Saat ini, seniman tatto adalah pilihan pekerjaan yang menjanjikan. Sungguh ini berbeda ketika saya memulai menekuni seni rajah tubuh ini pada akhir 90an. Memang saat itupun tattoo memiliki pangsa pasarnya tersendiri – atau katakanlah sebuah subkultur yang hidup atas kesetiaan para penggemarnya – tapi sebagai subkultur, tattoo bukanlah seni yang booming. Hanya segelintir masyarakat yang berminat pada seni ini, kebanyakan adalah musisi atau para pekerja seni. Bahkan tatto kerap disandingkan dengan kriminalitas – di kota saya belajarpun, pada sebuah salon tatto kecil di sudut Jalanan Fillmore, San Francisco, tattoo identik dengan dunia bawah tanah para pengedar obat-obat atau geng jalanan. Tapi memasuki tahun 2005, semua berubah. Tattoo muncul sebagai sebuah industri, dengan para artist hollywood sebagai modelnya – dan seni pinggiran ini dalam seketika menjadi populer. Hasilnya, salon tatto kebanjiran pelanggan, dan kami para seniman mengalami perubahan status tatto – persis seperti chef (juru masak) yang tiba-tiba memenuhi layar kaca dan menjadi selebriti.
Asal muasal perubahan ini tidak lain adalah industri televisi. Saya ingat betul penayangan perdana Miami Ink pada pertengahan tahun 2005, dan bagi yang menggeluti bidang ini, acara tersebut adalah tontonan wajib. Bagaimanapun, penanyanan ini tidak hanya mengubah pola industri tattoo tapi juga pandangan masyarakat terhadap tattoo itu sendiri. Terlebih siapa yang tidak tertarik melihat tatto di badan David Beckham hingga Scarlett Johanson, dari Adam Levine hingga Rihana – semuanya menjadi display apik dan menarik dari seni rajah tubuh ini. Dan semakin banyak selebriti berbondong-bondong mentato tubuhnya, semakin meluas pulalah peminat seni rajah tubuh ini. Alhasil, pelanggan yang datang menjadi beragam, mulai dari pelajar, akuntan, hingga ibu rumah tangga – status sosial yang pada awalnya sedikit janggal ditemukan disebuah salon tatto. Remaja baru gede pun tidak kalah banyaknya, hal ini membuat seniman tattoo kebanjiran pesanan yang sifatnya feminim – cute and adorable, tattoo yang begitu jarang dipesan sebelum tahun 2000an. Tentu saja perubahan ini menggembirakan karena bisnis tattoo berkembang pada tahap yang sebelumnya belum pernah terpikirkan. Namun, yang paling menggembirakan adalah perubahan pandangan masyarakat yang tidak lagi memandang tatto sebagai simbol sosial tertentu. Saat ini pada kalangan remaja khususnya, tattoo adalah popularitas. Dan para seniman (populer) tatto seperti Tommy Montoya, Megan Massacre, Kat Von D dan Ami James, menjadi legenda tersendiri.
Namun tentu selalu ada dua sisi dalam mata koin. Mungkin tidak dirasakan oleh penikmat tattoo pada umumnya, namun bagi saya sebagai seorang tatto artist, perubahan perilaku terhadap tatto sangat terasa. Pertama, tatto tidak lagi personal. Banyak dari pelanggan yang datang ke salon kami, memesan tatto yang ia comot begitu saja dari instagram atau media sosial lain yang menampilkan tatto-tatto dengan tampilan menarik. Tentu tidak ada yang salah pada pilihan tersebut jika kemudian pemilihan tatto dari media sosial diikuti dengan tahap personifikasi – memberikan arti yang personal. Tapi sayangnya hal ini jarang dilakukan – as long as it look cute and adorable, why not?. Kedua, kecanggihan teknologi tatto, mulai dari jarum hingga tinta diiringi dengan kemunculan teknologi lain, yaitu laser yang difungsikan untuk menghilangkan tattoo. Penghilangan tattoo menggunakan laser sangat minim efek samping dan memiliki hasil yang maksimal – tapi untuk yang satu ini, kami serahkan pada para pakar kulit dan kecantikan. Kemudahan menghapus tatto mendukung gejala yang pertama: karena semakin mudah dihapus, maka tattoo tidak lagi “abadi”.
Perubahan ini sedikit ironis, karena ia bersebrangan dengan pemaknaan tatto itu sendiri. Tattoo berasal dari bahasa klasik Polynesia (Tahiti) “tatau” yang berarti “menandai”. Dalam berbagai budaya, tatto adalah penanda identitas. Pada berbagai suku di dunia, termasuk mentawai dan Dayak di tanah air, tattoo adalah ciri yang sakral, dan disematkan pada tubuh seseorang sebagai bentuk pencapaian atau telah terlewatinya inisiasi tertentu. Tapi saat ini, tatto tidak lagi ditempatkan pada konteks seperti itu. Mungkin inilah yang dikatakan orang-orang sebagai gelombang postmodernitas, yang ternyata pengaruhnya pun dapat merambah hingga subkultur seni rajah tubuh. Tattoo tetap menjadi sebuah budaya, namun perubahan pemaknaan masyarakat terhadap budaya, juga mengubah pandangan terhadap tattoo. Kini tattoo menjadi begitu cair, baik dalam “segi bentuk” tatto itu sendiri, juga dalam pemaknaannya. Pada satu sisi tatto tetap menjadi lambang identitas (karena saat ini tatto memiliki makna popularitas), namun bedanya, pada masa postmo ini, identitas (melalui tatto) bukanlah sesuatu yang ajeg sebagaimana suku dayak atau maori memaknai tatonya, tapi dapat diubah kapan saja, sesuai dengan trend fashion yang digandrungi. Tentu hal tersebut sah-sah saja, dan seniman tatto pun (seharusnya) senang akan maraknya permintaan – dan tidak boleh protes pada melimpahnya pesanan-pesanan cute and adorable.
Catatan: *tulisan ini diedit oleh tim editor seperlunya tanpa mengubah konten
Tattoo Artshit – Failed Musician