Repertoire Nina Simone: Mr. Backlash, Just Who Do You Think I am?

I never really got over that jolt of racism–Nina Simone

Penolakan Curtis Institute of Music, Philadelphia atas aplikasi Eunice Kathleen Waymon pada kancah penerimaan musim gugur 1950, berujung pada dua hal: (1) sirnanya mimpi seorang gadis kulit hitam asal North Carolina untuk menjadi pianis perempuan kulit hitam pertama; dan (2) lahirnya seorang musisi anomali yang dengan lantang membakar dinding rasisme lewat lagu-lagunya. Si kecil Eunice Kathleen lantas menjelma menjadi seorang Nina Simone, the High Priestess of Soul yang bermusik untuk kaumnya sendiri. Melalui album Little Girl Blue (1959), nama Nina Simone melejit melalui interpretasi baru pada jazz, blues dan soul melalui pendekatan musik klasik yang dengan kokoh ia pertahankan, termasuk gaya klasik Bach juga musisi era romantik seperti Chopin dan Liszt untuk memperkuat repertoirenya. Dengan dukungan Leopolde Fleming pada perkusi dan gitaris Al Schackman, Nina berhasil menghadirkan standar tinggi pada setiap penampilannya, baik sesi rekaman ataupun pertunjukkan langsung. Dalam waktu singkat, namanya lantas bersandingan dengan diva blues terdahulu, Billie Holiday. Namun karir gemilang Nina tidak bertahan lama karena ia lalu melakukan bunuh diri karir dengan merilis Mississippi Goddam (1964) dan Backlash Blues (1967) yang kental dengan kritik rasisme. “We all wanted to say it… and She said it”, ujar Dick Gregory mewakili aktivis civil rights movement saat itu (Shatz, 2016). Dapat dibayangkan dampak setelahnya–Nina tidak pernah lagi mendapatkan kesuskesan finansial dari industri musik. Tapi jejak kontroversial Nina tidak berhenti disana. Ia tetap mampu melancarkan kritik tajam melalui repertoire-repertoirenya dari balik piano. Salah satu yang menohok adalah penyataannya bahwa ia memainkan musik hanya untuk sesama kulit hitam, sisanya cuma kebetulan–“I’m singing only to you. I don’t care about the others. White fans are accidental and incidental”. Namun privilese itupun kemudian ia bantah sendiri karena menurutnya civil rights movement tidak menghasilan apa-apa–apparently, not everyone is ready to burn buildings (Lynskey, 2015). Kekecewaan mendalam membawanya mengasingkan diri dari aktivisme politik dan menjaga jarak dari dunia musik melalui pengasingan diri di Liberia. Sebuah komentar dari penyair Maya Angelou pada kisaran awal 1970an terasa tepat menggambarkan tindakan Nina saat itu, “She is an extremist, extremely realized”. Nina nampaknya paham betul bahwa butuh lebih dari sekedar lagu bernuansa politik untuk menghancurkan dinding rasisme. Kenyataan pahit ini disadari Nina kala geliat civil rights movement semakin meredup sedangkan rasisme masih kuat mengakar. Kini, empat dekade kemudian, Mississippi Goddam dan Backlash Blues ada diantara deretan lagu kritik anti-rasisme yang dinyanyikan kembali ketika lelucon (tidak lucu) rasisme berulang. Mungkin, jika sang Priestess masih hidup, komentarnya akan sama galaknya seperti hardikan pada lagu simpati atas kematian Martin Luther King Jr.: “The king of love is dead, I ain’t ‘bout to be nonviolent, honey!”.

Atas kesadaran itu, Nina memilih duduk di belakang piano menyanyikan repertoirenya seorang diri–tanpa gerakan sosial ataupun barisan massa di belakangnya. Ia mendedikasikan diri pada musik dan sesuatu yang lebih besar dari aktivisme politik, yaitu kebebasan.

Repertoire Nina Simone: Anti Rasisme, Blues, Jazz and Beyond

Mississippi Goddamn

Backlash Blues

Sinnerman

Don’t Let Me Be Misunderstood

Sumber Bacaan:
Cleary, S. (2003). I Put a Spell on You. New York: Da Capo Press.
Cohodas, N. (2010). Princess Noire: The Tumultuous Reign of Nina Simone. New York: Pantheon Books.
Lynskey, D. (2015). Nina Simone: ‘Are you ready to burn buildings?’. The Guardian. 
Shatz, A. (2016). The Fierce Courage of Nina Simone. The New York Review of Books.

Share on:

Leave a Comment