Adoration pour Jean-Jacques Rousseau

Setidaknya, ada dua cara untuk jatuh cinta. Pertama, Coup de foudre – seperti tersambar petir, dan kedua comme un arbre à croissance – layaknya pepohonan yang lambat mengakar. Pada seorang Jean-Jacques Rousseau, saya mengalami keduanya. Kecintaan saya pada pemikirannya bukanlah hal baru, Du Contrat Social yang ia tulis pada tahun 1762 merupakan salah satu teks teori politik paling memukau dan membumi yang pernah saya kaji dan nama Rousseau telah saya tempatkan di jajaran pemikir kesukaan, yang artinya: dalam berbagai kesempatan, kutipan-kutipan Rousseau akan saya gunakan untuk menambah “kecanggihan” dialog atau percakapan. Namun sebuah bacaan menghantam saya bagai kilat di suatu sore. Melalui essay pendek Budi Darma yang terangkum dalam Harmonium (1995), pemikiran Rousseau menampakkan diri secara utuh. Ia ternyata bukanlah filsuf revolusioner seperti yang saya kira, persinggungannya dengan revolusi Perancis hanyalah kebetulan – dan sore itu, bagaikan tersambar petir, saya jatuh cinta kembali dengan sosok Rousseau yang baru saya temukan – a high priest of Romanticism – seorang filsuf romantis.

Tidak ada yang salah dengan liberté, égalité, fraternité, sebuah kutipan pemikiran Rousseau yang dijadikan semboyan resmi revolusi perancis. Namun imajinasi saya atas kelahiran gagasan tersebut biasa-biasa saja: dalam benak saya, Rousseau adalah seorang akademisi, filsuf yang mencoba memperbaiki tatanan sosial dan politik dengan pendekatan radikal yang berhasil menumbangkan kekuasaan monarki saat itu. Melalui pandangan tersebut, saya selalu membayangkan Rousseau berada di sebuah kedai di Paris dengan berapi-api membakar semangat kaum revolusioner. Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan imajinasi itu, namun sosok filsuf seperti ini tidak membuat bulu kuduk saya merinding (kecuali untuk para revolusioner kiri yang inginnya ada revolusi setiap hari), alhasil kecintaan saya pada Rousseau berada pada taraf alakadarnya saja. Tapi ketika mengetahui bahwa pemikirannya menggerakkan, bukan hanya revolusi, tapi juga gerakan romantisisme yang diusung oleh para penyair seperti William Blake, William Wordsworth, Percy Shelley dan juga istrinya, Mary Shelley hingga sang flamboyan Lord Byron, maka insting saya mengatakan ada sesuatu yang salah dengan dengan filsuf yang satu ini juga cara pandang saya terhadapnya. Dan biasanya, sesuatu yang salah, selalu menarik untuk ditelusur.

Kesalahan pertama saya terletak pada kategorisasi Rousseau sebagai seorang rasional – yang meletakkan segala konsep kebenaran pada logika dan kehebatan cara pikir – karena kenyataannya, Rousseau adalah seorang anti-rasional. Kompas moral Rousseau bukanlah rasionalitas, tapi sisi emosional. Niklaus dalam pengantar autobiography Les Confessions, menggambarkan Rousseau sebagai seorang yang Hypersensitive, introspective, self-love, neurosis, illness, and persecution mania – seketika menghilangkan imaji filsuf pemikir membosankan dan menghantarkan pada keliaran naluri seorang romantis. Pendekatan dengan menggunakan sudut emosional inilah yang membedakan Rousseau dari filsuf sejamannya, seperti Voltaire. Goethe merangkum perbedaan tersebut melalui sebuah frase: avec Voltaire un siecle finit, avec Rousseau un siecle comence – Voltaire berperan menghakhiri sebuah abad kebodohan berkepanjangan, sedangkan Rousseau berperan dalam membuka abad baru dan memberi arah agar tidak kembali pada kebodohan yang sama. Namun Goethe tidak menjelaskan bahwa arah yang diberikan oleh Rousseau, bagi masyarakat kebanyakan, adalah tidak wajar.

