Strindberg (Bagian 2): Modernist-Nihilist

August Strindberg selalu digambarkan sebagai sosok liar, senantiasa memposisikan diri pada dua sisi spektrum bersebrangan: feminist namun kerap dipandang misogynist, atheist merangkap penstudi mistis, naturalist sekaligus supranaturalist. Dahlström (1949: 1) menggambarkan Strindberg sebagai, “a kind of artistic colossus having one foot resting uncertainly on the crumbling old and the other seeking support on the yet unstable new. Dengan kata lain, Strindberg adalah pujangga dengan satu kaki berpijak pada ketidakpastian, dan ketidakstabilan di kaki lain. Posisi ini juga tergambar dalam karya-karyanya yang bergerak antara dramaturgi dan seni narasi. Yang pertama–komposisi drama–ia geluti dengan segenap hati; namun yang kedua–seni narasi dalam bentuk novel–adalah selingan semata, sebagai sumber penghasilan tambahan ketika musim teater sudah lewat. Terlepas dari posisinya–antara yang utama atau sampingan–, dua bentuk karya Strindberg (drama dan novel) memiliki reputasi tersendiri dan dikenal sebagai patokan seni modern kesusastraan Swedia. Ulasan singkat kali ini akan membahas keduanya, dengan disclaimer: tidak ada definisi ajeg dalam dunia gagasan Strindberg, bersiap-siaplah dengan paparan nihilism yang kadang membuat pembaca gemas dan uring-uringan.

~~~

Dramaturgi Strindberg: Ter-modern dari yang Modern

Strindberg still remains among the most modern of moderns” diungkap oleh Stockenstrom (1988) dalam pembuka buku berjudul Strindberg’s Dramaturgy; sebuah buku pembuka yang tepat bagi siapapun yang tertarik untuk menggeluti komposisi drama Strindberg. Karya berjudul Fritdnkaren (The Freethinker) (1870), mengawali karir Strindberg sebagai penulis naskah drama. Dalam perkembangannya, terdapat beberapa judul lain yang lekat dengan reputasi sang maestro, diantaranya: Miss Julie, The Father, A Dream Play, The Ghost Sonata, Stronger, dan Easter. Namun, Strindberg bukanlah tipe penulis dengan gagasan yang linear: gagasan yang satu akan bersinggungan, tumpang tindih, atau bahkan kontras atas gagasan lainnya. Humanisme, contohnya, gagasan ini kental ditemukan pada karya-karya awal Strindberg, namun memudar, bahkan hilang sama sekali pada naskah selanjutnya. Demikian pula dengan ragam pendekatan lain: mulai dari sejarah, psikoanalisis, feminisme (soal satu ini banyak diperdebatkan; karena apakah Strindberg tetap dapat dianggap feminist ketika sang tokoh wanita ia biarkan memilih bunuh diri dan menyerah pada keadaan), naturalisme, ekspresionisme, hingga mistis dan surrealisme. Tokoh dalam Strindberg bisa sangat kritis di satu babak, namun lirih dan submisif pada babak lainnya.

Pola non-linear di atas dijelaskan oleh Dahlström (1949: 6) sebagai “Wujud dari pertarungan internal individu yang mencari kebebasan; sehingga tidak aneh jika dibalik kekuatan antropomorfik [sang tokoh], muncul mimpi-mimpi yang sulit dikenali”. Pertarungan internal inilah yang memberi jalan pada kehadiran drama modern: karena pengalaman manusia tidak lagi dijabarkan oleh kekuatan yang lebih tinggi (otoritas agama atau kekuasaan), tapi oleh desakan diri yang mencari kebebasan. Pertarungan brutal dalam diri dan kondisi kemudian berkembang pesat pada awal abad 20 melalui teater modern ala Bertolt Brecht (dengan Baal-nya) atau Samuel Beckett (dengan Godot-nya). Namun, ketika dunia teater semakin merangkul gagasan modern; sang biang kerok malah melenggang pergi dan lantas bergelut dengan mimpi-mimpi sublim.

A Dream Play ditulis pada tahun 1901 namun baru enam tahun kemudian drama tersebut berhasil ditampilkan sebagai aksi utama pada The Swedish Theatre. Salah satu hambatan berasal pada perubahan gaya yang teramat drastis jika dibandingkan dengan karya-karya Strindberg sebelumnya. A Dream Play dimainkan tanpa pemeran utama, berkutat pada fragmen mimpi yang dapat berubah seketika. Kritikus menyebutnya “rambling narrative” (narasi ngelantur); namun tidak dalam konotasi negatif–karena ternyata, gaya rambling dibutuhkan untuk menyajikan sebuah narasi yang “tidak menghakimi, melankoli, sekaligus menyajikan penderitaan yang tidak mampu diungkapkan” (Stockenstrom, 1988). Perubahan gaya dan eksperimentalisme menjadi pola yang dikenali dalam naskah-naskah Strindberg selanjutnya. Dalam konteks ini, ia (lagi-lagi) berada di garis depan dalam pengukuhan pola dramaturgi modern; bahwa yang terpenting dalam teater bukanlah cerita, babak, atau karakter, tapi diskursus dengan khalayak dan kondisi sosial. Dalam perkembangannya, dramaturgi jenis ini baru menjadi populer dua dekade setelah Strindberg berkiprah, yaitu ketika dunia dihantam ketidakpastian melalui perang dunia I dan II.

Novel Autobiografi: Menulis (Novel) sebagai Sampingan

Penulisan novel adalah ekspresi bentuk lain yang digunakan Strindberg untuk membangun gagasan-gagasannya. Namun, berbeda dengan seni teater yang menjadi perhatian utama sang maestro, penulisan novel berada pada posisi selingan (Johannesson, 2023: 2): “As therapy, as pamphleteering, as a way to make money when the theaters were closed to him”. Johannesson (2023) juga mengungkap bahwa tidak seperti dramawan merangkap penulis lainnya (sebut saja Henry James atau Flaubert), Strindberg tidak sepenuhnya mendalami seni narasi dalam penulisan fiksi. Ia, menurut Johannesson (2023), tidak menyukai hal-hal palsu; alhasil ia memutuskan untuk menulis tentang dirinya sendiri atau apa saja yang ada di sekelilingnya. Inilah salah satu alasan mengapa banyak dari novel karya Strindberg merupakan autobiografi. Adapun ragam tema, seperti: roman Gotik, fabel, mitos, jurnal, atau monolog, mengacu pada pengamatan kehidupan di sekelilingnya, atau respon pada kondisi sosial. Ragam tema dapat dilihat dalam jajaran karya novelnya: The Red Room, Progress, The Son of a Servant, The People of Hemsd, The Defense of a Fool, The Romantic Organist, A Witch, By The Open Sea, Black Banners, dan yang tidak kalah terkenal dari naskah dramanya, Inferno.

Mengacu pada posisi sampingan, kritik sastra menyebut bahwa gaya penulisan novel Strindberg kadang terasa terburu-buru. Namun, untuk ini sang maestro punya alasan: “menangkap kata-kata lebih utama dari menambahkan cerita”–adalah gaya yang lantas melekat pada novel-novel Strindberg. Gaya lain yang melekat adalah novel autobiografi, dimana gagasan dan cerita hanya mengarah pada narasi karakter protagonist tanpa mempedulikan narasi lain–seperti penggambaran lokasi ataupun waktu (untuk kedua narasi tersebut, novel-novel Dickens merupakan salah satu contoh terbaik). Pada novel-novel autobiografi Strindberg, Johannesson (2023) menemu sebuah benang merah: bahwa terdapat hubungan antara eksposisi jiwa sang penulis dengan keinginannya untuk melampaui keterbatasan realita. Upaya melampaui kekangan realita ini bersinggungan dengan alur modernisme dalam naskah-naskah dramanya, dan menjadi bentuk novel proto-modernisme yang selanjutnya dikembangkan oleh Hermann Hesse atau Virginia Woolf pada awal abad 20.

