Bukan sejarah namanya jika tidak menawarkan teka-teki. Demikian pula pada sejarah seni, karena sejauh apapun seorang peneliti menggali, selalu ada bagian yang luput dari perhatian. Salah satu mispersepsi terbesar yang baru terkuak belakang ada kaitannya dengan seni Hellenis[1]–sebutan bagi periode Yunani Klasik paska meninggalnya Alexander Agung di tahun 323 sebelum masehi hingga munculnya kekuasaan Romawi pada kisaran 31 tahun sebelum masehi. Seni Hellenis pada periode ini diwakili oleh visi ideal tubuh manusia yang berhasil ditonjolkan melalui ukiran halus pualam putih. Namun ternyata, ingatan tentang figur ideal (yang dipopulerkan kembali oleh Michaelangelo pada abad 16) ternyata melenceng jauh dari kenyataan, karena penelitian terbaru menemukan bahwa patung di era Hellenis tidaklah polos putih pualam, namun memiliki warna (yang lantas pudar sejalan dengan waktu) (Gurewitsch, 2008). Penemuan ini menuntut dilakukannya perombakkan persepsi secara mendasar oleh para pengamat, dan imajinasi akan seni Hellenis tidak akan sama lagi. Tapi geger persepsi ini bukanlah kali pertama: pada tahun 1885, ditemukan sebuah patung yang telah mengubah pemahaman publik akan visi seni Yunani Klasik. Patung anomali seni Hellenis tersebut kini dikenal dengan nama The Boxer at Rest.
Anomali dalam seni Hellenis: The Boxer at Rest
The Boxer at Rest (yang juga dikenal dengan sebutan the Seated Boxer atau Terme Boxer) ditemukan oleh arkeolog Rodolfo Lanciani pada reruntuhan pemandian Konstantin yang terletak di perbukitan kota Roma[2]. Patung berdimensi 4 kaki 2,5 inchi[3] ini diperkirakan dibuat antara tahun 330 hingga 50 sebelum masehi. Karena terbuat dari perunggu, The Boxer merupakan karya langka mengingat hanya sedikit patung perunggu seni Hellenis yang selamat (dari proses pelelehan dan alih fungsi). Namun, seperti kebanyakan pahatan Hellenistik lainnya, The Boxer sulit untuk dikategorikan dalam aliran tertentu karena luasnya gaya yang digunakan oleh para seniman pada periode tersebut. Hemingway (2013) mengutip para pakar yang memiliki pandangan lain akan periode pembuatan dan klasifikasi The Boxer yaitu pada akhir abad keempat sebelum masehi dengan dasar kesamaan gaya dengan patung-patung Lysippos[4]. Bersama penggalian The Boxer, Lanciani menemukan patung lain yang kini dikenal dengan The Hellenic Prince. Namun The Boxerlah yang menarik perhatian para peneliti dikarenakan beberapa hal. Pertama, pose The Boxer merupakan negasi dari seluruh visi ideal postur Hellenis: alih-alih tegak dan heroik, The Boxer memiliki posisi duduk dengan ekspresi kekalahan yang tergambar jelas di wajah. Kedua, sosoknya yang tidak dikenal merupakan sebuah kejanggalan tersendiri mengingat kebanyakan patung yang dibuat pada periode tersebut menggambarkan dewa dewi atau tokoh elit terkemuka. Terakhir, The Boxer memperkuat penjelasan tentang bagaimana pakaian dan penampilan seorang petinju[5] saat itu. Ketiga perihal di atas memberikan kejutan bagi para pengamat seni dan menyadarkan publik akan kehadiran polar alternatif bagi konsep estetika ideal Hellenis–yaitu realism brutal yang mendobrak pandangan ajeg tentang Hellenisme.
Ketiga patung di atas dipandang sebagai pencapaian tertinggi estetika Hellenis, dan nyata-nyata merupakan kebalikan dari segala repertoar yang disampaikan oleh The Boxer–sebuah patung yang menggambarkan seorang petinju tengah duduk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut, kepalanya berputar ke kanan dan sedikit terangkat dengan mulut terbuka. Sosok tersebut telanjang dengan hanya mengenakan sarung tinju yang terbuat dari potongan-potongan kulit yang melekat pada cincin di sekitar buku-buku jari dan dilengkapi dengan bantalan wol. Pedley (2012) menggambarkan The Boxer sebagai berikut: “It features a struggle between the ideal hero of the High Classical style and the Hellenistic representation of human experience. The figure has a broken nose and swollen ears. The bronze inlays represent the bloody patches and swollen lips along with his swollen muscles depict the realities of the harshness of human experience”. Penekanan pada bagian tubuh yang terluka menjadi perihal penting lainnya, karena tidak ada patung Hellenis lain yang memiliki hidung patah dan luka lebam disekujur tubuh[6]. Tembaga digunakan untuk memberi aksen pada luka, membuatnya semakin realistik. Hemingway (2013) memberi perhatian khusus pada mata The Boxer yang kosong. Menurutnya, secara teori, patung perunggu kerap menggunakan dari sejenis biji-bijian atau batu untuk menampilkan fitur mata. Sehingga kecil kemungkinan kekosongan pada mata The Boxer sebagai sebuah kesengajaan (walau harus diakui, justru mata kosong tersebut membuat ekspresinya lebih mencekam, sebagaimana Goya melukis The Colossus (1746–1828) dengan tatapan kosong khas prajurit yang kalah perang).
