Adakalanya, saya menyerah pada perangkap makna–seperti halnya judul tulisan ini. Tiga konsep tertulis: Sensual Reason, Noise, Music, bukan tanpa padanan kata dalam bahasa Indonesia. Tapi untuk menerjemahkannya, butuh kelihaian ahli bahasa; dan saya jauh dari itu. Oleh karenanya, saya biarkan saja demikian dan mari perbincangkan ketiga konsep di atas dari sudut pandang salah filsuf kesukaan kita semua: Gilles Deleuze.
Sermon tape in Cairo
Gagasan Deleuze hinggap di jendela tepat ketika saya tengah berkutat dengan tema “soundmark” untuk sebuah tugas kuliah. Konsep tersebut dikemukakan Schafer (1994) yang menekankan bahwasanya: sebuah bentang suara dapat mewakili identitas tertentu. Contoh rekaman di atas adalah salah satunya. Sebuah landskap khas yang hanya akan ditemui di negara berpenduduk Muslim (setidaknya jika mengacu pada bahasa dan gaya tuturnya). Indonesia punya pengalaman serupa, dengan cacophony adzan lima kali sehari, identitas Islam senantiasa ada di udara. Mengacu pada konsepsi soundmark, telinga kita akan memaknai, mengenali atau sekedar mengira-ngira abstraksi identitas dari setiap suara yang kita dengar.
Tapi Deleuze punya pandangan lain. Gagasan yang tadinya hanya hinggap di jendela kini malah bernyanyi, ”Trek-jing…trek-jing…Trek-jing tra-la-la..Burung kakaktua”–dan buyar lah konsentrasi saya. Tugas kuliah pun saya tinggalkan sejenak untuk ikut bernyanyi.
Lagu kanak-kanak, adalah contoh yang baik dalam menjelaskan konsepsi Deleuze tentang noise (suara empirik). Tanpa disadari, dalam setiap kata dan nada lugu, ada pergulatan sengit antara yang abstrak dan empirik. Abstraksi mengacu adalah makna, ingatan, konsep ataupun identitas; sedangkan empirik mengacu pada suara (noise) yang dihasilkan dari pelantun lagu tersebut.
Disinilah letak permasalahannya: Deleuze menyatakan bahwa pada setiap proses mendengar, kita terlalu tergantung pada abstraksi sehingga secara otomatis akan merepresi sisi empirik dari sebuah suara. Lagu di atas (yang sudah dihapal diluar kepala), atau suara adzan sebagai contoh lainnya, tidak lagi kita “dengar” dengan telinga, tapi ingatan. Demikian juga ceramah, percakapan keseharian, ataupun klakson di jalan raya–seluruhnya dijejalkan kedalam ruang konsep makna dan kita cenderung tidak mengindahkan bentuk empirik dari suara. Dalam percakapan, misalnya, yang ditangkap adalah makna, bukan suara di pembicara; demikian pula petikan gitar yang akan dianggap “berbunyi” ketika dimainkan melalui pemaknaan nada.
Phone Conversation in Éloge de l’amour
Noise is always present to the senses and faculties; it has only been suppressed by an adherence to a model of recognition.
Sebelumnya harus saya nyatakan terlebih dahulu bahwa contoh cuplikan film Godard di atas hanya akan mengena pada orang seperti saya yang tidak memiliki pengetahuan akan bahasa Perancisnya. Sang narator, karena berbicara dalam bahasa Inggris yang familiar maka setiap kata-katanya langsung berubah menjadi makna. Namun tidak demikian dengan percakapan telepon dalam bahasa berbeda: disini saya mendengar suara empirik, karena saya tidak memiliki konsep bahasa yang digunakan.
Pertanyaan: Lalu apa masalahnya?
Jawaban: Tidak ada masalah jika memang harmoni yang dicari.
Pertanyaan: Apa konsekuensinya jika memang harmoni yang dicari?
Jawaban: Selamanya kita tidak akan mendengar “suara” dalam bentuk yang empirik.
Pertanyaan: Memangnya bagaimana cara untuk mendengar “suara empirik”?
Jawaban: Buat sebuah discordant harmony.
Atau dalam kata-kata Delueze (1994):
It can appear only in the form of a discordant harmony, since each communicates to the other only the violence which confronts it with its own difference and divergence from the others.
