Pertama-tama, sebelum dihujam kritik oleh para aktivis feminisme, tulisan ini akan menyelamatkan dirinya dengan mengklaim: bahwa judul tidak peka gender di atas sepenuhnya disadari dan [tetap] digunakan atas dasar terjemahan tekstual yang memang demikian (dan jangan berharap tulisan ini akan membahas dari sudut tersebut–karena penulis sama sekali tidak punya ketertarikan). Setelahnya (maksudnya setelah memberikan disclaimer), penjelasan tentang filsuf besar Spanyol, José Ortega y Gasset, yang pemikirannya menjadi menu utama kali ini, akan diulas secara singkat. Ortega berkiprah pada awal abad 20, diawali dengan publikasi buku berjudul Meditaciones del Quijote (Meditations on Quixote) pada 1914 yang lantas menjadi tonggak keberhasilan sang filsuf. Buku yang sekilas seperti kritik sastra ini berhasil mengecoh pembaca dengan menggunakan novel Cervantes (Don Quixote) hanya sebagai latar belaka untuk mengkritisi posisi Spanyol dalam konstelasi Eropa saat itu.
Meditaciones del Quijote juga memberi jalan pada lahirnya gagasan perspektivisme yang meletakkan nama Ortega y Gasset dalam jajaran filsuf terkemuka. Karya lainnya[1] yang meneguhkan posisi Ortega di antaranya: España invertebrada (Invertebrate Spain, 1921) dan La rebelión de las masas (The Revolt of the Masses, 1930). Yang pertama memaparkan tentang dekadensi politik di Spanyol yang bermula dari gagasan regionalisme dan separatisme; sedangkan yang kedua memberikan pukulan jitu pada perilaku masyarakat yang selalu puas diri. Publik Spanyol menempatkan gagasan Ortega tentang perspektivisme juga konsepsi tentang massa, layaknya Social Contract karya Jean-Jacques Rousseau bagi publik Perancis–sebagai petunjuk arah dalam hiruk pikuk politik. Posisi ini menjadikan Ortega menarik untuk dibahas, terlebih karena sang filsuf sendiri bersikukuh bahwa tulisannya bukanlah renungan filsafat[2] dan semata-mata hanya “amor intellectualis”–kisah cinta intelektual Ortega dengan kondisi masyarakat (Meditations on Quixote, hal. 31).
Kondisi (circunstancia/circumstance) dapat menjadi titik masuk untuk memahami gerak pikir Ortega. Melalui frase terkenal: “Yo soy yo y mi circunstancia” (I am myself and my circumstance) (Meditations on Quixote, hal. 45), Ortega seakan memberikan bingkai pada setiap pemahaman kita akan sebuah fenomena. Dalam Meditations of Frame (hal. 187) Ortega mengungkap bahwa keterhubungan antara diri dengan kondisi adalah esensial[3] dan menjadi dasar gagasan eksistensialis sang filsuf–bahwa sebagian dari diri kita dibentuk atas kondisi sekeliling, mulai dari kondisi sosial, politik, agama, hingga ekonomi.
Perspektivisme, yang walaupun tidak sepenuhnya ditujukan untuk mengkritik gagasan pemikir sebelumnya, kerap diangkat sebagai kritik atas konsep Descartes, “I Think, Therefore I am”. Dalam pandangan Ortega, seseorang memiliki berbagai keterbatasan yang dibentuk oleh berbagai kondisi (termasuk keterbatasan yang mengekang pola pikiran). Alhasil, individu hanya memiliki perspektif, dan bukan realitas (misal: sebuah gedung hanya dapat dilihat dari sudut di mana kita berdiri, atau lukisan Rembrandt yang hanya mampu kita “lihat” dari sudut penikmat tanpa tahu arti pasti dibalik setiap guratannya). Perspektivisme, sebagai salah satu fitur paling terkenal dari pemikiran Ortega, menyadari keterbatasan sekaligus menawarkan cara untuk mendekati realitas, yaitu dengan rasio-vital (rasio yang hidup dan berkembang) serta rasio historis (rasio yang didasarkan pada persepsi sejarah). Melalui keduanya, setidaknya seseorang mampu mendekati keutuhan persepsi atas sebuah realitas.
