Suatu sore, saya menemukan diri berada di hadapan setumpuk esai yang harus saya periksa dan beri komentar. Namun, setelah memeriksa satu dua diantaranya, saya kehilangan minat dan mengalihkan perhatian ke arah lain, pada esai-esai seorang filsuf perancis eksepsional: Montaigne. Pekerjaan pun saya tinggalkan (untuk dikebut kemudian), karena baru saja membaca satu dua halaman dari kumpulan esai Montaigne, hadir perasaan familiar yang selalu hinggap ketika membaca sebuah buku “tak biasa”. Dituntun oleh insting menyerupai insting pemburu Kapten Ahab, saya membaca esai Montaigne secara maraton: tidak berhenti hingga gagasan terakhir habis saya baca. Untungnya Montaigne bukanlah model filsuf berbahasa dewa–ia berbicara dalam bahasa manusia kebanyakan dan entah mengapa, sekilas mengingatkan saya pada karya besar Cervantes, Don Quixote.
Dalam sejarah intelektual Perancis, Montaigne dikenal sebagai filsuf “tak biasa”. Michel de Montaigne adalah seorang diplomat handal sekaligus politisi–sangat jauh dari kehidupan akademis atau intelektual yang melahirkan berbagai gagasan di ruang kelas. Ia menjadi mediator antara Raja Henry III dari sisi Katolik dan Henry dari Navarre dari sisi Protestan ketika perang agama berkecamuk di Perancis (terjadi antara 1562 hingga 1589). Pada tahun 1581, Montaigne terpilih sebagai walikota Bordeaux, sebuah posisi yang semakin memperkuat status politiknya. Kedua posisi tersebut memberi warna pada esai-esai yang ditulisnya kemudian: kedekatan Montaigne dengan dua kubu yang berseteru memberinya kesempatan untuk menyaksikan berbagai peristiwa dalam jarak dekat; ditambah catatan perjalannya ke Itali setahun sebelum ia diangkat menjadi walikota–memberi bobot realita dalam esai-esainya. Montaigne baru menuliskan gagasan-gagasannya setelah pensiun. Dalam esai berjudul “on idleness” ia menggambarkan betapa terkejutnya ia pada “pikirannya” sendiri: “I hoped [my mind] would thenceforth be able to do more easily, since it had become graver and more mature with time. But I find, that, on the contrary, like a runaway horse, it is a hundred times more active on its own behalf than ever it was for others”. Bisa jadi kesan akan Don Quixote saya dapat setelah membaca pernyataan ini–bedanya: bagi Montaigne, kebanyakan waktu luang menjadikan “pikirannya berlari seperti kuda”, sedangkan pada kasus Don Quixote, waktu luang (sebagai privilese khas bangsawan) ia habiskan untuk membaca buku kepahlawanan sehingga akhirnya menjadi gila. Don Quixote lantas menaiki kuda dan berkelana layaknya seorang pahlawan.
Untungnya Montaigne tidak menjadi gila. Telaahan mendalamnya tentang gagasan pemikir terdahulu menghasilkan sebuah kesimpulan: bahwa filsuf adalah seseorang yang tidak bersentuhan dengan rasa sakit dan kesenangan karena seluruh inderanya digunakan untuk meyakinkan orang lain. Montaigne mencontohkan Pyrrho yang masih berargumen tanpa menyadari lawan bicaranya telah meninggalkan ruangan. Pandangan sinis terhadap filsuf bertebaran dalam esai-esainya, dan ia dengan bangga menyatakan diri “I am no philosopher” (dalam Essays, Buku 3, Bab 9). Sialnya, penolakan Montaigne akan dunia filosofi berujung sia-sia ketika tulisannya jatuh ke lingkaran intelektual Perancis. Pascal menentangnya mati-matian; Voltaire menyanjungnya habis-habisan; sedangkan Rousseau meniru gagasan dan gaya penulisannya. Ramainya perbincangan akan karya Montaigne berujung pada dua hal: (1) menempatkan Montaigne, mau tidak mau, dalam jajaran pemikir Perancis; dan (2) pelarangan peredaran hampir selama 200 tahun karena otoritas keberatan akan esai-esai Montaigne yang dengan gamblang bercerita tentang: “sisi lucu” dari perang agama, arogansi akademia, dan limitasi tubuh (termasuk bahasan tentang impotensi didalamnya). Montaigne sendiri sudah meninggal ketika tulisannya menjadi perdebatan besar di Perancis–jika pun masih hidup, bisa jadi ia akan membalas menggunakan kalimat penutup dari esainya yang berjudul “That our actions should be judged by our intent”–disini ia mengungkapkan: I shall see to it, if I can, that my death makes no statement that my life has not made already.
