelanya.
Gillette
Nama Gillette digunakan sebagai judul bagian pertama dalam Le Chef-d’œuvre inconnu. Namun, tidak lama untuk menyadari bahwa walaupun namanya dijadikan judul, Gillete tidak ada disana. Yang ada adalah “karya seni”–keberadaan Gillette sebagai kekasih Poussin berakhir ketika ia menjadi model lukisan. Gillette sadar betul akan konsekuensi tersebut, dan ia pun mengutuk dalam diam mata para pelukis yang telah membawa kematian pada dirinya, bentang alam, atau apapun yang secara sepihak dijejalkan dalam bingkai lukisan.
Catherine Lescault
Jika Gillette mati dalam bingkai lukisan, bagi Catherine Lescault adalah sebaliknya. Catherine adalah tokoh khayal yang diciptakan Frenhofer yang ia gadang-gadang sebagai lukisan sempurna. Namun ternyata, keberadan Catherine hanya ada dalam perspektif Frenhofer. Sang pelukis mendapatkan pukulan telak ketika Porbus dan Poussin mengelak kesempurnaan lukisannya–“Do you see anything?” Poussin asked of Porbus.“No… do you?”. “I see nothing”–kata “nothing”[3] seketika menghancurkan eksistensi Catherine Lescault dan seluruh visi ideal Frenhofer. Ia lantas membakar “masterpiece”nya lalu bunuh diri sehari kemudian.
Kematian Frenhofer menutup adu perspektif dalam Le Chef-d’œuvre inconnu. Seperti tragedi pada umumnya, Balzac tidak menyisakan satu pun dari tokohnya untuk luput dari pertempuran (perspektif) yang membabi buta.
Sumber:
Balzac. H. 1831. The Unknown Masterpiece. Project Gutenberg.
Du Camp, M. 1906. Souvenirs littéraires. 2 vols. Hachette: Paris (terjemahan, Paul, Frank, 1987, Cerf: London).
Kear, J. 2010. “Cézanne’s Nudes and Balzac’s Le Chef-d’œuvre inconnu”, Cambridge Quarterly, Volume 35, Issue 4, 345-360.
Pasco, Allan. 2016. Balzac: Literary Sociologist. Palgrave Macmillan: New York
Keterangan:
[1] Raja Louis-Phili ppe berkuasa dari tahun 1830 hingga 1848
[2] Era Napoleon berkisar antara tahun 1799 hingga 1815, sejak revolusi Perancis hingga kekalahan Napolen di Waterloo
[3]Kekuatan kata “nothing” lainnya dapat ditemukan dalam drama King Lear karya Shakespeare, ketika Sang Raja bertanya pada putrinya Cordelia, “What can you say to draw/A third more opulent than your sisters? Speak.” Cordelia replies, “Nothing, my lord”. Dan Sang Raja menjadi gila karenanya.
kontak via editor@antimateri.com