Namun, walaupun The Boxer telah banyak dikaji dan menjadi salah satu patung era Hellenis yang paling terkenal, ia tetap menampilkan misteri. Beberapa pertanyaan lalu hadir: Mengapa seorang petinju ditampilkan dalam keadaan duduk dan bukan tengah beraksi? Mengapa ditemukan dalam kompleks pemandian? Apakah The Boxer merupakan patung individual atau terdapat figur lain yang dibuat bersamanya? Dan yang paling penting, apakah persepsi realisme yang disandingkan pada The Boxer sudah tepat? Pertanyaan-pertanyaan tersebut masih menjadi misteri, dan mungkin saja, kehadiran jawabannya akan membawa perombakan persepsi baru bagi seni Hellenis. Setidaknya pada titik ini, terdapat sebuah asumsi yang aman untuk dikemukakan: bahwa dengan ditemukannya The Boxer, terdapat pemahaman baru tentang fungsi seni pada periode Hellenis. Awalnya pemahaman seni pada periode tersebut memiliki dua tujuan, (1) sebagai sarana pemujaan dan (2) sebagai aturan tertulis (atau lebih tepatnya tergambar) atas bagaimana manusia harus berperilaku. Namun dengan hadirnya The Boxer, pemaknaan seni diperluas hingga menyentuh penggambaran akan pengalaman manusia (Beard, 2018). Kehadiran The Boxer menjadi kunci bagi pemahaman akan luasnya bentuk seni pada periode Hellenis. Sebuah simbol dari lahirnya gagasan seni realisme yang mengijinkan seseorang untuk merasakan emosi lain, selain decak kagum pada keindahan sebuah karya.
Sumber:
Beard, Mary. 2018. “How Do We Look?”. Civilizations. BBC Two Series Episode 2.
Chamoux, François. 2003. Hellenistic Civilization. Malden, MA: Blackwell Pub.
Gurewitsch, Matthew. 2008. True Colors: Archaeologist Vinzenz Brinkmann insists his eye-popping reproductions of ancient Greek sculptures are right on target. Smithsonian Institution.
Hemingway. Sean. 2013. The Boxer: An Ancient Masterpiece Comes to the Met. Met Museum.
Pedley, John Griffiths. 2012. Greek Art and Archaeology. New York: Pearson Education Inc. Prentice Hall.
Keterangan:
[1] Hellenistic berasal dari kata Hellas (Ἑλλάς) yang berarti Yunani (Greece), sehingga kata hellenis digunakan untuk menggambarkan pengaruh Yunani klasik baik pada ranah filsafat, agama hingga seni (Chamoux, 2003)
[2] The Bath of Constatine dibangun sebelum 315 BC, merupakan komplek pemandian umum yang didirikan oleh Kaisar Konstantin I.
[3] setara 1.2827 meter
[4] Lysippos merupakan pematung kenamaan Yunani Klasik yang hidup pada abad 4 sebelum masehi
[5] Tinju telah dipertandingkan pada olimpiade Yunani Klasik bersandingan dengan atletik.
[6] Pedley (2012) menyatakan bahwa postur ini mungkin saja hadir dalam jumlah banyak, namun dikarenakan material yang digunakan adalah perunggu, maka sulit untuk ditemukan bukti nyata.
kontak via editor@antimateri.com
hal lain yang mengejutkan dari patung yunani adalah idealisasi buah zakar laki2.. yang kanan digambarkan lebih atas daripada yang kiri, sebagai simbolisasi kanan-baik sehingga lebih tinggi, padahal secara anatomi selalu dibawah..
Bikinnya pake cermin kali ya, ala2 narcissius #misleading, please ignore jahaha
lebih ke pembuatan dipengaruhi bias (kepercayaan, asumsi, religi, etc), membangkitkan pengetahuan dan membentuk realitas baru yang berbeda. oh, dan ukuran juga, yang bagus itu kecil buat orang yunani kuno mah.
Jahahaha iyaa, its always come in small package yes..katanya simbol manusia ideal itu yang kecil2 #aingmahh :))