Ekspresionisme Musik Arnold Schoenberg

Sulit untuk membayangkan sejarah perkembangan musik modern tanpa membahas ekspresionisme musik Arnold Schoenberg. Pengaruh sang maestro dapat ditemukan hampir diseluruh jejak musik avant-garde abad 20, mulai dari eksperimentalisme Edgar Varese hingga minimalisme radikal John Cage. Schoenberg yang mempelajari musik secara otodidak, menjelma menjadi guru musik[1] dan menempati posisi sebagai komposer terkemuka di lingkaran Wina. Kebangkitan fasisme menjadi titik balik bagi karir Schoenberg–Hitler memburunya karena dua hal: sebagai keturunan Yahudi juga karena Schoenberg secara lantang mengkritisi karya romantik Wagner yang begitu digemari sang diktator (Rosen, 1975). Pelarian membawanya ke Amerika dimana ia kembali berkiprah, baik sebagai komposer sekaligus musikolog. Selepas pelarian, Schoenberg tidak pernah lagi kembali ke tanah kelahirannya dan menetap di Amerika hingga tutup usia. Namun, walaupun rejim Nazi melarang pemutaran musik Schoenberg dan memasukannya ke dalam daftar seni rendahan (degenerate art), pengaruh Schoenberg tidak lantas hilang dan bahkan tetap dijadikan sebagai rujukan pada perkembangan musik selanjutnya[2].

Relasi Musik Arnold Schoenberg                                     

Karya Schoenberg lahir ketika seni modern terbentuk. Ekpressionisme sebagai gagasan estetika modern memberi jalan bagi penggalian persepsi subjektif, dimana dunia dihadapi secara personal dengan gerak emosi yang membabi buta[3]. Gagasan ini pun secara jelas dapat ditemukan pada karya Schoenberg, menurutnya: Why pose as a demigod? Why not be, rather, fully human? Dalam kamus Schoenberg, musik adalah relasi antara subjek dengan dunia–relasi tersebut haruslah bermakna, jika tidak, apa bedanya dari seorang murid yang dengan buta mengikuti langkah gurunya (Schoenberg, 1922). Ia mengkritik romantisisme akhir abad 19 yang berpijak hanya pada eskapisme realita dan meninggalkan esensi naturalisme–Schoenberg lalu meminjam pernyataan Strindberg: ‘Life makes everything ugly’–sehingga musik yang didekati dari sudut kenyamanan, tidak memberikan apa-apa.

Pada bab tentang Consonance and Dissonance (Schoenberg, 1922), ia menjelaskan sebuah cara mendengarkan musik, yang dapat dibilang, substansial. Dalam pandangan Schoenberg, materi musik yang pertama adalah (aturan) nada, sedangkan materi yang kedua adalah pendengaran, dan materi ketiga adalah emosi[4]. Persinggungan antara ketiga faktor tersebutlah yang menentukan apakah musik menjelma menjadi seni atau sekedar reaksi biologis pada sensor pendengaran saja. Walaupun demikian, materi ketiga memiliki bobot yang lebih berat dari yang lain. Dalam penjelasannya, Schoenberg menganalogikan ahli kimia yang dapat membuat formula cemerlang dari peralatan sederhana–dalam musik, kasus Beethoven yang tuli memberikan contoh gamblang bahwa gagasan tentang perasaan, menjadi kunci utama dalam memahami (atau menciptakan) musik.

Walaupun demikian, nada, sebagai materi musik yang pertama, tidak boleh luput dari perhatian. Musik yang baik adalah musik yang mampu memprovokasi sensor pendengaran (dan juga emosi pada saat yang sama) (Schoenberg, 1967). Namun tidak dipungkiri, musik akan kehilangan kekuatannya jika telah menjadi “kebiasaan” dan hadir dalam bentuk “repetisi”–baik dalam segi bentuk, aturan ataupun variasi. Provokasi dapat hadir dalam bentuk musikalitas baru: pada perombakan pakem atau penambahan visi baru tentang musik. Bentuk musik seperti ini tentu akan terasa ganjil bahkan mengganggu, namun “the overtones” (istilah Schoenberg bagi pelampauan pakem musik lama), lebih dapat diterima sebagai fundamental musik dibanding musik euphonious[5], yang sesuai standar baku namun tidak memberi apa-apa.

