Psychomachia atau ‘pertarungan dalam jiwa’–yang kerap disandingkan dengan impresi karya Edvard Munch–adalah judul sebuah alegori gubahan Prudentius pada kisaran abad 5 Masehi. Dalam perkembangan selanjutnya, alegori tersebut lantas diletakkan sebagai polar oposisi bagi Aeneid karya Virgil (19 BC) karena dua hal: (1) Virgil berkarya pada puncak kesusastraan klasik Greko-Romawi, sedangkan Prudentius berkarya saat era tersebut berada diambang kehancuran; (2) Aeneid menyuguhkan perang Troy yang epik dan teatrikal, sedangkan Psychomachia menyajikan relung jiwa yang porak poranda akibat pertarungan beragam anasir hasrat manusia. Holland (2005) membuat pembacaan kontekstual atas psychomachia sebagai berikut: alegori Prudentius lahir di tengah pusaran perang keyakinan antara Kristianitas dan Paganisme menjadikan pergumulan iman adalah pemicu utama; sedangkan gejala psychomachia yang hadir [kembali] di pertengahan abad 19, disebabkan oleh pertarungan hasrat khas manusia modern: antara cinta dan cemburu, gairah dan amarah, bahagia dan putus asa, kewarasan dan kegilaan.
Biang keladinya adalah seorang pelukis bernama Edvard Munch yang menabuh genderang perang menantang segenap gejolak emosi manusia. Pertarungan ini lalu menghadirkan gerakan seni berjuluk Ekspresionisme. Kini, Munch menjelma menjadi nama besar di dunia lukis modern dengan jajaran lukisan terkenal–sebut saja The Scream, salah satu lukisan paling populer dalam pop culture, yang, jika saja sang pelukis tahu, akan memaki reproduksi tersebut sekuat tenaga[1]. Sebagai figur kenamaan, gambaran kelam kehidupan Munch, analisis teknik lukis, hingga kritik tersebar dalam berbagai buku, jurnal dan tabloid (Anderson, 2009; Epstein, 1997; Heller, 1992; Hodin, 1972; Timm, 1969). Adapun ulasan singkat kali ini akan menyoroti sisi Munch yang tidak banyak dibicarakan, yaitu kecintaannya pada teater dan karya Munch di luar lukisan–yaitu prosa dan puisi. Bagi Munch, drama adalah inspirasi; sedangkan puisi adalah bagian tak terpisahkan dari alegori psychomachia yang ia hayati selama rentang karirnya–sehingga dalam puisinya pun Munch dijangkiti melankolia, lengkap dengan emosi dingin yang menghantam tepat di dada.
Narasi keterkaitan karya Munch dengan drama dibangun oleh Werner Timm melalui buku berjudul Graphik (The Graphic Arts of Edvard Munch) (1969), dan digaungkan kembali oleh Pal Hougen, Direktur Museum Munch, melalui pameran bertajuk Edvard Munch og Henrik Ibsen (1972). Carla Lathe (1983) melanjutkan narasi tersebut dan menggambarkan relasi tak terhindarkan antara lukisan-lukisan Munch dengan dunia drama dan teater: “The gestures, posing, emotive colouring in his pictures compare with scenes created by his friends, and Munch himself acknowledged the parallels between his art and their drama”. Lathe-lah yang kemudian menelusuri berbagai sumber dan mengumpulkan kepingan cerita tentang obsesi Munch pada drama, terkhusus karya dua dramawan terkemuka, Henrik Ibsen dan August Strindberg. Inspirasi artistik dari karya-karya keduanya terlihat jelas dalam lukisan Munch–latar, tokoh, dan mood dari karya-karya Ibsen (mulai dari The Pretenders, Peer Gynt, Wild Duck, A Doll House, John Gabriel Borkman, Ghost[2] dan When We Dead Awaken), muncul dalam lukisan Munch. The Sick Child, misalnya, Munch menggunaan mood tokoh Osvald dalam Ghost untuk menangkap moment-moment rentan dan menuangkannya dalam kanvas. Selain mood, jukstaposisi latar (seperti peletakan kursi dan gaya pencahayaan) juga memberikan pengaruh besar dalam komposisi lukisan Munch. The Three Stages of Women (Sphinx) merupakan cermin dari tokoh dalam When We Dead Awaken karya Ibsen. Ungkap Munch (dalam Templeton, 2000):
“The three women–Irene, the white-clad one, dreaming out toward life–Maja, the one who yearns for life, the naked one–The woman of sorrow, with the staring pale face between the tree trunks, Irene’s destiny, the nurse. –These three women appear in Ibsen’s drama–as in my paintings in many places”.
