Ongaku 70 (Vintage Psychedelia in Japan) adalah tajuk sebuah album kompilasi yang merangkum musik psychadelic Jepang pada rentang 1969 hingga 1978. Ongaku memiliki padanan kata “musik”, dan karena pengaruh musik amerika dan eropa yang semakin mendunia saat itu, maka Ongaku 70 pun disandingkan dengan genre Psychedelia. Memang harus diakui, pengaruh musik psychedelic Inggris seperti karya fenomenal Pink Floyd (The Piper At The Gates Of Dawn, 1967) dan The Beatles (Sgt. Pepper’S Lonely Hearts Club Band, 1967) juga kemeriahan Monterey Pop Festival (1967), memiliki pengaruh kuat pada penyebaran genre ini keseantero dunia, termasuk Jepang. Oleh karenanya, bukan sebuah kebetulan bila pada perkembangan musik Jepang era 1970 – pengaruh barat (AS dan Inggris) masih merupakan kiblat utama. Alhasil, dalam upaya menggali dan memahami karakter musik yang berkembang di Jepang pada era tersebut, saya dihadapkan pada ratusan karya band medioker yang mencoba untuk terdengar seperti idolanya dari seberang lautan. Hal ini membuat saya hampir putus asa, karena awalnya saya sangat berharap menemukan warna psychadelic yang berbeda dari psychadelic AS dan Inggris yang kental dengan pengaruh musik India. Mengingat Jepang adalah budaya dengan daya resistan yang kuat, insting saya mengatakan pasti musik psychadelic Jepang memiliki rasa berbeda.
Namun, ternyata skena musik psychadelic Jepang dipenuhi oleh mimikri The Beatles, Cream hingga Jimi Hendrix. Jajaran nama band mulai dari Gedo, Blues Creation, The Jack, The Mops, Speed, Glue & Shinki, hingga Miki Curtis & the Samurais, saya dengar tanpa kesan. Untung saja, (ditengah kebosanan yang mendera), dewa musik berbaik hati dan menuntun saya untuk bertemu dengan dua album yang mengubah pandangan saya terhadap musik Jepang di era 70an. Satori karya Flower Travellin Band adalah salah satunya. Dengan mengadopsi kesubliman Zen, musik mereka layaknya sebuah perjalanan spiritual menuju kuil-kuil yang jauh (album ini memiliki keunikan tersendiri, secara gradual lagu dalam Satori menarik diri dari pengaruh musik psychadelic barat, sehingga pada lagu terakhir kita menemukan gagasan psychadelic baru yang kental dengan pengaruh soundscape Jepang). Adapun album kedua yang menarik perhatian adalah Ongaku 70 (Vintage Psychedelia in Japan) yang dirilis oleh Hiroku Records, perusahaan rekaman yang berbasis di Tokyo. Melalui album ini, saya menemukan jawaban atas bangun musikalitas yang saya cari: yaitu ketika sebuah soundscape mampu memberikan perlawanan atas bombardir industri musik asing – sehingga musik yang dihasilkan bukanlah imitasi yang seragam. Melalui pengenalan terhadap musisi avant-garde dan musisi kawakan (yang tidak banyak dikenal panggung musik populer), Ongaku 70 adalah jendela yang selayaknya dibuka untuk mengenal psychadelic dari sudut pendengaran musisi Jepang.
Osamu Kitajima (Tengu)
Stomu Yamash’ta’s Red Buddha Theatre (Awa Odori)
Ongaku 70 terdiri dari tiga belas lagu, diantaranya: Osamu Kitajima (Tengu), Stomu Yamash’ta’s Red Buddha Theatre (Awa Odori), Akiko Yano (Tsugaru Tour), Sadistic Mika Band (Nanika Ga Umi Wo Yatte Kuru), Harry Hosono & The Yellow Magic Band (Shambhala Signal), The Apryl Fool (The Lost Mother Land (Part 1)), Rabi Nakayama (Good Night!), Karuna Khyal (Alomoni), Kuni Kawachi & His Group (The Cat), Toshiaki Tsushima (Ape Society), J.A. Caesar & Shirubu (Jigoku No Orufe), Maki Asakawa (Govinda), dan Les Rallizes Denudes (Strong Out Deeper Than The Night). Dapat dikatakan Ongaku 70 merupakan karya puncak dari era musik psychadelic Jepang. Dengan pengecualian Maki Asakawa (Govinda) yang mengangkat musikalitas India dan Kuni Kawachi & His Group (The Cat) yang masih kental dengan pengaruh psychadelic Monterey, musisi lain dalam Ongaku 70 berhasil merepresentasikan soundscape Jepang. Simak saja J.A. Caesar & Shirubu, kelompok eksperimental yang megusung kembali musikalitas dan penuturan Noh (teater klasik Jepang) dalam musiknya. Atau Karuna Khyal yang disebut sebagai kristalisasi dari musik jalanan di Jepang – kelompok musisi pemabuk ini hanya menghasilkan satu album dan lalu menghilang begitu saja. Komposisi menarik lain disajikan oleh Sadistic Mika Band, dengan fusi funk-psychadelic nyeleneh, grup ini berhasil masuk kedalam jajaran “100 Greatest Japanese Rock Albums of All Time” versi Rolling Stone. Yang tidak diungkap Rolling Stone adalah bahwa Sadistic Mika Band dibentuk sebagai versi parodi nan sarkas dari “Plastic Ono Band” yang dibentuk oleh John Lennon dan Yoko Ono.