Arah tidak wajar ini menghantarkan saya pada letak kesalahan kedua dalam memandang Rousseau, yaitu anggapan bahwa titik berat dari liberté, égalité, fraternité adalah perbaikan dalam tatanan sosial – karena ternyata Rousseau adalah musuh terbesar dari tatanan sosial. Ia berpandangan bahwa tatanan sosiallah (politik, pendidikan, agama, sistem kepemilikan, juga hukum) yang menjadikan manusia rusak dan korup. Menurutnya, setiap manusia lahir innocent, tidak bersalah, sampai saat tatanan sosial mengubahnya menjadi mahkluk tanpa kepekaan untuk dirinya dan juga lingkungannya (sebagai seorang otodidak, salah satu yang begitu dibenci Rousseau adalah pendidikan yang menghilangkan kepekaan dari diri seorang anak, ia menggerutu dan menyebut bahwa pendidikan hanya memberinya kekasaran bangsa Romawi, tidak lebih – kekesalan ini kemudian ia tuangkan dalam Émile, ou de l’éducation, sebagai upayanya untuk mengubah pola pendidikan formal). Rousseau menyatakan bahwa konsep manusia ideal adalah ketika ia berada di luar kekangan tatanan sosial, le noble sauvage – a noble savage, karena hanya ketika berada diluar kekangan tersebutlah, manusia dapat jujur pada dirinya sendiri. Dalam konsep noble savage inilah kita menemukan titik tolak Rousseau tentang sifat alamiah manusia dan konsep kebebasan individual: bahwa kebebasan tidaklah berasal dari adanya jaminan dalam bentuk tatanan dan kontrol sosial, namun terletak pada pemahaman individu atas dirinya sendiri dan kapasitasnya. Dalam Du Contrat Social ia menyatakan bahwa tatanan sosial hanya bisa mengada atas dasar kesepakatan individu yang memahami makna kebebasan ini – tanpanya, tatanan sosial akan kembali ke bentuk aslinya: yaitu rantai tua berkarat yang mengekang kaki-kaki manusia.

Lalu dimanakah manusia dapat menemukan dirinya? Untuk menjawab pertanyaan ini, Rousseau senantiasa mengajak kita untuk berjalan-jalan jauh dari keriuhan. Ia menyatakan hanya melalui persentuhan dengan alamlah manusia akan menemukan sublimasi atas dirinya (alhasil, potret Rousseau yang merancang gagasan di tengah kedai penuh kaum revolusioner hancur seketika, karena ternyata pemikiran mendalam Rousseau tentang tatanan sosial ia bangun ketika berada jauh dari objeknya, di bukit-bukit, pegunungan dan ladang-ladang terpencil). Sisi inilah yang diamini oleh para penyair romantik setelahnya. Wordsworth menemukan surga dalam sebutir pasir, sedangkan Blake menemukan tawa riang anak-anak dalam percikan air sungai (Blake menulis antologi puisi berjudul “songs of innocence” yang merupakan protes atas kondisi anak-anak yang memperihatinkan sebagaimana digambarkan oleh Dickens dalam Oliver Twist). Rousseau kemudian didaulat sebagai the High Priest of Romanticism, sebagaimana dikemukakan oleh Budi Darma, bahwa penelusuran gagasan romatik akan bermuara pada gagasan-gagasan Rousseau tentang alam, sublimasi, dan kepekaan emosional. Ia adalah panutan bagi para penyair dan para pendobrak tatanan sosial, bahkan bagi penyair yang terlahir jauh setelah gebrakan jaman romantik memudar, seperti Rimbaud hingga Kerouac. Dan ketika menelusur karya-karyanya, terlihat jelas mengapa ia begitu digandrungi para penyair – tulisannya hadir dalam beragam bentuk mulai dari esai, novel, hingga bangun konseptual, ia urai dalam bahasa yang begitu mengalir layaknya seorang pujangga. Ia juga seorang musisi handal yang menulis beberapa komposisi untuk opera, salah satu yang paling terkenal adalah Le devin du village: an opera, yang dipentaskan pada tahun 1752. Dalam konteks inilah Rousseau dapat dikatakan sebagai jembatan dua dunia – dunia para filsuf (khususnya pemikiran sosial, politik serta pendidikan) juga dunia para penyair dan seniman (karena ia menemukan kunci untuk masuk kedalam sisi emosional manusia, tempat dimana Muse bersemayam).

