Menertawakan Banalitas

Pada suatu hari saya mengunjungi radio RRI Bandung dalam rangka menyelenggarakan acara komunitas yang concern terhadap bidang politik. Seperti biasa acara berlangsung ngaret, sehingga saya selaku panitia di situ merasa tidak enak terhadap pihak radio, terlebih direktur utama radio, hadir di situ.

Dalam rangka mengisi awkward moment, karena acara yang belum berlangsung selama 30 menit lebih, salah satu teman saya akhirnya berinisiatif untuk berbincang dengan pihak radio. Perbincangan pun berjalan kesana kemari, mulai dari dunia aktivisme mahasiswa sampai media massa di Indonesia saat ini yang sedang mengalami penurunan kualitas, karena bad news dianggap sebagai good news.

Perbincangan tentang penurunan kualitas media massa tersebut berhasil membuat saya kepo skeptis, sehingga melakukan riset abal-abal tentang beberapa faktor yang mempengaruhi: salah satu faktor yang cukup menarik perhatian saya yaitu betapa cepatnya berita muncul dan menghilang di media massa.

***

Image the world, but understand nothing. [1] – Arthur and Marilouise Kroker

Dalam konsepsi fisika klasik, kita sering dihadapkan dengan suatu rumus umum yaitu kecepatan yang berarti jarak dibagi dengan waktu. Pada abad dua puluh, seorang fisikawan brilian bernama Einstein mengajukan konsepsi relativitas  bahwa kecepatan yang dirasakan dan dilihat setiap orang berbeda bergantung pada posisi orang tersebut berada.

Konsepsi perbedaan kecepatan pada objek yang bergerak tersebut akhirnya mempengaruhi daya tangkap visual yang dirasakan oleh sang subjek. Ambil contoh superhero milik DC Comic, Flash, yang dapat bergerak dengan kecepatan cahaya, saat dia berlari, dia dapat menyadari seluruh objek yang dia lewati, namun sebaliknya subjek yang memiliki kecepatan lebih lambat dari Flash justru tidak menyadari apa yang terjadi karena kejadian Flash yang berlari hanya terjadi dengan sekejap.

Hari ini, subjek dari kecepatan tersebut bukan hanya kendaraan-kendaraan yang bergerak di jalanan tetapi merambah pula pada informasi-informasi yang bertebaran di dunia maya. Lihatlah, setiap detik informasi-informasi terbaru selalu muncul mengabarkan setiap hal yang terjadi di dunia pada saat ini.

Namun, informasi yang bergerak dengan cepat setiap waktu justru malah membawa objek (sang pencari informasi) ke dalam suatu kondisi delirium. Suatu gangguan mental yang berlangsung singkat, ditandai dengan halusinasi, ilusi, delusi, kegelisahan dan kegirangan[2] atau jika saya mengutip pernyataan seorang post-positivist orang tersebut berada dalam kondisi hiperealitas.

Salah satu kasus yang ingin saya ambil adalah kasus Palestina yang sempat ramai beberapa bulan yang lalu. Iya, saya akui kasus tersebut adalah salah satu kasus pencorengan nama baik HAM karena terdapat berbagai pelanggaran seperti apartheid misalnya. Namun, hal yang saya ingin kritisi (khususnya dalam media sosial) kurang sekali latar belakang dari berbagai perspektif seperti ekonomi, geopolitik, dll. Tapi, pada akhirnya siapa peduli, rasanya gambar-gambar yang menampilkan korban-korban kekejaman yang disebarkan berulang kali sudah cukup untuk menggambarkan kasus di sana ditambah dengan bumbu semangat agama untuk membakar semangat jihad walaupun tidak paham apa yang sesungguhnya terjadi.

Dengan sinisnya, Arthur dan Marylouise Kroker menggambarkan hal tersebut sebagai : The faster the tech, the slower the speed of thought… the more accelerated the culture, the slower the rate of social change… the quicker the digital decomposition, the slower the political reflection… the more apparent the external speed, the real the internal slowness… delirious speed and anxious slowness… a split reality… accelerating digital effects are neutralized by deaccelerating special human effects… digital reality spins out of control, human reality slow-burns back to earth… speed bodies slow vision… speed flesh and slow bones… speed web and slow riot… the slow mirror of speed [3]

Alhasil, saat seseorang terlalu lama berada dalam kondisi delirium. Orang tersebut secara tidak langsung berada dalam kondisi pikiran yang tidak ingin memikirkan suatu hal secara mendalam atau orang tersebut berada dalam kondisi banalitas (kedangkalan).

***

Hannah Arendt seorang filsuf politik abad keduapuluh yang lahir pada 1906 di Hanover, Jerman, dan meninggal di New York pada 1975. [4] Menulis suatu buku yang cukup fenomenal salahsatunya adalah Eichmann in Jerusalem, A Report on The Banality of Evil, buku ini membahas tentang banalitas dalam kejahatan yang dilakukan oleh salah seorang perwira Nazi yang bernama Eichmann.

