Antara Kopi, Rokok, dan Politik

Esai ini dipresentasikan pada Festival Kampung Kota 3 (Bandung, 21 Juli 2023)

Rokok, dan Politik
Grafiti di Dago Elos (sumber: bandungbergerak.id)

Apa yang terlintas di benak ketika melihat poster penggusuran?
Ada yang acuh tak acuh;
ada yang membaca sekilas dan berlalu begitu saja;
ada yang mencari tahu lebih lanjut;
ada yang bersimpati;
ada pula yang lalu menyimpan amarah dan bersusah payah untuk mengubah keadaan.

Pengandaian-pengandaian tadi cuma segelintir saja; karena niscaya, setiap orang memiliki momennya sendiri-sendiri.

~~~

Secara definisi, politics of everyday life–atau bisa juga diterjemahkan menjadi politik keseharian–berbicara tentang momen politik setiap individu ketika berhadapan dengan realita.

~~~

Refleksi–yang kerap dibayangkan sebagai konsep adiluhung, hanya bisa dilakukan di dalam gua, atau dalam ruang meditatif kedap suara–pada kenyataannya adalah milik kita semua. Geraknya bisa ditemukan, bahkan pada kebiasaan harian yang kerap luput perhatian; seperti ketika menuang secangkir kopi atau menikmati sebatang rokok.

Sisi reflektif inilah yang menjadi penggerak utama politics of everyday life.

Refleksi personal lantas bersinggungan dengan aspek sosial politik dan menjelma menjadi gerak emansipatoris ketika diri mengenali dan mau mendengar suara-suara marjinal.

Melalui dua gerak tadi–yaitu refleksi dan emansipatoris–kita, hendaknya, tidak lagi tunduk pada suara tunggal ‘sang penguasa pengeras suara’.

~~~

Politics of everyday life bukan obrolan tentang politik yang riuh dengan hasrat-hasrat kekuasaan; tapi politik ‘orang kebanyakan’ yang mengada pada relung mikro setiap individu ketika ia berinteraksi dengan–atau berefleksi tentang–kehidupan di sekelilingnya.

 

Titik beratnya bukanlah pada uraian panjang tentang visi dan misi partai politik. Bukan pula pada iklan-iklan pencoblosan atau penggiringan suara; tapi pada perbincangan antara diri dengan kondisi.

~~~

Rendra dalam Sajak Sebatang Lisong, memberi contoh reflektif ketika ia dengan lirih menyatakan:

gunung gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam

Pada sisi ini, kita lalu menyadari diri sebagai atom dalam fusi absurd yang tidak lagi bisa dipahami.

~~~

Namun atom yang patuh pada sisi solitud dirinya, ternyata tidak pernah sendiri.

Ia adalah bagian dari semesta makna; bertemu dalam bejana yang dibentuk oleh agregat keresahan dan (menyatut kata-kata Rendra) protes-protes terpendam.  

Politics of everyday life mengada pada spektrum ini, ketika agregat dari pandangan politik yang menggeliat di benak kita masing-masing–lalu beririsan, berdampingan, bersinggungan, dan memberi arti pada sebuah keadaan.

~~~

Trentmann (2012) membuat sebuah analogi menarik yang menyamakan politics of everyday life layaknya lukisan dengan aliran pointillisme; yaitu ketika sebuah imaji dilahirkan dari persinggungan ratusan bahkan ribuan titik-titik kecil dalam satu ruang kanvas.

Mungkin Trentmann (2012) ada benarnya; karena kita tidak bisa membayangkan sebuah gerakan massa tanpa ada individu-individu didalamnya.

Georges Seurat, Circus Sideshow

~~~

Jajaran film neoreliasme Itali (yang mengemuka pada kisaran akhir 1940an dan awal 1950an) juga dapat menjadi contoh dari gagasan politics of everyday life. Dengan menggunakan kacamata ‘orang biasa’, realita adalah saujana tanda, yang dapat dibaca dari berbagai sudut pandang.

Kisah Anthony Ricci dalam Bicycle Thieves bisa terjadi pada siapapun diantara kita. Ceritanya bergulir ketika sepeda hasil gadai yang teramat dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaannya, lenyap diambil orang. Kondisi ini lantas menghadapkan Anthony pada dilemma moral.

Selain film, kesusastraan adalah bentuk seni lain yang tidak pernah habis memberikan contoh bagi gagasan politics of everyday life. Lu Hsun, sastrawan awal abad 20 dari China, menempatkan politik pada pusaran keseharian. Dalam cerpennya, gerak politik bukan hanya mengada pada kebijakan raja di istana, tapi juga pada kasus pencurian kubis busuk dengan pelaku yang dihantam habis-habisan karena ternyata sampah juga memiliki sistem kepemilikan, hingga potongan rambut yang membuat membuat orang didakwa hukuman mati.  

