Ziarah Mural Ajanta

Penelusuran tiga aliran lukis di India–walaupun hanya sekilas di permukaan dan dalam rentang kronologis yang jauh terputus–menghadirkan sebuah pembacaan menarik: bahwa ketiganya mewakili sebuah prinsip dasar yang kerap ditemui dalam penciptaan karya seni. Seni lukis Bengali didorong oleh nasionalisme (karya seni bentuk ini tidak terbilang jumlahnya, mulai yang lahir pada revolusi di Eropa hingga semangat dekolonialisasi negara Asia-Afrika). Seni Mughal didorong oleh gairah seni yang menghasilkan obsesi keindahan pada para rajanya. Sedangkan dalam pembahasan ini, yaitu uraian tentang ziarah mural Ajanta, seni lukis bersinggungan dengan sebuah dorongan universal yang mampu mengangkat daya kreasi manusia hingga tingkat tertinggi, yaitu kepercayaan (faith). Mural-mural di Ajanta menjadi penutup tema ini bukan karena sejarah seni lukis India klasik berakhir di relung gua Ajanta–namun praktis karena saya belum menemukan kajian[1] yang melampaui era tersebut.

Mural Ajanta mulai dibangun pada abad 2 masehi dan pembangunannya berlangsung selama 300 tahun setelahnya. Seluruh mural tanpa keterangan nama, namun tiga hal telah terkonfirmasi (Singh dan Arbad, 2013): (1) bahwa seluruh bangunan gua diperuntukkan sebagai tempat ziarah para pengelana dan pedagang yang berasal dari wilayah pelabuhan di selatan menuju wilayah pedalaman (juga sebaliknya), dan keberadaan Ajanta dipandang sebagai pelindung mereka; (2) Gua Ajanta juga difungsikan sebagai vihara, sehingga secara konsensus disepakati bahwa para biksu-lah yang memahat gua Ajanta beserta melukis mural di dindingnya (walau terdapat pandangan bahwa diantara peziarah bisa jadi ada seniman yang ikut berkontribusi dalam pembangunan Ajanta); dan (3) terlepas dari kenyataan bahwa Ajanta kerap disandigkan dengan dinasti Gupta yang berkuasa pada abad 2 hingga 5 masehi, namun pada kenyataannya pembangunan Ajanta berada di bawah perlindungan Raja Harisena dari Vakataka yang menguasai wilayah tengah dataran India. Melalui perlindungan politik dan ekonomi yang disediakan Harisena, Ajanta berada pada masa keemasan, namun privilese tersebut kemudian berakhir tepat setelah Harisena meninggal di penghujung tahun 477 masehi.

Berakhirnya perlindungan Vakataka memberikan dampak signifikan pada pembangunan Ajanta. Wilayah tersebut tidak lagi aman bagi para peziarah, dan konsekuensinya tidak ada sumbangan bagi kelangsungan biara. Perlahan Ajanta ditinggalkan, namun seni patung juga mural pada dinding gua menjadi rekaman visi transenden para biksu dan peziarah seribu lima ratus tahun silam. Patung dan relief di Ajanta terselamatkan oleh suhu gua, sehingga masih dapat dikenali ketika ditemukan kembali pada awal abad 19. Namun mural tidak demikian–dari sedikit yang tersisa inilah gagasan tentang seni lukis india di awal masehi sedikit demi sedikit terkuak. Warna menjadi perhatian utama–penelitian yang dilakukan oleh Giovagnoli dkk. (2008), memberi petunjuk tentang pewarna yang digunakan adalah dominan putih, merah, pink dan coklat. Warna ini berasal dari pasir dan bebatuan setempat yang kemudian dicampur dengan asam dari buah jeruk dan gipsum. Perhatian kedua mengacu pada dimensi dalam lukisan, Giovagnoli dkk. menggambarkannya sebagai gambar “tiga dimensi”, dimana ruang antar objek telah tertuang dengan jelas–konsep yang kemudian memberi pengaruh pada seni India juga seni di Asia setelahnya. Sedangkan perhatian ketiga mengacu pada alur cerita mural yang mengangkat siklus kehidupan Buddha termasuk kisah-kisah Jataka[2]. Kini pengelolaan Ajanta berada di bawah UNESCO, dalam arti bahwa seni di gua Ajanta memiliki nilai tak terhingga bagi perkembangan umat manusia. Dengan kata lain, Ajanta adalah bukti bahwa transendensi mampu mendorong kreasi seni hingga puncak tertinggi–yang lalu diwariskan dalam bentuk visi serta doa-doa sunyi.

Ziarah Mural Ajanta

Sibi Jataka – king undergoes the traditional rituals for renouncers
Bodhi of Ajanta
One of four frescos for the Mahajanaka Jataka tale
Frescoe of Ajanta

Sumber Gambar: Wikiart commons

Sumber Bacaan:
Singh, M. & Arbad, B.R. (2013). Architectural History and Painting Art at Ajanta: Some Salient Features. Arts, 2, 134-150.

Giovagnoli, A., Capanna, F., Ioele, M., & Marcone, A. (2008). The Mural Paintings of the Ajanta Caves, Part I: Documentation On Execution Techniques and Conservation Condition. 9th International Conference on NDT of Art, Jerusalem Israel.
Giovagnoli, A., Capanna, F., Ioele, M., & Marcone, A. (2008). Mural Paintings of Ajanta Caves, Part II: Non Destructive Investigations and Microanalysis on Execution Technique and State of Conservation. 9th International Conference on NDT of Art, Jerusalem Israel.

Keterangan:
[1] Karena keisengan saya kurang begitu militan, maka penelusuran (alakadarnya) berujung pada abad 2 masehi saja, padahal Buddhisme dan seni di India, lahir jauh sebelumnya.
[2] Kisah Jataka merupakan kumpulan kisah kehidupan sebelumnya dari Gautama Buddha, termasuk dalam bentuk binatang.

Share on:

Leave a Comment