Mikropolitik Gilles Deleuze

Pembicaraan tentang mikropolitik Gilles Deleuze menjadi menarik untuk diulas karena beberapa perihal. Pertama, tentu karena penulisnya adalah filsuf “antik” yang berkolaborasi dengan psikiater nyentrik Felix Guattari–kolaborasi sepadan ini menghasilkan genre baru (yang mereka buat sendiri) dengan sebutan: “filsafat haram jadah”[1]. Melalui pernyatannya tersebut, Deleuze menyarankan kepada para pembaca untuk membaca gagasan-gagasannya secara “terbuka”–karena nampaknya si penulis gemas betul pada kebiasaan para filsuf yang kebanyakan mendorong pembacanya menjadi “birokrat-birokrat akal budi murni yang berbicara di balik bayang-bayang kelaliman atau bersekongkol dengan negara…menciptakan apa yang disebut cara berpikir yang efektif[2]”. Kedua, karena benang merah buku berjudul “A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia”, dimana esay tentang mikropolitik dimuat, terlalu sayang untuk dilewatkan. Adapun perihal ketiga mengacu pada gagasan mikropolitik Deleuze yang menemukan resonansi dengan gerakan politik era milenial dengan berbagai gegap gempita suara lantang di media sosial. Tentu banyak lagi sisi eksentrik Deleuze yang dapat diangkat, namun pada kesempatan ini, hanya tiga aspek di atas yang akan diurai melalui pendekatan suka-suka.

Membaca Mikropolitik Gilles Deleuze

Tersebutlah Brian Massumi yang menerjemahkan karya Deleuze dan Guttari di penghujung era 1980an. Terjemahannya merupakan volume kedua dari kumpulan tulisan Capitalism and Schizophrenia[3], dan ulasan Massumi terhadap gagasan Deleuze cukup menggelitik, sebagaimana ia uraikan berikut: “Deleuze mendekati pandangan filsafat terdahulunya–dari belakang[4], sehingga alih-alih menemukan konsep tanpa cela, ia kerap menemukan monster bermuka pantat”. Massumi juga mengungkapkan posisi Deleuze yang kerap menemukan diri[5] bersama para filsuf yatim piatu[6], dimana mereka berbagi relasi rahasia yang dilandasi kesamaan pandangan pada negativitas, bentukan suka cita sendu yang khas, kebencian akan prinsip-prinsip yang mengekang, dan (tentu saja) pandangan sinis pada kekuasaan.

Oleh karena kegemarannya untuk melangkah keluar dari interior filsafat kaku, pendekatan yang digunakan Deleuze sulit untuk ditebak. Kadang ia berbicara tentang gerakan sosial, namun tidak jarang ia membelokkan perhatian pada sesuatu yang (secara eksplisit) tidak berkaitan. Rentang tulisannya pun sangat luas, mulai dari filsafat, politik, musik, sastra, lukisan hingga rumus matematika–yang biasanya ia jejalkan begitu saja dalam sebuah antologi tanpa peduli akan sistematika. Massumi menyatakan, tulisan Deleuze harus diperlakukan sebagaimana seseorang mendengarkan album: bisa diputar pada bagian yang diminati tanpa khawatir hilang arah. Penjelasan ini menjadi penting mengingat gagasan tentang Mikropolitik pun berada dalam bingkai serupa – dapat dinikmati, walau kita tidak tahu-menahu tentang gagasan-gagasan Deleuze sebelumnya.

Segmentasi dan Hasrat dalam Mikropolitik Gilles Deleuze

Dalam mengurai mikropolitik[7], Deleuze terlebih dahulu menjelaskan tentang segmentasi masyarakat. Penjelasan tersebut menjadi krusial untuk menggambarkan pokok gagasan mikropolitik, antara lain: (1) bahwa dalam masyarakat senantiasa terdapat segmentasi biner (gender, status sosial, dewasa dan kanak-kanak, dan lain sebagainya); (2) setiap individu terdiri dari pertemuan berbagai segmen–misal: anak laki-laki dari keluarga kelas menengah penggemar K-Pop yang turun ke jalanan karena menentang regime kapitalis yang dipandangnya telah merusak sendi-sendi nasionalisme–adalah kemungkinan yang dapat hadir karena setiap individu digerakkan oleh multiplisitas segmen dalam dirinya; (3) karena setiap individu terbentuk atas multiplisitas, maka interseksi antara satu segmen dengan segmen lainnya tidak terhindarkan, alhasil setiap individu terhubung dengan individu lain dengan cara yang aneh–tidak disadari, bahkan mungkin tidak diinginkan, namun tidak berdaya karena dorongan pemenuhan hasrat segmentatifnya.

Mengacu pada ketiga pokok gagasan inilah Deleuze menjelaskan tentang cara kerja masyarakat, mulai dari konsep negara, sistem perdagangan dan mata pencaharian, system budaya baik pada bentuk tradisi ataupun populer, hingga gerak politik mulai dari sistem kepartaian hingga demonstrasi jalanan. Mikropolitik (yang bergerak secara molar dan mulekular di tataran individu) menjadi ujung tombak paling kuat dari sebuah gerakan politik. Deleuze lantas menjelaskan bahwa penggunaan politik di tataran mikro adalah alasan mengapa fasisme dapat mendulang suara di Eropa paska perang dunia pertama. Di tangan pemerintahan fasis, politik digerakkan oleh hasrat dan segmentasi identitas[8]. Namun, terlepas dari pengalaman kelam rejim fasisme, Deleuze memberi jalan pada pembacaan mikropolitik yang lebih netral, yaitu sebagai gerak alamiah masyarakat yang membentuk ruang politiknya sendiri diluar tatanan politik makro bentukan (sistem) negara.