Higgins (2010) dalam tulisan dengan judul yang menggelitik “A Deleuzian Noise/Excavating the Body of Abstract Sound” memberi sebuah interpretasi menarik tentang hubungan filosofi Delueze dengan Intonarumori karya Russolo atau garapan pada musisi concrete setelahnya yang “menggali kembali tubuh suara dari abstraksi bunyi”. Bentuk musik dengan discordant harmony ini memang bukan ditujukan untuk menyentuh abstraksi “emosi, nostalgia, atau selera”, tapi sebagai upaya untuk menemukan “suara” (noise) yang senantiasa direpresi oleh tirani makna.
Edgar Varese, Poeme Eleqtronique
Electronic Poem karya Varese adalah salah satu upaya sang komposer untuk menghadirkan puisi dalam bentuk “suara” itu sendiri (baca: sama sekali bukan musikalisasi puisi). Upaya ini sejalan dengan pandangan Delueze tentang sensual reasoning yang memiliki tahapan sebagai berikut: (1) awalnya mampu menggerakkan jiwa; (2) lalu membuat kebingungan hingga menimbulkan masalah; (3) sistem tanda dilabrak dengan hingga kewalahan dan tidak mampu memahami apa-apa; (4) ketika makna menyerah kalah, lalu sensor indrawi menjadi produktif; dan (5) ketika sensor inderawi mengalami kegemparan, kita akan dipaksa untuk berpikir dan mencerna apa yang ada. Dengan kata lain: A body that cannot recognize the strange, the violent, the confusing, a noise, must then think.
Satu hal yang kemudian diakui oleh Deleuze adalah bentuk empirik suara yang sensible dan tidak dapat dimaterilkan. Namun, sejalan perkembangan teknologi, suara empirik yang awalnya hanya gagasan platonik semata, menjelma dalam bentuk sonic art. Higgins (2010) lalu meletakkan gagasan Deleuze dengan melakukan interpretasi silang dalam perkembangan noise dan music. Begini ungkapnya:
“Perkembangan teknologi rekaman suara telah menawarkan tantangan sekaligus kesempatan untuk menggali suara empiris yang selama ini terpinggirkan. Awalnya memang rekaman menyerah pada pemaknaan si perekam; namun dengan adanya teknologi sonik-musik penggabungan tidak beraturan, yang dimediasi secara empiris, sekarang dapat direkam ulang, dan dimanipulasi hingga terbentuklah sonic art.”
Dalam konteks ini, gagasan empirik/abstraksi dan perkembangan teknologi rekaman telah memberi memberi jalan pada (r)evolusi musik kontemporer dan secara tidak langsung mempengaruhi pemahaman musik kita saat ini.
Pierre Schaeffer, Etude aux chemins de fer
Berangkat dari refleksi akan bentuk empirik suara dan sensual reasoning, gagasan “soundmark” yang dibahas pada bagian awal tulisan ini muncul kembali dengan pembacaan baru: bahwa dalam sebuah bentang suara, entah berapa “suara empirik” yang kita lewatkan dan kesampingkan begitu saja. Identitas dan makna memang ada di sana. Berjejalan bersama kendaraan yang berlalu lalang dengan klaksonnya yang nyaring menyalak. Namun dibalik segala gegap gempita makna, ada sebuah realita yang mengasyikan, khususnya bagi para penikmat “noise” juga suara ganjil lainnya. Dan mengingat Indonesia merupakan negara dengan soundscapes yang meriah (bersandingan dengan India, Mesir, atau negara lain dengan intensitas soundscape yang jauh dari kata etis), kemungkinan yang hadir hanya dua: menjadi surga bagi para musisi eksperimen, atau surga penjual toa alias pengeras suara. Sisanya berdesakan dalam kebisingan dan sumpah serapah.
Sumber Bacaan:
Deleuze, G. (1994). Difference and Repetition. Terj. Paul Patton. Columbia University Press.
Higgin, S. (2010). A Deleuzian Noise/Excavating the Body of Abstract Sound. dalam B. Hulse and N. Nesbitt (ed). Sounding the Virtual: Gilles Deleuze and the Theory and Philosophy of Music. Ashgate Publishing Limited.
Schafer, R. M. (1994). The Soundscape: Our Sonic Environment and the Tuning of the World. Destiny Books.
kontak via editor@antimateri.com