~~~

Lebih dari satu abad kemudian, karya Strindberg masih relevan. Lihat saja, satir sosial dalam novel Red Room yang menyasar bobroknya sistem [masyarakat] hingga kini masih terasa dimana-mana; atau Scapegoat yang menyasar sejarah kebencian dalam konflik-konflik yang tak berkesudahan. Strindberg, dalam banyak hal adalah seorang nihilist, ia kerap bermain dengan kemungkinan terbuka (atau bahkan tidak ada kemungkinan sama sekali). Seperti layaknya dalam A Dream Play, dunia gagasan Strindberg merupakan gambaran atas tempat penuh kesedihan dimana tidak ada siapapun yang bisa dipersalahkan. Untuk bentuk kesedihan seperti ini; rasanya masih bisa kita temukan dengan mudah di halaman berita atau layar televisi.

 

Sumber Gambar: Wikipedia (Miss Julie, Internationalist Theatre, 1984)

Sumber Bacaan:
Dahlström, C. 1949. August Strindberg—1849-1912 between Two Eras. Scandinavian Studies, Vol. 21, No. 1, hal. 1-18. http://www.jstor.org/stable/40915736.
Johannesson, E. 2023. The Novel of August Strindberg: A Study in Theme and Structure. California: University of California Press.
Stockenström, G (ed.). 1988. Strindberg’s Dramaturgy. Minnesota: University of Minnesota Press.

Share on:

Leave a Comment