Eichmann diadili di Israel atas kejahatannya pada perang dunia kedua karena pembunuhan teradap orang – orang Yahudi di kamp – kamp konsentrasi Nazi. Tugas utamanya selama menjadi prajurit pada waktu itu adalah mengirim orang – orang Yahudi di seluruh Eropa ke dalam kamp – kamp konsentrasi milik Nazi.

Arendt yang pada waktu itu bekerja pada The New Yorker, mengajukan diri sebagai reporter untuk meliput pengadilan kepada editor kepalanya, William Shawn. Shawn menyetujuinya. Dari tanggal 11 April 1961 hingga 14 Agustus 1961, Arendt pergi ke Yerusalem untuk meliput sidang Eichmann. Pada saat meliput, Arendt dikejutkan oleh Eichmann yang dianggap sebagai salahsatu pelaku kejam pada perang dunia kedua, kenyataannya ciri – ciri orang yang jahat seperti fanatisme berlebihan, bengis dan brutal tidak terlihat, Arendt malah menggambarkan Eichmann sebagai “warga negara yang taat pada hukum.” [5]

Dalam bukunya Eichmann in Jerusalem, A Report on the Banality of Evil menyebutkan kondisi tersebut sebagai banalitas dalam kejahatan. Suatu kondisi saat kejahatan dianggap sebagai suatu hal yang biasa saja. Sebagai contoh, mari perhatikan argumen yang dikemukakan oleh Arendt terhadap kasus Eichmann :

Except for an extraordinary diligence in looking out for his personal advancement he had no motives at all. And this diligence in itself was in no way criminal; he certainly would never have murdered his superior in order to inherit his post. He merely, to put the matter colloquially, never what he was doing.” [6]

Dalam argument di atas disebutkan, Eichmann bukanlah seseorang yang memiliki motif kejahatan sama sekali, seandainya dia melakukan hal yang pengadilan di Israel dianggap kejahatan, hal itu sama sekali tidak dapat disebut suatu kejahatan karena pada dasarnya dia hanya melakukan tugasnya sebagai prajurit Nazi. Masalah utama dari kasus Eichmann sebenernya adalah dia tidak menyadari dampak yang dilakukan olehnya. [7]

Dalam argumennya yang lain Arendt menyatakan :

He was not stupid. It was sheer thougtesness something by no means identical with stupidity that predisposed him to become one of the greatest criminal of that period. And if this is banal and even funny, if with the best will in the world one cannot extract any diabolical or demonic profundity from Eichmann, that is still far from calling it commonplace”.

Eichmann bukanlah orang bodoh. Karena masalah utama dari dia adalah ketidaksadaran atas hal yang dilakukan yang didasari oleh ketidakberpikiran atas tindakan yang membawanya menjadi salahsatu kriminal terbesar pada periode tersebut.[8] Tidak peduli secerdas atau sebaik apa pun seseorang, jika seseorang tersebut tidak berpikir secara mendalam atau menyeluruh atas tindakannya, seseorang tersebut bisa jatuh ke dalam jurang kejahatan yang sama seperti yang dialami oleh Eichmann.

***

That such remoteness from reality and such toughtelessness can wreak more havoc than all the evil instincts taken together which, perhaps, are inherent in man. – Hannah Arendt

Konteks banalitas kejahatan yang diajukan oleh Arendt, setidaknya dapat digunakan untuk melihat menganalisis berbagai konflik-konflik tidak penting yang sering beredar akhir-akhir ini dalam berbagai medium penyebar informasi, dimana Eichmann di sini menjelma menjadi orang – orang yang terpancing secara tidak sadar oleh medium-medium tersebut.

Masih hangat dalam ingatan saya bagaimana pemilu presiden terakhir berubah dari kontestasi untuk membandingkan berbagai kebijakan politik yang seharusnya menjadi bahasan hangat berubah menjadi suatu banalitas yang penuh dengan ad hominem yang dibumbui oleh isu-isu rasial dan agama, sehingga pemilu presiden tersebut seakan-akan merubah setiap orang yang terjebak dalam banalitas tersebut menjadi penjelmaan Eichmann. Yang lucunya kejadian-kejadian tersebut masih terjadi sampai sekarang, walaupun mengambil bentuk kejadian yang berbeda.

Sehingga pada titik ini rasanya ingin sekali menjadi seorang Itali yang meminum cappuccino setelah pukul 10.30 pagi sambil menertwakan seorang turis yang memesan espresso setelah pukul 10.30 karena kebudayaan Italia mengatakannya seperti itu.

Daftar Pustaka
[1], [3] Kroker, Arthur dan Marilouise Kroker, Digital Delirium, Palgrave Macmillan, 1997, hal. X
[2] Dorland, W. A. Newman, Kamus Saku Kedokteran Dorland, Ed.28, EGC Medical Publisher, 2008, hal. 294
[4] stanford diakses pada 07 September 2015
[5], [6], [7] Arendt, Hannah, Eichmann in Jerusalem, Macmillan Company, New York, 1963, hal. 135.

Share on:

Leave a Comment