Ulasan tentang Manet tidak akan lengkap tanpa membahas obsesi Michel Foucault tentang sang pelukis. Foucault, sang filsuf paradox, dikabarkan memiliki obsesi berlebihan pada karya lukis Edouard Manet yang kemudian ia tuangkan dalam sebuah sesi kuliah pada tahun 1971 di Tunisia. Sesi tersebut ia beri judul “La Pintura de Manet” (diterjemahkan kemudian oleh Matthew Barr menjadi Manet and the Object of Painting). Melalui La Pintura de Manet, hadirlah konsepsi le regard (the gaze atau pandangan) yang secara fundamental meletakkan viewer (yang memandang lukisan) sebagai bagian dari narasi–konsep ini berkembang menjadi tonggak analisis phenomenology lukisan modern kemudian. Seperti tulisan atau kuliah Foucault pada umumnya yang kental dengan sisi personal, kali tersebut pun kuliah dibuka dengan pengakuan jujur sang filsuf atas dua hal: (1) bahwa setelah dua tahun, obsesinya akan Manet akhirnya terpenuhi walau dibarengi dengan kondisi kelelahan akut; dan (2) dengan kata-katanya sendiri Foucault berujar: “I would also like to excuse myself for talking about Manet, because, of course, I am not a Manet specialist; nor am I a painting specialist, so it is as a layman that I would speak to you about Manet”–sebuah obsesi nekat yang mendesak sang filsuf untuk berkutat dengan kajian yang jauh dari bidangnya. Tapi obsesi Foucault (tentu saja) tidak sia-sia–karena dari pencariannya, teka-teki kehebatan Manet terjawab sudah. Manet adalah sosok janggal pada masanya, kisah bahwa ia tidak diterima kalangan seni Paris adalah legenda tersendiri, dan memang diperlukan seorang maestro keras kepala untuk mengubah dunia. Foucault lalu mengindikasikan kekeraskepalaan Manet dalam tiga hal: interpretasi jarak dalam kanvas, pencahayaan dan sudut pandang. Ketiga hal ini adalah inti dari kritik dan cemooh kalangan elit Salon Paris kala itu yang justru menjadi kekuatan utama alusi dalam lukisan Manet. Mari kita telusur satu persatu. Pertama, perihal interpretasi jarak. Manet yang mendapatkan pelatihan seni klasik, menempatkan objeknya sesuai tradisi klasik (datar tanpa ada persepsi tiga dimensi), tapi dengan plot-twist a la Manet. Dalam beberapa lukisan, diantaranya The Execution of Maxirnilien (1868), The Masked Ball at the Opera (1873-4) yang terpampang pada sampul muka, dan Argenteuil (1874), jelas bahwa Manet membenturkan jarak pandang kita dengan membangun latar datar dua dimensi melalui permainan garis horizontal dan vertikal. Namun Foucault memiliki interpretasi menarik atas “latar datar” tersebut, bahwa: melalui bentuk lukisan ini, Manet membuat permainan jarak sesuai keinginannya sendiri. Ketika pelukis lain didikte oleh jarak (bahwa presisi ruang adalah segalanya!!), maka Manet melakukan revolusi dengan menaggalkan kediktatoran jarak dan membuat versinya sendiri. Membaca kekuatan narasi ini, sebersit komentar terlintas di kepala: pantas saja filsuf sekelas Foucault tergila-gila. Belum habis keterpukauan kita pada persoalan jarak, Foucault memulai interpretasinya yang kedua mengenai pencahayaan. Untuk menjelaskan konteks ini, ia mengambil lukisan berjudul The Fifer (1866) dan The Balcony (1868-9) dijadikan sampel. Dalam dua lukisan tersebut, Manet menegasikan tradisi pencahayaan. Siapapun tahu, bahwa pelukis membutuhan cahaya untuk membangun narasinya–sebuah tradisi kuat yang telah diperkenalkan sejak era Caravaggio dan juga Rembrandt. Namun, lagi-lagi, lukisan Manet berkata lain, meminjam kutipan Foucault: “Here, on the contrary, you see that there is absolutely no light coming from above or from below, or from outside the canvas; or rather all the light comes from outside of the canvas. but strikes it absolutely at the perpendicular”. Dalam melukis sosok anak lelaki dalam The Fifer ataupun trio yang tengah bersantai di balkon, Manet memilih untuk mengesampingkan aspek pencahayaan. Dengan kata lain, Manet menihilkan aspek cahaya dan memberikan dominasi penuh pada objek lukisnya. Tapi, kejutan tidak berhenti disana (apa lagi yang lebih mengejutkan dari menemukan kekuatan nihilistik dalam sebuah lukisan yang jika dilihat sekilas nampak baik-baik saja?)–karena pada interpretasi ketiga, Manet menantang the viewer (kita, yang memandang lukisan). Dengan kesadaran bahwa pelukis senantiasa dihakimi oleh kita yang memandang, maka Manet menantang duel kepada siapapun yang memandang lukisannya. Tantangan ini dengan jelas ditampilkan pada A Bar at the Folies-Bergere (1881-2)–sebuah lukisan kontroversial yang menolak kalah pada interpretasi sepihak subjek yang memandang. Foucault berujar: “Therefore, along with the centre and right inconsistency you have the present or absent inconsistency”. Lukisan yang menolak patuh pada kita yang memandang ini menjadi salah satu titik balik dalam narasi seni lukis modern dan menempatkan Manet pada posisi utama dalam seni lukis modern. Pada dasarnya, dengan atau tanpa obsesi Foucault, lukisan Manet akan berbicara dengan sendirinya. Namun melalui ulasan tajam sang Filsuf, landasan mengapa Manet dinobatkan menjadi maestro lukisan modern menjadi jelas terurai–dan Manet akan selalu diingat sebagai maestro yang membuka jalan bagi impresionisme, bahkan jalan bagi seluruh bangun seni lukis modern.
Aspek Interpretasi Jarak
Aspek Interpretasi Cahaya
Aspek Sudut Si Pemandang
Sumber Gambar: Wikimedia Commons
Sumber Bacaan:
Foucault, M. 2009. Manet and the Object of Painting. (terj: Matthew Barr). London: Tate Publishing.
Krell, A. 1996. Manet and the Painters of Contemporary Life. Thames and Hudson.
kontak via editor@antimateri.com