Pada pemahaman terakhir inilah mikropolitik Deleuze beresonansi dengan politik di era millennial. Gerakan politik yang hadir belakangan, tidaklah digerakkan atas dasar kepentingan partai atau elit tertentu, namun secara nyata merupakan gerak alamiah dari persinggungan beragam segmentasi masyarakat yang bertemu pada satu titik. Jajaran fenomena gerakan massa dapat dijadikan contoh, diantaranya: gerakan musim semi arab, gerakan anti-kapitalisme occupy wallstreet, dan yang terbaru aksi demostrasi mahasiswa di Jakarta terkait penolakan rancangan undang-undang yang dipandang ganjil. Pada contoh-contoh ini, individu hadir digerakkan oleh hasrat yang berbeda: mulai dari gejolak nasionalisme hingga hasrat narsisisme, semua berbagi ruang dalam panggung politik yang sama. Lautan masa, dalam pandangan mikropolitik Deleuze adalah interseksi segmen masyarakat tanpa batas. Dan karena digerakkan oleh hasrat, maka gerakan ini menjadi sulit untuk dikalahkan.

Lalu dimana dan bagaimana mikropolitik terbentuk? Untuk jawaban pertanyaan pertama, sangatlah jelas bahwa dunia maya memiliki peran penting dalam menyatukan berbagai segmen masyarakat; dengan kata lain, memungkinkan individu untuk terhubung dengan sistem. Adapun jawaban untuk pertanyaan kedua agak sedikit lebih kompleks, bahwasanya mikropolitik merupakan agregat representasi dalam skala besar yang memungkinkan penetuan kembali batas segmentasi (yang lebih luas dan terdiri dari kumpulan individu); atau dapat juga digambarkan bahwa mikropolitik adalah aliran nilai dan hasrat yang saling menambah satu sama lain (atau dalam terjemaha Mussami: subtracted and combined beliefs and desires). Pada gabungan inilah, akhirnya dunia mengenal sebuah gerakan abstrak tanpa bentuk: cair, namun mampu memberi getaran pada tembok sistem yang disokong oleh pilar-pilar makro.

Gema Mikropolitik Gilles Deleuze

Sebagai penutup, pandangan Deleuze dan Guttari tentang mekanisme sistem ternyata dilandasi oleh pemikiran Gregory Bateson dalam analisisnya tentang gerak budaya ekonomi masyarakat Bali. Menurut Bateson (yang lalu diamini oleh Deleuze dan Guttari): ketika sebuah gerak didorong oleh kombinasi berbagai kondisi, maka gerak yang dihasilkan secara otomatis akan intens dan besaran energi tersebut akan menghasilkan gema yang cukup kuat untuk menghasilkan kembali kondisi yang dibutuhkan (recreate and reactivated). Didasarkan poin Bateson inilah, Deleuze dan Guttari menghasilkan sebuah tesis tentang mikropolitik–sebuah gerakan massa yang intens dan dapat dihidupkan kembali kapanpun dibutuhkan.

Sumber Bacaan:
Deleuze, G. & Guttari, F. (1980). A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia (terj. Mussami, B.,  1987). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Ramey, J. (2012). The Hermetic Deleuze: Philosophy and Spiritual Ordeal. Durham: Duke University Press.

Keterangan:
[1]Philosophy, nothing but philosophy–of a bastard line” (Deleuze and Guttari, 1980)

[2] Dalam kata-kata Deleuze, “bureaucrats of pure reason, who speak in the shadow of the despot and are in historical complicity with the State… They invent “a properly spiritual… absolute State that … effectively functions in the mind“ (Massumi, 1987)
[3] Volume pertama berjudul Anti-Oedipus diterbitkan pada 1972.
[4] Dikutip (tanpa tedeng aling-aling) dari ungkapan Deleuze sendiri: “What got me by during that period was conceiving of the history of philosophy as a kind of ass-fuck, or, what amounts to the same thing, an immaculate conception. I imagined myself approaching an author from behind and giving him a child that would indeed be his but would nonetheless be monstrous (dalam Ramey, 2012)
[5] Dalam pandangan Deleuze, Hegel terlalu asik menciptakan mutant, sedangkan Kant terlalu serius mengakrabi “kritik”
[6] Yang tidak punya keterikatan dan seringkali mendapat peran minor dalam kanon filsafat
[7] Micropolitics and Segmentations (Deleuze and Guttari, 1980: 208)

[8] Dalam ungkapan Deleuze: Four errors concerning this molecular and supple segmentarity are to be avoided. The first is axiological and consists in believing that a little suppleness is enough to make things “better.” But microfascisms are what make fascism so dangerous, and fine segmentations are as harmful as the most rigid of segments. The second is psychological, as if the molecular were in the realm of the imagination and applied only to the individual and interindividual. But there is just as much social-Real on one line as on the other. Third, the two forms are not simply distinguished by size, as a small form and a large form; although it is true that the molecular works in detail and operates in small groups, this does not mean that it is any less coextensive with the entire social field than molar organization. Finally, the qualitative difference between the two lines does not preclude their boosting or cutting into each other; there is always a proportional relation between the two, directly or inversely proportional.

Share on:

Leave a Comment