Melalui sepak terjang gagasannya dan penelusuran berbagai sumber, terungkaplah sebuah fakta menarik: bahwa Rousseau adalah hippies pertama yang terekam sejarah. Dan layaknya para (anti)hero pada umumnya, pandangan atas dirinya berada pada dua kutub ekstrem: mengagumi setengah mati atau membenci sama sekali. Archbishop of Paris adalah salah seorang pembencinya yang paling militan karena gagasan-gagasan Rousseau dianggap ancaman bagi ketertiban sosial. Ia memerintahkan pembakaran buku Rousseau di seantero Perancis dan Jenewa, mengakibatkan perederannya sangat terbatas hanya di kalangan gerakan bawah tanah Perancis yang kemudian menjadikan Du Contrat Social sebagai manifesto gerakan politik. Persinggungan pemikirannya dengan revolusi perancislah yang menjadikan Rousseau lebih dikenal sebagai filsuf politik (setidaknya dalam benak saya sebelum tersambar petir pencerahan Budi Darma). Padahal sosok dan tindakannya lebih mendekati penyair bohemian yang mencari gara-gara dimanapun ia berada. Les Confessions, autobiography pertama yang membedah secara mendalam tentang analisis diri, adalah rekam jejak tindakan yang ia akui kerap kali berada dalam bentuk kontradiksi satu sama lain. Salah satunya adalah pernyataan “I am a man of Paradox” yang merupakan penjelasan (lebih kepada meyakinkan diri sendiri, sebetulnya) mengapa ia mampu menulis konsep tentang pendidikan dan memberi perhatian pada pertumbuhan anak, namun di saat yang sama menelantarkan lima anak dari hasil petualangannya. Ia nampaknya tidak ambil pusing dengan kritik masyarakat, bahkan Les Confessions menjelma layaknya cacatan kriminal seorang Rousseau. Namun, terlepas dari tindakannya yang kerap kali kontroversial, Les Confessions merupakan bentuk pengenalan diri, sebuah upaya Rousseau untuk menemukan sublimasi dan pemahaman atas sifat alamiah manusia – walaupun dengan nada seloroh, ia menyatakan bahwa buku ini ia persiapkan untuk hari penghakiman, bahwa ia akan menghadpi pertanyaan-pertanyaan Tuhan dengan Les Confessions di tangan.

Sisi inilah yang menjadikan Rousseau begitu menarik. Bahwa ia adalah seorang pemikir bebas yang melontarkan gagasan tentang apapun yang ia sukai: tentang musik, seni, politik, agama, hingga anak-anak dan pendidikan. Karena dasar kebebasan inilah, maka gagasannya dapat diadopsi siapapun, mulai dari libertarian, bohemian, hingga nasionalist ekstrem yang hanya mencatut sebagian dari Du Contrat Social dengan menitik beratkan pada kata “kontrak”. Namun bagi saya, sisi paling mengagumkan dari seorang Jean-Jacques Rousseau adalah ketika ia membuka jalan bagi revolusi romantik. Pada jaman dimana rasio adalah segalanya, memberi perhatian pada emosi adalah gila. Dan pada sosok Rousseau yang gila inilah, saya menemu bentuk keindahan. Sebagaimana dikemukakan Lord Byron: Here the self-torturing sophist, wild Rousseau, the apostle of affliction, who threw enchanment over passion not of dreams, but of ideal beauty, which became in him, an existence.

Share on:

Leave a Comment