~~~

Lalu apa beda politics of everyday life dengan perbincangan tentang gerakan sosial yang telah digaungkan para intelektual sejak era 1960an?

Secara singkat, perbedaan terletak pada apa yang menjadi perhatian utama.

Ketika gerakan sosial (baik gerakan identitas, anti-rasisme, kesetaraan gender, atau environmentalisme) menekankan pada sisi emansipatoris; maka politik keseharian berbicara tentang variasi motif dan kondisi personal yang mendorong tindakan seorang individu.

Contoh lain ada di depan mata. Sisi emansipatoris dari Festival Kampung Kota bertujuan memberi suara pada warga yang dicerabut haknya. Sedangkan dari sisi politics of everyday life bersinggungan dengan motivasi personal setiap individu yang hadir disini–yaitu kita–yang datang dengan ragam latar belakang bahkan mungkin pandangan, namun berbagi kancah perhatian sama.

~~~

Dalam cakupan yang lebih luas, politics of everyday life layaknya senjata tersembunyi dalam pertempuran melawan sejarah tunggal, struktur dan narasi besar. Titik perhatiannya bukanlah revolusi sistem sosial, tapi pada kesadaran atas kebiasaan-kebiasaan sehari-hari guna mendorong kemajuan etis.

Gilles Deleuze (1980), menyatakan: a little suppleness is enough to make things “better”. Bahwa gerak politik yang cair dan tidak terlihat, memiliki kekuatan tersendiri. Bayangkan saja, ketika setiap individu mampu memunculkan sisi reflektif dalam diri, barisan-barisan akan muncul kapanpun terjadi ketidakadilan.

Karena sifatnya yang cair, maka platformnya pun bersifat serupa. Politics of everyday life bisa mengada dimana saja, pada poster dan grafiti di jalan kota; pada berita di laman media sosial; atau pada obrolan antar tetangga.

Sifat cair politics of everyday life menemukan resonansi pada gagasan Foucault (1998) tentang power. Sang filsuf sejarawan menyatakan, bahwa ‘power ada di mana-mana’ dan ‘berasal dari mana-mana’; power mengada bukan pada agen atau struktur, tapi pada wacana yang berkembang.  

Isu ketidakadilan yang digaungkan FKK misalnya, merangsek masuk pada tataran politik keseharian ketika wacana penolakan penggusuran, dibicarakan luas dan mendorong kita untuk mempertanyakan ulang tentang apa itu keadilan.

Proses internalisasi wacana ini merupakan salah satu kekuatan utama politics of everyday life.

Karena siapapun tahu, bentuk-bentuk gerakan cair yang sulit dipahami, adalah ancaman bagi sistem yang bersebrangan dengan sisi kritis masyarakat.

~~~

Namun, para intelektual juga prominen dari gagasan politics of everyday life memberikan semacam peringatan. Bahwa kehidupan sehari-hari sangatlah keropos; ujungnya terbuka ke dua arah.

Di satu sisi, politik keseharian mampu membangunkan refleksi dan kemampuan kritik organik di masyarakat. Namun di sisi lain, aspek keseharian sangat rentan dijejali ‘pesan-pesan politis‘ melalui macam konsumsi (termasuk dalam seliweran postingan di media sosial).

Alhasil, pertarungan politics of everyday life bukan hanya untuk mengalahkan ketidakadilan yang mengangkangi naluri; tapi juga dengan diri sendiri, untuk senantiasa menjaga kewarasan melawan jejaring kasat mata hegemoni.

~~~

Dalam kondisi ini, rasanya kopi dan sebatang rokok (atau apapun yang menjadi bagian dari rutinitas keseharian kita) mampu menjadi penawar. Sebagai tindakan simbolik ketika diri berhadapan dengan momen reflektif.

Sumber Bacaan:

Deleuze, G. & Guttari, F. 1980. A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia (terj. Mussami, B.,  1987). Minneapolis: University of Minnesota Press.

Foucault, M. 1998. The History of Sexuality: The Will to Knowledge. London: Penguin.

Lefebvre, H. 1991/2014. Critique of Everyday Life. London: Verso.

Trentmann, F. 2012, The Politics of Everyday Life, The Oxford Handbook of the History of Consumption, DOI: 10.1093/oxfordhb/9780199561216.013.0027

Share on:

Leave a Comment