The Great Binge

“Alice: How long is forever? White Rabbit: Sometimes, just one second.”
(Lewis Carroll, Alice in Wonderland)

Lewis Caroll menulis fantasi berjudul Alice in Wonderland pada tahun 1865. Dongeng tentang Alice yang terjebak dalam dunia paralel ini menjadi kontroversial karena satu hal: bahwa fantasi yang digambarkan Caroll terlalu dekat dengan realita karena pada akhir abad 19, dunia tengah memasuki fase “zaman mabuk berat” (The Great Binge). Bedanya, dalam fase great binge, pintu masuk Wonderland bukanlah lubang kelinci, tapi segelas Absinthe atau satu dosis hisapan opium. Peralihan abad 19 ke 20 terekam sebagai periode dimana mabuk adalah jiwa zaman. Absinthe, opium dan berbagai produk turunannya dijual secara legal di berbagai belahan dunia.

Karena ketersediaan yang melimpah, harganya menjadi sangat murah dan dikonsumsi secara masal. Melihat kondisi ini, tidak ayal jika kemudian zaman ini diberi nama “The Great Binge[1]–sebuah zaman ketika setiap orang dapat mabuk tanpa mengenal batas. Dengan menggali pertanyaan seperti: apa penyebab great binge? lalu apa dampaknya?, mabuk masal yang terjadi hampir di seluruh jantung kebudayaan ini tergambar layaknya dua sisi pada koin yang sama; kemajuan ilmu pengetahuan dan seni di satu sisi, perang dan adiksi di sisi lainnya.

Zaman Mabuk Berat (The Great Binge)

Tidak ada kesepakatan kapan tepatnya The Great Binge bermula. Banyak sumber menyatakan fase ini terjadi antara 1870 hingga 1914, yaitu ketika berbagai perusahaan farmasi mulai melirik substansi turunan dari opium sebagai bahan untuk obat berbagai macam penyakit. Heroin, yang ternyata merupakan merk obat batuk produksi Bayer, dijual secara bebas tanpa batas usia. Heroin sendiri merupakan temuan “tidak sengaja” Felix Hoffmann ketika tengah mengembangkan codein, obat untuk meredam efek kecanduan morfin yang telah berkembang sebelumnya[2]. Selain obat batuk, Heroin juga dijadikan resep untuk penghilang migren.

Drugs di era The Great Binge
Cocaine Toothache Drops

Di Perancis, abshinte-lah yang dijadikan formula untuk menangkal malaria dan obat demam anak-anak. Dan pada tahun 1886, kokain dijadi bahan utama Cocal Cola yang tentunya dijual secara bebas di pasaran Amerika. Di Inggris, proporsi opium eater[3] mencapai puncaknya. Setiap orang dapat membeli opium dan laudanum secara mudah di toko obat manapun di London. Sedangkan di daerah industri seperti Manchester, kegiatan opium-eating dilakukan para pekerja di setiap akhir pekan. Ketersediaan opium dalam harga yang sangat murah telah menggantikan alkohol. Sebuah ungkapan yang menggambarkan popularitas opium, berbunyi: that any man having once tasted the divine luxuries of opium will never descend to the gross and mortal enjoyments of alcohol[4].

Pandangan lain tentang awal periode The Great Binge dikemukakan oleh Thomas de Quincey yang menariknya hingga awal abad 19. Pandangan ini ditunjang oleh fakta bahwa opium adalah salah satu komoditas utama perdagangan dunia sejak abad 18. Inggris yang menguasai kawasan British India diuntungkan karena Bengal merupakan salah satu penghasil opium terbesar di Asia yang memasok bukan hanya Eropa, tapi juga Cina[5]. Kebijakan perdagangan Cina yang hanya memperbolehkan sedikit akses bagi pedagang asing, membuat Inggris harus menjualnya secara illegal[6]. Perdagangan illegal ini berujung pada Perang Candu I dan II yang berakhir dengan kemenangan Inggris.

Atas kekalahannya, Cina terpaksa harus membuka pelabuhan untuk menerima barang dagang dari Iggris, termasuk opium. Pada akhirnya, diaspora Cina berperan dalam penyebaran tradisi menghisap opium di Amerika Serikat, karena opium den (kedai pemadat) hampir pasti dapat ditemukan di setiap Pecinan. Pusat lain dari penyebaran opium adalah Jawa, sebagaimana dikemukakan oleh Peter Carey (2008) bahwa salah satu alasan pemodal Cina untuk berdagang di Jawa adalah untuk memastikan pasokan opium yang cukup untuk dibawa kembali ke Cina. Selain Jawa dan India, pasokan opium juga berasal dari Turki yang telah menguasai jalur perdagangan opium sebelum Inggris dan Cina. Sedangkan di Iran, opium menjadi alternatif bagi masyarakat ketika terjadi larangan tembakau pada kisaran 1890an.

Sejalan dengan munculnya dampak adiksi yang tidak lebih baik daripada morfin, penggunaan heroin dan kokain serta merta dilarang pada tahun 1914. Pelarangan ini berlaku bagi semua substansi adiktif, juga berlaku untuk pelarangan pencampuran bahan adiktif pada makanan dan minuman (walau abshinte tidak pernah sepenuhnya dilarang di Inggris). Dampaknya, sebagaimana diketahui bersama, peta perdagangan opium menghilang dibawah radar dan periode The Great Binge berakhir.