Keintiman (intimacy), menurut Lathe (1983), dapat ditemukan baik dalam karya Munch dan juga Ibsen. Sedangkan Anderson (2009) menyoroti sisi uncanny dalam keduanya–yaitu momen ketika seseorang dihadapkan pada rasa tidak nyaman–atau bahkan ketakutan–atas berbagai kondisi manusia. Adegan dalam When We Dead Awaken karya Ibsen dan alusi The Three Stages of Women (Sphinx) dalam karya Munch beresonansi dengan konsep psikologi gelap yang digaungkan oleh Sigmund Freud. Uncanny, sebuah perasaan rasa tidak nyaman–atau bahkan antisipasi kurang menyenangkan–nyata ditemukan dalam babak demi babak drama Ibsen dan juga goresan pada kanvas Munch.
Selain karya Ibsen, Munch memiliki kedekatan dengan Strindberg. Keduanya bersinggungan di Berlin; Munch tinggal disana atas undangan pelukis Adelsteen Normann (bagian dari the Artists’ Union di Berlin), sedangkan Strindberg adalah pelarian dari Swedia karena utang yang menumpuk, menetap, dan lalu memiliki basis penggemar dalam jumlah tidak sedikit di Berlin. Dalam jurnalnya, Munch menuliskan kekaguman pada karya-karya Strindberg, yang walaupun tidak sekuat pengaruh Ibsen, dramatisasi Strindberg dapat ditemukan pada lukisan-lukisan Munch pada periode Berlin. Salah satu diantaranya adalah Jealousy; lahir dari stimulasi intelektual antara sang dramawan dan pelukis, juga perebutan seorang wanita bernama Dagny. Dramawan lain yang bersinggungan dengan karir Munch adalah penulis asal Polandia Stanislaw Przybyszewski yang menawarkan teatrikal-trance melalui optimalisasi musik dalam adegan-adegannya. Munch berkawan baik dengan Strindberg dan Przybyszewski, juga dengan Ibsen–walau dalam intentitas terbatas (Templeton, 2000). Impresi Munch atas inspirasi artistik ketiganya terangkum bukan hanya di kanvas, tapi juga prosa dan puisi.
