Honoré de Balzac (Bagian Kedua): La Comédie Humaine

Harus saya akui bahwa pertemuan saya dengan karya-karya Balzac terbilang sangat terlambat. Jika dibandingkan dengan karya sastrawan perancis lain seperti Victor Hugo, Emile Zola, atau Flaubert, karya Balzac baru belakangan saya tekuni–itupun dengan cara yang agak muter-muter. Nama Balzac pertama kali saya dengar melalui kilasan adegan film berjudul Boudu sauvé des eaux (Boudu Saved from Drowning), yaitu ketika Boudu, sang gelandangan anarkis, meludahi buku Balzac dan Voltaire sebagai sindirannya terhadap tatanan nilai sosial Perancis. Lama setelahnya, saya menemukan kembali Balzac dalam novel karya Dai Sijie berjudul Balzac and the Little Chinese Seamstress, sebuah kisah berlatar revolusi budaya Cina dan pelarangan segala bentuk bacaan (kecuali buku karya Mao), membuat karya Balzac adalah harta karun yang harus disembunyikan keberadaannya. Rasa penasaran yang semakin menumpuk menghantarkan saya pada karya Balzac berjudul Le Chef-d’œuvre inconnu dan berlanjut pada karya-karya lainnya. Sehingga sampailah saya pada karya monumental Balzac, La Comédie Humaine, sebuah magnum opus sastra yang terdiri dari 91 karya (novel, cerita pendek dan esay), menjadikan La Comédie Humaine sebuah dunia tersendiri yang lahir dari goresan pena Balzac.

Judul La Comédie Humaine (ditulis pada rentang 1829 hingga 1848), memaksa kita untuk membandingkannya dengan Divina Commedia yang digubah Dante Alighieri lima abad sebelumnya. Balzac sendiri tidak pernah menyatakan adanya pengaruh lansung sang penyair abad petengahan tersebut pada karyanya (Pasco, 2016), namun, entah kebetulan semata atau disengaja, La Comédie Humaine memiliki tiga struktur: Etudes de Moeurs/study of manners, Etudes philosophiques/study of philosophy, Etudes analytiques/study analytics–menyerupai tiga struktur Divina Commedia karya Dante yang terdiri atas Inferno, Purgatorio dan Paradiso. Terlepas dari kemiripan yang ada, Balzac yang bersikukuh menyebut dirinya sebagai “sekretaris sejarah Perancis”, berhasil menggambarkan secara detil tentang lanskap sosial Perancis paska Napoleon. Alhasil La Comédie Humaine menjadi bagian penting dari sejarah karena keberhasilannya merangkum gerak emosi dan gagasan kalangan bawah masyarakat Perancis yang luput dalam teks-teks sejarah[1]. Menurut pandangan Balzac, sikap apatis seorang tukang roti sama berharganya dengan gagasan konservatisme seorang elit politik–dan pada lorong-lorong (tidak tercatat dalam sejarah) inilah, kita bertemu tokoh seperti Si Tua Goriot dan kedua putrinya, Ursula Mirouët yang saleh, pemuda nan sensitif Louis Lambert dan tokoh-tokoh lain yang muncul berulang dalam La Comédie Humaine. Kisah mereka membentuk sebuah gagasan generatif (l’idée mere) tentang masyarakat Perancis ditengah goncangan nilai paska revolusi (Gemie, 1989).

Balzac dalam Etudes sur M. Beyle (1840), mendefinisikan konsep l’idée mere sebagai sebuah prinsip atau jaringan gagasan yang mampu menjelaskan sebab-akibat atas sebuah tatanan dunia yang tengah berubah. Untuk tujuan tersebut, Balzac membangun tiga struktur La Comédie Humaine dengan penjelasan sebagai berikut:

  1. Etudes de Moeurs/study of manners
    Pada bagian ini Balzac menggambarkan dampak perubahan masyarakat dari berbagai sudut pandang yang mencakup beragam kelas sosial, gender hingga usia. Studi ini dibagi kedalam enam bagian: Skena Kehidupan Pribadi (Scènes de la vie privée); Skena Kehidupan Pinggiran (Scènes de la vie de province); Skena Kehidupan Paris (Scènes de la vie parisienne); Skena Kehidupan Politik (Scènes de la vie politique); Skena Kehidupan Militer (Scènes de la vie militaire); dan Skena Kehidupan Desa (Scènes de la vie de campagne). Dalam Etudes de Moeurs, Balzac merangkum beragam tipe individu dan reaksinya terhadap perubahan sosial. Melalui narasi realis, Etudes de Moeurs memberikan ilustrasi tentang beragam permasalahan yang lekat dalam masyarakat Perancis kala itu, seperti mimpi borjuis yang jauh dari kenyataan, kehidupan politik kelas bawah yang tidak lebih dari kebencian terhadap aristrokrat, hingga kisah cinta yang kandas di jalanan kota Paris.
  2. Etudes philosophiques/study of philosophy
    Ketika Etudes de Moeurs menggambarkan tentang respon masyarakat dalam menghadapi perubahan nilai, maka dalam Etudes philosophiques menjelaskan tentang sebab musabab perubahan tersebut. Etudes philosophiques terdiri dari 21 novel, cerita pendek dan essay. Pada bagian ini, narasi/komentar sosial berganti wujud menjadi perenungan individu tentang beragam fenomena. Mengambil kutipan Diderot yang menggambarkan era post-Napoleon sebagai “the instability of everything!”, tokoh-tokoh Balzac berkutat dalam penentuan nilai yang rumit. Ketika tidak ada lagi standar baku yang berlaku, maka tidak ada lagi patokan pada benar atau salah, pada kebaikan atau kejahatan, juga pada keindahan atau keburukan. Kekacauan nilai ini digambarkan melalui rentang studi filsafat yang mencakup beragam persoalan mendasar manusia. Dalam Loius Lambert, contohnya, Balzac menyasar tentang dasar-dasar emosi manusia; dalam Les Proscrits, Balzac mengangkat hubungan antara intelektualitas dan kematian; sedangkan dalam Le Chef-d’oeuvre inconnu, Balzac mendiskusikan tentang perkembangan perspektif seni lukis. Sebuah perbandingan cukup kentara antara Etudes de Moeurs dan Etudes philosophiques adalah: jika bagian pertama dipenuhi komentar sosial realis, maka bagian kedua menggunakan narasi khas penulis modern yang membedah gagasan manusia hingga relung paling dalam.
  3. Etudes analytiques/study analytics
    Bagian ketiga dari La Comédie Humaine mejelaskan tentang prinsip-prinsip yang lahir dari perubahan sosial dan kekacauan nilai paska revolusi. Studi ini tidak kalah pentingnya dari kedua studi sebelumnya karena pada bagian inilah Balzac menjelaskan benang merah yang mendasari beragam tindakan manusia. Ketika nilai agama, patokan hukum, ucapan tokoh politik dan gagasan intelektual tidak lagi dipercayai publik, maka masyarakat berpaling pada satu-satunya sumber otoritas yang masih berlaku, yaitu: uang. Akibatnya, peran uang menjadi krusial dalam menjelaskan berbagai prinsip sosial seperti individualisme dan kapitalisme yang berkembang pesat paska revolusi.  Dalam pandangan Balzac, setiap keputusan, pemikiran dan tindakan didasarkan pada  kekuatan multak dari alat ekonomi tersebut–the omnipotence, the omniscience, the omniexpediency of money. Prinsip inilah yang kemudian menjadi fondasi l’idée mere bagi Balzac, yaitu sebagai penjelas sebab sekaligus prediksi akan masa depan. Sains yang berfungsi sebagai katalis progresifitas pada masa renaisan, digantikan oleh fungsi omnipoten uang sebagai katalis perubahan pada abad sembilan belas. Balzac merangkum prinsip generatif ini dalam dua novel: Physiology of Marriage (Physiologie du Mariage) dan Little Miseries of Conjugal Life (Petites misères de la vie conjugale). Pemilih tema kehidupan pribadi ternyata mampu memberikan penekanan: bahwa prinsip universal (the widespread, driving self-centered need for money could be summarized with the image of gold), telah meresap hingga struktur sosial terkecil, yaitu struktur pernikahan.

Gambaran detil perubahan masyarakat dalam La Comédie Humaine mengingatkan kembali pada novel semi biografi Dai Sijie berjudul Balzac and the Little Chinese Seamstress yang menjadi pemicu bagi saya untuk membaca Balzac. Pantas saja karya-karyanya dilarang pada masa revolusi kebudayaan Cina, bukan hanya karena kekuatan estetikanya yang mampu membangun imajinasi dan visi baru, tapi juga kekuatan implisit karya-karya Balzac yang mendorong kontemplasi pada nilai-nilai sosial yang berlaku. Ternyata bukan hanya Cina yang berkeberatan karya Balzac dibaca masyarakat luas, Inggris pun pernah melakukan hal serupa karena karya Balzac dipandang terlalu vulgar bagi publik inggris saat itu (era Victoria[2]). Hal ini berimbas pada minimnya penterjemahan kedalam bahasa Inggris dan berbagai bahasa lainnya, sehingga walaupun Balzac merupakan figur sentral dalam sastra Perancis, ketenarannya kalah jauh jika dibandingkan dengan Victor Hugo, Jules Verne atau Alexandre Dumas. Namun jika saja “sang sekretaris sejarah” masih hidup, rasanya ia tidak perlu terlalu khawatirkan–karena walaupun namanya tidak sementereng Hugo atau Verne–Balzac telah diakui sebagai penulis terhebat dalam menggambarkan “ketidakbahagiaan, ketidakpastian, dan kekacauan di era revolusi”. Dalam Pere Goriot, Balzac mengungkap visi artistiknya, bahwa: “the real art is in getting them clean again, and therein lies the whole morality of our epoch”.

Sumber:
Gemie, Sharif. (1989). Balzac and the Moral Crisis of the July Monarchy. European History Quarterly 19: 469–94.   

Pasco, Allan. (2016). Balzac: Literary Sociologist. Palgrave Macmillan: New York

Keterangan:
[1] Sejarah seringkali bersumber dari catatan kenegaraan, tatanan hukum, atau dari surat/korespondensi kalangan elit; yang tentunya jarang menyentuh pemikiran masyarakat kalangan bawah. Kekosongan inilah yang menjadi gagasan awal penulisan  La Comédie Humaine (Pasco, 2016) 

[2] Inggris di bawah kekuasaan ratu Victoria (1837-1901), ditandai dengan perkembangan pesat teknologi, namun tetap memegang teguh nilai-nilai konservatisme

Share on:

1 thought on “Honoré de Balzac (Bagian Kedua): La Comédie Humaine”

  1. sayang karya balzac gak banyak yang diterjemahin ke indo. padahal dalam literatur sampai sekarang pengaruhnya masih terasa. gak hanya di perancis yang meureun bisa dikatakan sebagai peletak dasar karakteristik (stereotip) perancis, kalo gak salah dostoevsky memulai karir literaturnya dari penerjemah balzac. gak hanya di literatur, sampai marx dan engel pun suka dia, apalagi dalam film new wave orang semacam truffaut dan rohmer jelas terpengaruh.

Leave a Comment