Komentar Schoenberg pada materi lain, yaitu pendengaran tidak kalah menarik (walaupun materi ini memiliki porsi lebih sedikit dari pembahasan lain nya). Menurutnya: ”That is to say, here the musical ear does indeed abandon the attempt at exact analysis, but it takes note of the impression”–bahwa bagi pendengar yang berpengalaman, musik tidak lagi dianalisis, tapi dikenali sebagai impresi.

Atonalitas Musik Arnold Schoenberg

Perbincangan atonalitas harus dimulai dari keberatan Schoenberg sendiri tentang penyematan konsep tersebut pada musiknya. Ia berpandangan, bahwa musik selayaknya lebih dari sekedar definisi yang cenderung membatasi, menurutnya: tidak ada nama untuk sebuah keindahan[6]. Namun untuk alasan praktis, para musikolog dan kritikus seringkali membutuhkan sebuah penamaan untuk menjelaskan sesuatu–sehingga walaupun sang musisi menentang mati-matian, atonallitas menjadi bagian penting dalam perkembangan sejarah musik dan menjadi kunci untuk memahami visi musik Schoeberg.

Gagasan atonalitas sendiri terbentuk dari pandangan platonik Schoenberg tentang hukum dalam musik (Spratt dalam Schoeberg, 1922). Prinsip bahwa “tidak ada hukum yang abadi tanpa melepaskan diri dari dunia fenomena”, menjadi pijakan utama dalam visi musik Schoenberg. Prinsip inilah yang kemudian ia gunakan dalam membentuk aturan nada (tonality)–atau lebih tepatnya, melanggar aturan nada. Haimo (1990) menjelaskan bahwa atonalitas mulai diperkenalkan Schoenberg pada kisaran 1908 melalui komposisi tanpa nada kunci dan harmoni tradisional. Gagasan ini bergerak dari tradisi romantik[7] menuju pembacaan baru terhadap relasi seni dan alam. Dalam Theory of Harmony (1922), Schoenberg mengemukakan antithesisnya atas gagasan natural romantisisme, yaitu dengan menggali “inner nature” atau alam pikiran. Dengan kata lain, pembaruan musik dapat dilakukan dengan melampaui bentuk luarnya (aturan nada dan harmoni) dan tunduk pada persepsi subjektif seorang komposer.

Alhasil, musik Schoenberg sulit dipahami, bahkan musisi sekelas Gustav Mahler pun dibuat pusing karenanya. Repetoir Schoenberg yang “tidak memiliki kesatuan, tidak mengacu pada teknik atau gaya tertentu, juga tidak mengikuti aturan musik manapun” menjadi musuh besar bagi konstruksi seni saat itu. Namun, ketika gerakan dadaisme dan avant-garde merebak diseluruh Eropa pada tahun 1910, atonalitas Schoenberg menemukan diri pada posisi yang aneh: menjadi semacam nabi tanpa dogma dan ajaran. Seperti tanggapannya pada atonalitas, sikap Schoenberg pada dadaisme pun berjarak. Ia tetap bersikukuh bahwa tidak ada satupun gagasannya yang dimaksudkan untuk membangun teori tentang nada dan harmoni, juga dalam membangun representasi bentuk. Dan ketika karyanya semakin digadang-gadang sebagai pionir musik avant-garde, Schoenberg malah sibuk mengajar Fundamentals of Music Composition di beberapa universitas di Amerika–sebuah mata kuliah baku yang justru berkebalikan dengan semangat atonalitas yang dirayakan oleh para avant-garde. Bagi Schoenberg sendiri, penghargaan tertinggi bagi karyanya datang pada setiap minggu sore, ketika ia menggelar pesta rutin di halaman rumahnya, memutar musik dan menertawakan masa lalu yang berhasil ia tinggalkan (BBC, 1967).