Karya yang diributkan tersebut tidak lain dari kumpulan gagasan Montaigne yang diterbitkan pada 1581 dengan judul Essais (The Essays). Dari awal, pembaca sudah dapat mengendus bahwasanya Essais, bukanlah buku filsafat kebanyakan. Tidak ada penggunaan bahasa akademis yang rigid, tidak ada uraian yang sistematis, juga tidak dipusingkan dengan penggunaan metode ilmiah. Ternyata pemilihan gaya ini ada tujuannya–Montaigne merangkumnya dalam sebuah pernyataan: ‘We must use plain words, and display such goodness or purity as we have at the bottom of the pot‘ (Cohen tentang Montaigne, 1993). Tujuan untuk menggapai dasar periuk (the bottom of the pot) merupakan kunci pemikiran Montaigne. Ia memandang bahwa ada yang lebih penting dari pencarian filosofis akan pengetahuan dunia, yaitu pengetahuan tentang diri sendiri. Pengetahuan bentuk ini hanya dapat ditemukan “di dasar sebuah periuk”–bukan pada buku filsafat klasik yang ditulis filsuf yang bahkan mustahil kita temui. Saran praktis yang kemudian ia tawarkan adalah: self-analysis, not to prove…but for the pleasure of understanding. Walaupun Montaigne tidak pernah secara terbuka menantang arogansi akademia, namun jelas bahwa Essais berada pada garda depan dalam mencemooh–ya, mencemooh saja, karena nampaknya Montaigne terlalu tidak peduli untuk memulai sebuah revolusi penggulingan–dinding tebal pengetahuan.
Namun, terlepas dari gelagat skeptis Montaigne akan bangun filsafat, Essais meletakkan pengaruhnya pada tiga kajian (yang canggung untuk dibicarakan), yaitu (Langer, 2005): (1) Montaigne menentang konsep universalitas dengan memberi ruang pada partikularitas. Gagasan ini secara tidak langsung tergambar dalam esai-esainya yang seringkali memunculkan eksepsionalitas–oleh karenanya, setiap realita harus dilihat secara terbuka; (2) Montaigne memberikan perhatian pada “tubuh” dan batasan-batasannya, menurutnya: of the human body, and what we like to call the “human” element, on behaviour and thought–bahwa konsepsi seorang manusia didefinisikan pula oleh tubuhnya, bukan hanya “pikiran”. Dalam esai berjudul “on the power of the imagination”, Montaigne mengungkap keterbatasan tubuh, ungkapnya: Amasis, King of Egypt, married a very beautiful Greek girl called Laodice; but though he had shown himself a regular gallant everywhere else, he found himself unable to enjoy her. Melalui sebuah kalimat cair tersebut, Montaigne berhasil mengangkat sebuah topik yang tabu untuk dibicarakan secara terbuka; (3) adapun pengaruh ketiga Montaigne mengacu pada bentuk analisis diri melalui penempatan dirinya hampir disetiap esai–an observations undergo a sort of personal vetting. Melalui penggambaran analisis diri tersebut, Montaigne menarik sebuah garis baru tentang konsepsi moral dan kebenaran: As for me, and what is right for himself, he readily concedes, is not necessarily right for anyone else. Tanpa disangka-sangka, gagasan Montaigne tersebut mendorong kembalinya “kebebasan berpikir” yang telah direnggut oleh standar ilmiah baku para intelek. Sehingga bukanlah suatu hal yang aneh apabila Rousseau menggunakan prinsip kebebasan berpikir ala Montaigne sebagai salah satu pilar utama Romantisme yang berkembang di Perancis satu abad setelah kematian sang filsuf eksepsional.
Tidak hanya sampai disana, pengaruh Montaigne pun dapat ditemukan pada bangun kesusastraan dunia. Ia adalah pencetus penulisan esai modern yang kita kenal saat ini. Essai, dalam konteks bahasa memiliki arti “percobaan” atau “sebuah upaya”. Langer (2005) berpandangan bahwa Montaigne memilih kata tersebut sebagai penggambaran dari upaya analisis diri yang dilakukannya. Namun, dalam praktek kesusastraan setelahnya, kata Essais/Essays berkembang dan kini digunakan secara luas untuk menyebut bentuk tulisan yang merangkum gagasan penulis secara cair. Banyak pemikir dan sastrawan dunia yang menggunakan bentuk esai Montaigne sebagai cara untuk menuturkan gagasannya, antara lain: (tentu saja) Jean-Jacques Rousseau, Friedrich Nietzsche (yang begitu mengidolakan Montaigne), sastrawan William Shakespeare hingga esais kontemporer seperti Ralph Waldo Emerson juga Aldous Huxley–adalah beberapa contoh diantaranya. Cohen (1993) memandang bahwa gaya penulisan esai Montaigne secara ajaib dapat membangun ruang parallel antara pengalaman penulis dengan pembaca. Mungkin saja, kekuatan ajaib inilah yang menarik para sastrawan dunia untuk mengikuti gaya lugas Montaigne. Namun bisa jadi ketertarikan hadir dari sisi lain, yaitu dari gagasan Montaigne yang tidak biasa. Siapapun akan terkesima (dan menahan ketawa geli) ketika membaca Essais yang hampir setengahnya adalah celoteh sang filsuf tentang berbagai hal (mulai dari persahabatan hingga kanibalisme)–salah satu celoteh terkenalnya berbunyi: “even when you’re sitting on the highest throne in the world, you’re still sitting on your arse”. Barang siapa yang tidak ketawa geli membaca pernyataan tersebut, bisa jadi ia adalah golongan intelek dalam esai Montaigne yang selalu sibuk dengan metode :p.
Sumber Bacaan:
Montaigne, M (terj. Cohen, J.). 1993. Essays. London: Penguin Books.
Langer, U. 2005. The Cambridge Companion to Montaigne. Cambridge: Cambridge University Press.
kontak via editor@antimateri.com