Bentuk pelarangan ini adalah rasional mengingat meluasnya dampak dari disfungsi masyarakat (sebagaimana mimpi buruk Kaisar Qing yang menjadi kenyataan ketika rakyatnya menghabiskan uang dan separuh waktunya di kedai-kedai madat). Namun, disamping disfungsi, sejarah mencatat bahwa selama periode The Great Binge, terdapat perkembangan signifikan dalam ilmu pengetahuan, sastra dan seni. Analogi Caroll dalam Alice in Wonderland memberikan gambaran bahwa absinthe dan substansi memabukkan lain, mendorong daya imajinasi hingga mencapai Wonderland. Dengan mengurai segelintir contoh, sisi memaukau The Great Binge akan terungkap dengan sendirinya.

Lukisan Era The Great Binge
Édouard Manet, The Absinthe Drinker, 1859

Salah satu contoh mengemuka adalah insiden terkenal pada tahun 1859. Kala itu, Edouard Manet berniat mengajukan lukisannya yang berjudul The Absinthe Drinker untuk dipajang pada Salon bergengsi di Paris. Lukisan Manet menuai kritik karena dipandang tidak memiliki sensitivitas moral[7]the drunkards were pitiful, downtrodden reprobates of the gutter. Namun dibalik kontroversi tersebut, Manet menjadi pembuka bagi dua hal: (1) sebagai simbolisasi awal dari kehadiran The Great Binge (2) membuka jalan bagi aliran modern dalam seni lukis, dimana objek menjadi penting bukan karena statusnya, namun karena pernyataan yang tertuang dalam lukisannya.

Setelah itu, perayaan abshinte dalam seni lukis tidak terhitung jumlahnya, mulai dari Toulouse-Lautrec, Degas, Gauguin, Munch, Van Gogh hingga Picasso, adalah beberapa nama terkenal yang tenggelam dalam (the muse extraordinaire) absinthe. Pengaruh The Great Binge dalam sastra pun tidak kalah kuat, sebut saja: Rimbaud, Verlaine, Baudelaire, juga Oscar Wilde, adalah anak zaman yang dibesarkan oleh absinthe, opium, laudanum, kokain dan morfin. Adapun lompatan besar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan ditandai oleh nama besar seperti Friedrich Nietzsche (yang menggunakan opium untuk mengatasi masalah tidurnya) dan Sigmund Freud (menyarankan Heroin sebagai anti-depresan dan obat untuk impotensi pada pasien-pasiennya).

Dalam waktu singkat abshinte dan opium menjadi simbol inteletualitas dan estetika[8]. Tokoh fiksional Sherlock Holmes ikut mempopulerkan sosok opium-eater yang menggunakan sokongan opium dan laudranum untuk memaksimalkan kerja otak. Ditambah gambaran Oscar Wilde yang menyamakan sensasi absinthe dengan keindahan matahari terbenam, membuat The Great Binge berfungsi layaknya kolam kreativitas. Namun, dimanapun, setiap mimpi harus berakhir. Fase The Great Binge berakhir karena rasionalitas manusia lebih memilih produktivitas fisik daripada imajinasi visioner filsuf dan penyair.

Selepas mimpi The Great Binge usai, dunia dihadapkan pada realita brutal Perang Dunia. Dan kini, imajinasi The Great Binge hanya dapat kita nikmati melalui cerita Caroll tentang Alice yang berpetualang di Wonderland, sedangkan abshinte (dan substansi lainnya) dilarang beradar atas alasan kesehatan fisik dan kemaslahatan umat manusia. Sejenak lalu terdengar ucapan Alice: “If  you drink much from a bottle marked ‘poison’ it is certain to disagree with you sooner or later”.

Catatan:
Seluruh sumber dan ide awal penulisan berasal dari Aang Sudrajat

Sumber Bacaan:
Bryars, Tim& Harper, Tom. (2014). A History of the Twentieth Century in 100 Maps. University of Chicago Press
Carey, Peter. (2008). Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa. Komunitas Bambu
Caroll, Lewis. (2003). Alice in Wonderland. Penguin Classic Reissues.
Saunders, Nicholas J. (2014). The Poppy: A History of Conflict, Loss, Remembrance, and Redemption. Oneworld Publications
Worthington, Daryl. (2016). The Great Binge: Heroin, Cocaine and Opium Over the Counter


Keterangan:
[1]Binge memiliki arti “a short period devoted to indulging in an activity to excess, especially drinking alcohol or eating”.
[2]Codein diproduksi oleh The Aktiengesellschaft Farbenfabriken, kini perusahaan Bayer, yang berbasis di Jerman
[3]Sebutan populer untuk pecandu opium
[4]Dikemukakan oleh Thomas de Quincey
[5]Dapat dilihat pada tautan Opium Trade
[6]Sebelum mendapat pasokan dari Inggris, konsumsi opium masyarakat Cina disebut Madak, yang merupakan campuran opium dan tembakau yang sudah beredar sejak abad 16 dan 17. Madak diperkenalkan oleh pedangan Belanda yang membawanya dari Jawa. Pelarangan Madak pada tahun 1729, menjadi salah satu faktor meningkatnya popularitas opium murni yang dibawa oleh pedagang Arab–dan Inggris kemudian.

[7]Salah satu dasar kritik ini mengacu pada pemilihan objek lukis Manet, karena lukisan potrait saat itu merupakan kemewahan yang hanya dapat dinikmati bangsawan (https://www.edouard-manet.net/absinthe-drinker/)
[8]The Great Binge memunculkan banyak kajian tentang keterkaitan antara substansi memabukkan dengan kreativitas, salah satu yang terkenal adalah buku karya Aldous Huxley, The Door of Perception yang didasarkan pada eksperimen Huxley menggunakan mescalin.

Share on:

1 thought on “The Great Binge”

  1. Im gonna try for the kingdom if I can, cause it makes me feel like I’m a man.
    When I put a spike into my vein, then I tell you things aren’t quite the same.
    When I’m rushing on my run, and I feel just like Jesus’ son.

    -Lou Reed-

Leave a Comment