Outro: Verklärte Nacht dan Twelve-tone Period

Small (1977) menggambarkan sebuah ironi terkait karir musik Schoenberg. Di satu sisi, pengakuan atas pengaruhnya dalam revolusi musik tidak diragukan lagi–bahkan minimalism dan eksperimentalisme berada pada jalur yang sama dengan “inner nature” Schoenberg. Namun di sisi lain, karya Schoenberg yang cenderung menantang konsepsi baku musik, terlampau sulit untuk dipahami publik sehingga karyanya kurang dikenal dan tidak tersebar secara luas (jika dibandingkan dengan musisi lain pada jamannya, seperti Igor Stravinsky atau bahkan murid-muridnya seperti Anton Webern dan John Cage).

Terlepas dari ironi yang digambarkan Small, atonalitas dan twelve-tone period[8] tetap merupakan tonggak penting dalam perkembangan musik modern. Melalui berbagai gagasannya, Schoenberg berhasil menterjemahkan gairah ekspressionisme kedalam bentuk musik dan mendefinisikan kembali relasi antara musik dan komposer. Sebagai penutup, berikut adalah Verklärte Nacht Op. 4 (karya awal Schoenberg) dan String Quartet No. 2 (karya pada awal eksperimen atonalitas) sebagai gambaran akan daya dobrak musik Schoenberg dan dapat menjadi impresi bagi penelusuran musik Schoenberg lainnya.

(Arnold Schoenberg, Verklärte Nacht Op. 4)

(Arnold Schienberg, String Quartet No. 2)

Sumber Bacaan:
Haimo, Ethan. 1990. Schoenberg’s Serial Odyssey: The Evolution of his Twelve-Tone Method, 1914–1928. Oxford: Clarendon Press
Keller, Hans. 1976. Portrait of Schoenberg. BBC Radio.
Rosen, Charles. 1975. Arnold Schoenberg. New York: Viking Press
Schoenberg, Arnold. 1922. Theory of Harmony. (terj. Roy E. Carter, 1978). Berkeley, Los Angeles: University of California Press
Schoenberg, Arnold. 1967. Fundamentals of Musical Composition (ed. Gerald Strang). New York: St. Martin’s Press.
Small, Christopher. 1977. Schoenberg: Short Biographies. Sevenoaks, Kent: Novello.

Keterangan:
[1] Terdapat jajaran nama terkemuka yang menjadi murid Schoenberg, diantaranya: Egon Wellesz, Nikos Skalkottas, Alban Berg, Hanns Eisler, Stefania Turkewich, Anton Webern, Edgar Varese, hingga John Cage
[2] Schoenberg banyak menulis tentang teorisasi musik; pandangannya juga dibahas oleh musikologis seperti Charles Rosen dan kritikus estetika, Theodor Adorno.
[3] Lukisan The Scream karya Edvard Much adalah simbol paling terkenal dari era ini
[4] Emosi diterjemahkan dari “the world of feeling”
[5] Euphonious: menyenangkan untuk didengar
[6] “This is not to say that some future work of art may do without order, clarity, and comprehensibility, but that not merely what we conceive as such deserves these names. For nature is also beautiful”.
[7] Seni romantik mengangungkan gagasan alam dan merayakan kebebasan emosi. Seni ini muncul pada akhir abad 18 dan mencapai puncaknya di awal abad 19.
[8] Dalam penjelasan Haimo (1990): Twelve-tone period represents a stylistically unified body of works is simply not supported by the musical evidence and important musical characteristics—especially those related to motivic development—transcend these boundaries completely.

Share on:

Leave a Comment