Menemukan Ongaku 70 merupakan sebuah berkah tersendiri, karena melaluinya saya mengenal dua musisi kawakan Jepang dengan karya memukau, yaitu Osamu Kitajima dan Stomu Yamash’ta. Kitajima adalah seorang musisi merangkap produser yang memperkenalkan Japanese New Age di mata dunia. Dengan pengaruh psychadelic yang kuat (terutama Syd Barret), Kitajima membalut musik elektronik dan progresif dengan musik tradisi Jepang. Dalam proses rekaman bersama Island Record di Los Angeles, Kitajima menggunakan koto (instrumen senar klasik) and shakuhachi (instrumen tiup yang berkembang pada abad keenam di Jepang). Rolling Stone menyebut karyanya sebagai masterpiece, dengan penggambaran: refines the style to an almost baroque splendor, ranging from the hypnotic funk of Beyond the Circle (a more melodic and less neurotic version of Talking Heads) to the ghostly Far-eastern and Enigma-style chanting of Blue Fire. Pada kompilasi Ongaku 70 sendiri, Tengu karya Kitajima dijadikan lagu pembuka, tidak lain karena memang ia dipandang sebagai salah satu tonggak musik psychadelic Jepang.
Adapun Stomu Yamash’ta merupakan musisi dengan karya mentereng. Ia adalah musisi dibalik supergrup Go yang terdiri atas Yamash’ta, Steve Winwood, Al Di Meola, Klaus Schulze, dan Michael Shrieve. Ia jugalah yang memperkenalkan sound perkusi Jepang pada skena musik progresif Eropa. Awal tahun 1970an Yamash’ta menggarap teater multi-media bernama the Red Buddha Theatre dan menggelar karya berjudul The Man from the East di Perancis dan Inggris. Penampilan Yamash’ta selalu menarik perhatian, majalah Time pada salah satu review konsernya berbunyi: walaupun tampil bersama Chicago Symphony Orchestra, jelas bahwa standing ovation malam itu ditujukan untuk Yamash’ta. Keberhasilan the Red Buddha Theatre lalu menghantarnya untuk mengisi komposisi soundtrack untuk film David Bowie “The Man Who Fell to Earth“. Di Jepang sendiri, Yamash’ta memiliki posisi tersendiri sebagai salah satu komposer terkemuka. Melalui bandnya yang mengusung nama Stomu Yamash’ta’s Red Buddha Theatre, ia menjadi salah satu pionir musik psychadelic Jepang dengan identitas suara yang kuat. Sekembali dari kiprah musiknya di Eropa, Yamash’ta menyepi pada sebuah kuil di pedalaman Kyoto. Dari pengasingnnya ia menghasilkan salah satu karya puncaknya, “Sea and Sky” (1983) yang mengusung konsep space music. Karya Yamash’ta kerap disandingkan dengan Soft Machine, grup progresif jagoan dari Inggris (sebagaimana Karuna Khyal yang disandingkan dengan Faust, band pengusung musik konkrit asal Jerman). Perbandingan ini sama sekali bukan bermaksud menyeragamkan, namun merupakan penghormatan atas kepiawaian sang musisi yang sudah diakui dunia. Melalui kiprah para musisi (yang terangkum dalam Ongaku 70), semakin jelas terbukti bahwa pengakuan tidaklah datang dari proses imitasi semata, tapi dari pergulatan musikalitas – antara jati diri dengan yang diluar diri.
kontak via editor@antimateri.com