Namun kenyataannya, jauh panggang dari api. Ortega, dalam La rebelión de las masas, mengungkap fakta pahit bahwa massa (baca: porsi mayoritas dari masyarakat) sama sekali tidak memiliki ketertarikan untuk memperluas dan mengembangkan perspektifnya. Ia memberikan definisi: “mass man is a person “for whom to live is to be every moment what they already are, without imposing on themselves any effort towards perfection; mere buoys that float on the waves.” Alih-alih mengasah rasio vital dan rasio historis, mass-man (masyarakat luas yang diuntungkan oleh kondisi), mencoba mempertahankan sebuah bentuk realita agar konsepsi kebenaran tetap cocok dengan versi yang mereka punya. Pada bab 8, Ortega menghardik dengan keras: “That was the novelty: the right not to be right, not to be reasonable: the reason of unreason”.
Diterbitkan pada 1930, La rebelión de las masas merupakan hasil pengamatan Ortega atas gerak masyarakat pada era tersebut, khususnya masyarakat Spanyol, yang semakin mengalami keterpurukan karena (1) elite politik tidak mampu lagi memberikan kepemimpinan yang baik dan (2) massa yang terlampau nyaman dan melakukan ‘pemberontakan’ pada apa pun yang menggangu versi realitas mereka. Karena dua perihal tersebut, dialog dalam masyarakat tidak pernah hadir dalam kapasitas kritis dan membangun. Ortega sendiri tidak menyandingkan pembacaan kondisi sosialnya dengan kehadiran rezim Franco enam tahun setelah La rebelión de las masas terbit. Namun, siapapun yang membaca kemudian, dapat melihat dekadensi yang membawa pada kehancuran tak terhindarkan. Sloan (2020) memberikan komentar:
Control of such people, not just in Spain, but throughout Europe [or maybe, the world], could have terrible consequences. Their tendency to merely imitate the values, habits, and fashions around them instead of thinking and acting autonomously (or, to use existentialist terminology, authentically) could have severe repercussions.
Sampai pada titik ini, semakin jelas pada siapa Ortega mengarahkan kritiknya; yaitu tidak lain pada Señorito Satisfecho a.k.a Mr. Satisfied. Masyarakat puas diri yang enggan untuk memperluas perspektif. Yang kemudian mengganggu adalah, bentuk mass-man dapat ditemukan dengan mudah dalam kehidupan keseharian masa kini. Sebagai contoh, entah berapa banyak konflik dan friksi sosial yang disebabkan oleh perspektif yang sempit dan ahistoris: mulai dari pertentangan atas dasar hak asasi manusia hingga perselisihan antar agama. Maldonado-Denis (1961) memberikan gambaran lebih jelas:
For the fact is (and here we are faced with the third characteristic man) that this man has only appetites: he insists on his rights he has any obligations. Mass man lives today in a world of abundance been made possible through the extraordinary achievements of modern science. But, being unaware of the tremendous efforts that were required world, he behaves like a “spoiled child”.
Ketika ruang publik dipenuhi massa yang puas diri, perspektivisme Ortega rasanya perlu untuk diziarahi. Langkah yang harus diambil adalah melampaui keterbatasan [perspektif] diri sendiri, untuk mendekati keutuhan realitas dan mengubah kondisi yang mengekang pikiran. Dengan kata lain, melepas kacamata kuda. Ya, mudah dikatakan, namun teramat sulit untuk dilakukan.
Photo: The Idiots Delight – Duane Michals
Sumber Bacaan:
Maldonado-Denis, M. 1961. Ortega y Gasset and the Theory of the Masses. The Western Political Quarterly, 14 (3), hal. 676-690.
Ortega y Gasset, O. & Bell, A. 1990. Meditations on the Frame. Perspecta , 26, hal. 185-190.
Ortega y Gasset, O. 1961. Meditations on Quixote (Terj.). New York: W.W Norton & Company.
Ortega y Gasset, O. 1990. The Revolt of the Masses (Terj). New York: W.W Norton & Company.
Sloan, M. 2020. José Ortega y Gasset. Philosophy Now: A Magazine of Ideas.
Keterangan:
[1] Karya lengkap Ortega y Gasset dapat di pada tautan ini: https://www.biblio.com/ortega-y-gasset-jose/author/38865
[2] Ungkapnya: These Meditations, free from erudition—even in the best sense of the word—are propelled by philosophical desires. Nevertheless, I would be grateful if the reader did not expect too much from them. They are not philosophy, which is a science. They are simply essays. The essay is science, minus the explicit proof. (Meditations on Quixote, hal. 40)
[3] “The relationship between the one and the other, then, is essential and not accidental.”
kontak via editor@antimateri.com