Scream—Jealousy—Death room—Death struggle
loving woman—Kiss—Woman and man
among forest tree trunks—the three women—
Vampire—
The usual scandal—call for police
call for boycott of Blomqvist’s
rooms
One day I met Ibsen at the exhibition—
we look at the pictures together
—one by one—he studied each closely
Of special interest to him was the three women—
—I said—The dark one
who is standing in the tree trunks by the
naked woman—is the nun—sort
of the woman’s shadow—sorrow and death—
the naked one is a woman with a zest for life
finally beside them—the
pale fair cheerful woman who is walking out toward the ocean
toward eternity—she is the woman
of longing
Among the tree trunks farthest to the right
—stands the man—in pain and without
comprehending
Penggalan puisi di atas diambil dari jurnal pribadi Munch yang ia tulis tanpa tanggal. Dalam pengantar untuk kumpulan puisi Munch, Hoifodt (dalam Holland, 2005) memposisikan puisi dan prosa Munch sebagai warisan sastra yang menentang beragam generalisasi, ungkapnya: perhaps one could say “he was no-one and everyone”–bahwa kekuatan puisi Munch berpijak pada perspektif postmodern yang membebaskan, karena “dia bukan siapa-siapa, dan [maka] ia adalah semua orang”. Holland (2005) memberikan asumsi lebih lanjut atas puisi-prosa Munch sebagai bentuk potret diri, karena melalui prosa dan puisi, Munch mengekspos dirinya secara detil. Ditulis dalam format jurnal pribadi, puisi dan prosa Munch menjadi penjelas sekaligus pelengkap beragam misteri yang melingkupi karirnya; minimalnya berhasil membersihkan nama Munch dari tuduhan misogyny[3]. Beragam sisi kehidupan sang pelukis hadir di sini: mulai dari perbincangan keseharian, penjelajahan dari pesta ke pesta, juga tentang model lukisannya yang terdiri dari beragam kalangan. Sisi ini tentu tidak dapat tertuang secara utuh dalam kanvas, namun satu hal yang pasti: gejala psychomachia pun dapat ditemukan dalam puisi dan prosanya. Pembedanya hanya satu–jika dalam lukisan, Munch langka berkelakar, maka dalam puisi dan prosa, ia menemukan kebebasan. Membaca karya Munch selain lukisan, wajar bila citra yang melekat padanya adalah: Both [as] narrator and portrait of the artist as a young man are arrogant yet wary and skittish.
Karya Edvard Munch: Puisi dan Lithograph
DIFFERENT KINDS (COPENHAGEN)
[Dialogue with a Dane, who has the last line.]”Yes, you see there’s
the ocean. Everybody’s throwing himself in—
then getting fished
out again.
Let me tell you a little story.
There was a woman
who wanted to do away
with her old fiancé No. 1.
She threw herself
into the water—and cried
for help—
but she was a good swimmer.
There was a scene.The poor fellow, who
couldn’t swim,
ran in after and drowned
—the woman came ashore
—and there stood fiancé No. 2.
Arm in arm
they walked down to the justice of the peace.”“Damn,” said the Dane.
Sumber Gambar: Wikipedia commons
Sumber Bacaan:
Anderson, C. 2009. Edvard Munch’s Uncanny Side. The Vienna Review.
Lathe. C. 1983. Edvard Munch’s Dramatic Images 1892-1909. Journal of the Warburg and Courtauld Institutes, Vol. 46, hal. 191-206
Templeton, J. 2000. The Munch-Ibsen Connection: Exposing A Critical Myth. Scandinavian Studies, Vol. 72, No. 4, hal. 445-462
Holland, G. 2005. The Private Journals of Edvard Munch 1863–1944. The University of Wisconsin Press
Epstein, S. G. 1997. Munch and Women: Image and Myth. Art Services International
Heller, R. 1992. Form and Formation of Edvard Munch’s Frieze of Life. Edvard Munch: The Frieze of Life. (Ed. Mara-Helen Wood). National Gallery Publications, hal. 25–37.
Hodin, J. P. 1972. Edvard Munch. Thames and Hudson
Timm, W. 1969. Edvard Munch: Graphik (The Graphic Arts of Edvard Munch). New York Graphic Society
Keterangan:
[1] The way it is going now the situation could easily become commercialized and I find myself bringing out work that could be regarded as kitsch— I have worked against that all of my life (Munch, 1863–1944; Diaries)
[2] Munch secara resmi mengerjakan poster untuk produksi Ghost da Hedda Gabler di Kemmerspielthater antara tahun 1906-1907; menjadikannya selangkah lebih dekat dengan karya-karya Ibsen (Lathe, 1983)
[3] “There is a myth that Munch was a misogynist, but a balanced look at the full range of his pictures and a few minutes reading the pages of his journal refute that charge.” (Holland, 2005)
kontak via editor@antimateri.com