Saya tidak berlebihan ketika menggoda anda untuk membuka link youtube dengan kata kunci “Can-Paperhouse” dan anda akan menemukan salah satu kualitas musik Avant-garde Jerman terbaik pada era krautrock. Can, sebuah band psychedelic minimalis yang sempurna (dengan konsep kesempurnaan absurd), memiliki segala kekuatan Krautrock didalamnya: ekperimen tanpa batas, eksplorasi segala kemungkinan nada, permainan logika musik sederhana namun memiliki kemewahan simfoni yang dapat menjawab keraguan sebuah generasi – penggambaran ini harap jangan dianggap terlalu serius, garis bawahi bahwa saya buta nada dan tidak bisa memainkan alat musik apapun, tapi selalu memiliki obsesi yang keterlaluan besarnya untuk melakukan interpretasi musik.
Two times, goodbye love,
You’re sorting out for your room.
Too many savage songs,
Laugh with him today.
Playing everything,
You and your mind
And flying paperhouse
Way back on the laugh.
Can, sebagaimana band krautrock pada umumnya saat itu, selalu mabuk. Sebuah metode yang diterapkan secara masal untuk hijrah bersama-sama keluar angkasa, asal muasal musik mereka. Hal ini tidak saya karang, tapi merupakan kutipan wawancara Rainer Bauer, salah satu personel Amon Duul, yang menyatakan bahwa Jerman paska perang dunia dua, sama sekali hancur secara musikal. Jerman saat itu (dan rasa-rasanya seluruh dunia) dikepung oleh musik Amerika dan Inggris dalam dosis yang berbahaya. Mereka kemudian berontak, namun akar yang ada hanya musik klasik dan musik tradisional – yang sialnya selalu mengingatkan mereka pada Hitler – sehingga antara himpitan dinding musik anglo-amerika dan musik dari masa lalu yang menghantui, mereka berpaling ke atas: luar angkasa. Sebuah pilihan jenius mengingat hasil yang diperoleh dari generasi luar angkasa Jerman saat itu adalah musik dengan kualitas nirwana.
Tapi, Can, band psychedelic minimalis dan seluruh generasi krautrock dalam persepsi saya mengerucut pada satu sosok: Damo Suzuki. Aneh memang ketika genre musik khas Jerman ini saya sandingkan dengan hal yang sangat tidak Jerman – karena Damo adalah seorang Jepang pengelana yang dalam hidupnya (kebetulan) singgah di Jerman dan (kebetulan) menjadi vokalis Can. Diantara kolega musisinya, Damo nampak menonjol: layaknya sosok pahlawan/anti-pahlawan yang muncul dari film-film kolosal Kurosawa dan selalu mistis – dalam arti selalu memunculkan atraksi ajaib. Liriknya memukau, gubahan puisi yang mapan dalam bentuk dan ritme (salah satu lirik terbaiknya adalah Paperhouse), tapi tak jarang juga ia mengeluarkan bunyi yang besar kemungkinan tidak memiliki arti apa-apa. Racauannya bukan tanpa konsep: ia berpandangan bahwa bahasa bukanlah batasan untuk berekspresi. Alhasil ketika musik minimalis Can bersandingan dengan vocal Damo, maka muncullah eksotisme magis yang menjadi salah satu tonggak musik Jerman modern.
Keterlibatan Damo bersama Can hanya berlangsung selama tiga tahun, dari rentang 1970 hingga 1972, yang terekam dalam tiga album terbaik Can: Soundtrack, Tago Mago dan Ege Bamyasi. Setelah meninggalkan Can, entah berapa band dan berapa musisi lagi yang ia sihir dengan mantra-mantranya, sehingga sosok ini menjadi legenda tersendiri dalam sejarah Krautrock. Keprimitifan (vokal) Damo adalah hal yang dibutuhkan sebagai penyeimbang kecanggihan musik eksperimen Jerman saat itu, atau lebih tepatnya: Damo menjadi begitu mistis karena ia merupakan anti-tesis sekaligus simbol eskapisme bagi generasi Krautrock Jerman di awal 1970. Seorang tabib Asia yang merapalkan mantra dalam bentuk lirik nir-makna ditengah generasi yang haus akan makna.
Flying paperhouse,
Let’s stop in the sky.
Every day my paperhouse
Reaches out, comes in,
Every day my paperhouse
Coming in, reaching out.
(Can, Paperhouse, 1971)
kontak via editor@antimateri.com
suara instrumennya ‘twangy’ banget selayaknya gitar fender keresepanku. Viva tight jeans! 😀
hihihi peureus ya pap :p